Mohon tunggu...
Reza Nurrohman
Reza Nurrohman Mohon Tunggu... Wiraswasta -

manusia yang terus bertumbuh. tidur dan makan adalah hal yang lebih menyenangkan sebenarnya namun berkerja merupakan kewajiban saya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Catatan dari Kebohongan Dwi Hartanto untuk Kita Semua

9 Oktober 2017   14:58 Diperbarui: 10 Oktober 2017   08:49 6801
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Saya mengucapkan permohonan maaf sebesar-besarnya pada semua pihak yang telah dirugikan atas tersebarnya informasi-informasi yang tidak benar terkait dengan pribadi, kompetensi, dan prestasi saya," ujar Dwi dalam surat yang diunggah oleh PPI cabang Deift negara Belanda. 

Sudah jatuh tertimpa tangga pula begitula kiranya kata yang tepat menggambarkanya bully-an netizen dan pencabutan penghargaan Indonesia serta sidang kampus deift menghantuinya sampai sekarang.

Coba kenang kembali pada akhir tahun 2016 saat ramainya pertemuan diaspora Indonesia. Rasanya kita habis disuguhi pemberitaan yang heboh-heboh soal sosok-sosok diaspora yang luar biasa salah satunya Dwi Hartanto. Saat itu banyak berita soal Dwi yang katanya lulusan jepang lalu berhasil menempuh beasiswa. 

Prestasi dwi pun katanya sangat membangkan dari mulai pesawat sampai roket luar angkasa. Semua orang Indonesia pun terpana akan sosok dwi sehingga sempat jadi media darling dan netizen darling bahkan pemerintah melalui KBRI Belanda sempat memberikan penghargaan kepada Dwi.

Berita berjudul "ilmuwan Jenius Indonesia" atau "The Next Habibie" atau yang sejenisnya memenuhi timeline media sosial kita. Belakangan setelah hampir setahun baru terungkaplah kebenaran sesungguhnya. Dwi ternyata lulusan IST AKPRIND Jogja dan bukan Universitas Tokyo. Selain itu penemuan dan paten yang dia banggakan ternyata hanyalah hoaks. 

Faktanya benar dia mahasiswa doktoral Univesitas Deift Belanda namun bidangnya soal TI dan bukan kedirgantaraan seperti Habibie. Belakangan media terkesan cuci tangan, netizen pun sama saja berbalik bully sampai pemerintah sampai cabut penghargaan. Kesannya salah dan hina hanya kepada Dwi saja.

Coba tanya ke kita semua apa nggak ada cara lain untuk menuliskannya? Apa benar kita semua tidak lebih baik dari Dwi Hartanto atau Setya Novanto?

Seorang mahasiswa doktoral eropa yang dapat dianggap scientist atau ilmuwan juga datang karena sedang riset datang ke acara diaspora, dinilai baik oleh kita semua sebagai pahlawan ilmu diluar negara, lalu diobjektifikasi kiprahnya oleh media. Tentu saja sebagai generasi muda milenial Dwi Hartanto terpengaruh godaan untuk tampil ke publik mengingat mungkin kesempatan disorot skala nasional jarang terjadi sehingga terjadilah peristiwa skandal itu sampai negara melalui penghargaan kbri dan negarawan seperti Habibie termakan hoaks ikut berfoto bersama. Sebelum ini ada kasus Afi juga tapi yah begitulah kita tak ada kapok-kapoknya tak mau check and balances dan verivikasi kebenaran ke berbagai sumber.

Padahal, Skandal Dwi, Setya sampai Afi ini hampir sejenis. Daripada fokus ke sosok pelaku sebenarnya banyak hal penting yang dapat dielaborasi terkait kasus ini. Pertama, soal kampus, dari mana kekeliruan soal riwayat pendidikan Universitas Tokyo itu berasal, bagaimana regulasi pendidikan Indonesia dan Belanda serta Jepang bisa kecolongan status Dwi yang ternyata dari kampus swasta Jogja, bagaimana rantai distribusi pendidikan sampai amburadul padahal katanya sudah online semuanya sistem kampus. 

Kedua, soal kesehatan, dari mana penyakit mental kebohongan itu bisa sampai tidak terdeteksi seperti semacam megalomania yang merupakan suatu kebohongan yang dipercayai sebagai kebenaran atau penyakit mental lain, bagaimana regulasi kesehatan Indonesia dan Belanda bisa kecolongan riwayat kesehatan mental Dwi yang ternyata sakit, bagaimana rantai distribusi kesehatan amburadul padahal katanya tes kesehatan termasuk mental atau psikologi atau kejiwaan itu jadi  menu wajib universitas dan imigrasi. 

Ketiga soal media, dari mana semua berita hoaks itu bisa terpublikasikan sedemikia rupa sampai lama baru terdeteksi kalau itu hoaks, bagaimana distribusi informasi selalu kecolongan soal ini dari mulai Afi sampai Dwi, bagaimana langkah konkrit media untuk mencegah kasus Afi atau Dwi selanjutnya. 

Keempat, soal pemerintah, dari mana datangnya keputusan untuk memberikan penghargaan kepada Dwi Hartanto, bagaimana regulasi penghargaan ataupun birokrasi pemerintah Indonesia bisa kecolongan semua informasi hoaks dan dengan entengnya cabut penghargaan tanpa jelaskan ke publik bagaimana langkah konkrit pencegahan dan siapa pejabat yang harus tanggung jawab. 

Kelima, netizen, bagaimana kita bisa dengan mudahnya percaya dengan semua postingan Dwi dan berita media massa lalu terjadi euforia gila dengan membandingkanya dengan Habibie, bagaimana kegagalan netizen dan perilaku latah ini terjadi ketika terjadi hoaks lalu semua kesalahan kita serahkan ke Dwi. Keenam, ilmuwan atau scientist, apa yang dilakukan Dwi menambah panjang deretan penistaan atau pelacuran intelektual para akademisi kampus.

Hal lain yang bisa ditulis adalah terkait inferiority complex dan bagaimana masyarakat yang minder terhadap budaya asing lagi budaya whitewashing membuat segala hal yang berbau luar terutama barat atau ras kaukasian sebagai lebih superior dan lebih heroik. Elaborasi juga bisa sampai ke soal bagaimana tanggapan teman, sahabat, keluarga dan kampus AKPRIND yang selama ini jarang muncul ke permukaan publik.

Salah satu artikel yang saya baca mengaitkan fenomena Dwi Hartono dengan Teori Maslow. Dalam kehidupan sosial, manusia secara naluriah selalu membutuhkan pengakuan sebagaimana termaktub dalam teori Hierarki Kebutuhan. Kebutuhan akan pengakuan selalu dicari oleh setiap orang untuk mengaktualisasikan diri. 

Nah, dalam proses pencarian ini, tak jarang seseorang berani melakukan apa saja demi mendapatkan pengakuan atas dirinya. Namun, alih-alih membahas bagaimana menghindari skandal Dwi Hartono selanjutnya, artikel tersebut lebih memberikan tonasi yang seolah-olah permisif: oh ya udah kebohongan itu wajar kok kalau soal seperti  pacar sedangkan kalau soal akademik itu jangan samapi berbohong. Artikel lain bahkan menyatakan: oh ya udah kebohongan itu maafinlah kan orangnya juga udah ngaku dan diproses universitas deift melalui sidang akademik.

Yungalah, harga diri bangsa Indonesia kok ya murah banget. Padahal masalah Dwi ini penting sekali untuk dibahas. Secara umur Dwi juga lebih dewasa dari Afi, Selain itu berita soal Dwi ini sudah sampai ke dunia internasional mempermalukan komunitas ilmuwan atau scientist dunia beda dengan Afi yang masih skala nasional atau papa Setya. 

Catatan penting kalau mau proses hukum jangan cuma Dwi saja soalnya banyak oknum salah yang sudah cuci tangan disini. Habibie sudah susah payah bawa citra Indonesia terutama bidang teknologi ke dunia eh karena kasus Dwi kita tercoreng haduh kasian.

Namun, kita semua lebih suka mengelaborasi Dwi seorang. Kalau akar permasalahan yang sebenarnya hanya tokoh atau simbol yang dapat momentum pemeberitaan macam Dwi sudah habis dihajar di mana-mana sudah selesai perkara. 

Kasihan betul Dwinya; sudah dibesarkan kita semua eh malah dikorbankan. Saya sepakat  dwi salah karena dia juga berbohong namun sistem kita ternyata lemah juga kan. Saya khawatir kalau tidak dibenahi kita semua dari netizen, media sampai pemerintah akan muncul Dwi Selanjutnya.

Jadi, saran saya, kalau memang membaca berita media, lihat peghargaan pemerintah atau lihat status orang lain di media sosial, dan kamu harus punya inisiatif menahan diri untuk membagikan atau minimal check dulu lewat search engine atau mesin pencari orang itu benar kemampuanya ini dan itu. 

Saya kira ini bisa jadi bahan diskusi lebih lanjut kalau kelas atas macam papa Setya dan kelas menengah macam Dwi serta kelas Bawah macam Afi secara umur dan jabatan serta pendidikan bisa tidak sengaja melakukan penyalahgunaan informasi apakah memang  bangsa ini sedang krisis kebenaran atau kejujuran?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun