"Bahwa berita maupun video yang tersebar di Medsos dan media online tentang kisruh antara suporter Persita Tangerang dengan suporter PSMS Medan pada pertandingan Babak 16 besar Liga 2 Indonesia 2017 di stadion Mini Persikabo Komplek Pemkab Bogor adalah benar merupakan personil TNI AD dari satuan Divif 1 Kostrad," kata Kepala Penerangan Kostrad, Letkol Inf Putra Widyawinaya dan TNI dalam hal ini Kostrad TNI AD bersedia bertanggungjawab dari mulai penegakan hukum oknum sampai pemakaman korban. Sebagai tambahan ketua PSSI sekaligus Panglima Kostrad TNI AD Edy Rahmayadi meminta media tidak menyudutkan institusi TNI sebab kerusuhan suporter tidak hanya dilakukan prajurit TNI seperti yang dikutip berbagai media.
Sejarah olahraga pada khususnya sepak bola mencatat peristiwa bentrok pertandingan yang melibatkan tentara atau TNI seringkali berakhir tragis. Pertama, Tragedi Pekan Olahraga Nasional (PON) XIX 2016 Jawa Barat yang jadi viral karena masalah lemparan botol berbuntut pemukulan kepada supporter. Kedua, Tragedi Persegres Gresik United vs PS TNI 22 Mei 2016 karena masalah spanduk dan yel-yel berbuntut tawuran antar supporter.Â
Ketiga, bentrok supporter PSMS Medan vs Persita Tangerang 11 Oktober 2017 karena masalah lemparan batu berbuntut tawuran divisi infanteri 1 Kostrad TNI AD vs supporter persita tangerang berujung tewasnya Banu. Seperti umumnya konflik massa memang selalu ada 2 versi kejadian bentrokan sipil dan militer dalam stadion namun 1 hal yang jelas kedua belah pihak baik sipil atau militer sama-sama tidak dapat menahan emosi.
Sejak PSSI kembali diurusi oleh pejabat militer pasca orde baru melalui ketua PSSI Edy Rahmayadi memang keterlibatan TNI sangat terasa dari mulai klub PS TNI, supporter PS TNI sampai tenaga pengamanan TNI. PSSI zaman reformasi sekarang seperti PSSI zaman orde baru seperti zaman PSSI dijabat jenderal-jenderal seperti Ali Sadikin, Maulwi Saelan, Kardono, Sutiyoso, atau Agum Gumelar.Â
Bahasa orang-orang sipil di warung kopi dan jalanan suka berkelakar ibarat seorang anak ikut peserta lomba sekaligus petugas keamanan dan ketua pengurus lombanya bapak si anak sendiri. Masalahnya kalau dibuat perumpaan mohon maaf ya kalau sipil itu seperti anak difabel dan TNI itu seperti anak normal jadi kalau kompetisi terasa timpang. Faktanya militer memang secara fisik lebih powerfull daripada sipil yang menu olahraga sangat terbatas kalau ada konflik wajar sipil kalah karena militer menang didukung oleh teori dan praktek lapangan.Â
Kalau bahas budaya populer atau pop kultur olahraga khususnya sepak bola dapat ditemukan gap atau kesenjangan antara sipil dan militer. Dalam humor-humor kekinian ala kids jaman now dalam bentuk meme atau gambar disertai kalimat humor terlihat sekali bedanya. Meme kebanyakan menggambarkan inferiority complex sipil terhadap militer seperti seganas-ganasnya supporter jakmania (persija), viking (persib) dan bonek (persebaya) pasti jinak kalau berhadapan dengan supporter PS TNI.
Selain itu musik, yel-yel TNI dalam stadion lebih sangar dan jelas daripada sipil karena latihanya lebih teratur membuat kesenjangan ini semakin melebar. Apalagi budaya Indonesia secara umum masih sangat dipengaruhi oleh militarywashing atau militerisasi budaya sehingga apa-apa saja dari militer dianggap bagus dan heroik alias pahlawan. Fenomena ini dapat dilihat dari fakta lebih banyak pahlawan Indonesia dari kalangan militer serta kebanggan masyarakat apabila ada keluarganya dapat jadi militer melalui pendidikan maupun pernikahan.
Militer Indonesia atau TNI secara umum masih belum menjalankan prinsip-prinsip dalam berolahraga yang sesungguhnya ketika terlibat dengan sipil, karena masih ditungangi oleh berbagai konflik kepentingan dan belum matangnya orientasi dalam menjalan olahraga yaitu sportifitas persaingan sipil-militer. Selalu saja kepentingan pribadi dan persaingan masih membayang-bayangi olahraga apalagi apa kepentingan tersebut sudah lebih jauh hanya berorientasi tentang prestasi. Jika hal itu yang tumbuh dapat menjauhkan capain-capaian dari olahraga secara menyeluruh mengingat olahraga militer atau ormil dan olahraga sipil pada umumnya memang beda apalagi menyangkut sepak bola.Â
Sebagai gambaran jaman dulu ketika Prabowo dan SBY masih muda pernah dilakukan festival olahraga antara taruna dan mahasiswa namun karena hasilnya jelas banyak menang militer sehingga tak dilanjutkan lagi. Anehnya setelah itu mulai ada militerisasi atlet dalam bidang olahraga sampai sekarang. Banyak atlet yang juga berstatus sebagai militer atau polisi yang ikut berkompetisi dalam olahraga sipil padahal secara keilmuan olahraga militer beda dengan sipil.
Bahkan pada era reformasi polisi dan TNI membuat klub olahraga sendiri seperti PS TNI dan Bhayangkara FC semakin membuat dominasi militer kepada sipil dalam bidang olahraga terutama sepak bola semakin terasa. Iya saya mengakui kedigdayaan TNI dalam bidang olahraga militer juga bagus terutama soal menembak sering juara olahraga militer namun ada baiknya pemerintah dan militer meninjau ulang kebijakan "dwifungsi" TNI dalam bidang olahraga terutama sepak bola sebab fakta membuktikan wilayah ini merupakan daerah rawan konflik antara sipil dan militer.
Kuat dugaan melambatnya keberhasilan sepak bola saat ini disebabkan oleh intervensi dari dualisme TNI ke dalam PSSI dan tentu hal ini sangat merugikan olahragawan atau atlet sipil terutama dalam hal jenjang karir. Coba lihat data kebanyakan atlit sipil itu yang paling mentok ya jadi pelatih bahkan banyak atlit sipil yang akhirnya dilupakan negara ketika hari tuanya. Amat jarang atlit menjabat ketua organisasi olahraga seperti PSSI atau menteri kementrian olahraga. Sepertinya sudah jadi rahasia umum kalau jabatan ketua organisasi PSSI dan menteri hanya boleh dijabat militer, politisi dan pengusaha yang juga atlit karena hobi bukan murni atlit profesional saja.