Keempat, soal pemerintah, dari mana datangnya keputusan untuk memberikan penghargaan kepada Dwi Hartanto, bagaimana regulasi penghargaan ataupun birokrasi pemerintah Indonesia bisa kecolongan semua informasi hoaks dan dengan entengnya cabut penghargaan tanpa jelaskan ke publik bagaimana langkah konkrit pencegahan dan siapa pejabat yang harus tanggung jawab.Â
Kelima, netizen, bagaimana kita bisa dengan mudahnya percaya dengan semua postingan Dwi dan berita media massa lalu terjadi euforia gila dengan membandingkanya dengan Habibie, bagaimana kegagalan netizen dan perilaku latah ini terjadi ketika terjadi hoaks lalu semua kesalahan kita serahkan ke Dwi. Keenam, ilmuwan atau scientist, apa yang dilakukan Dwi menambah panjang deretan penistaan atau pelacuran intelektual para akademisi kampus.
Hal lain yang bisa ditulis adalah terkait inferiority complex dan bagaimana masyarakat yang minder terhadap budaya asing lagi budaya whitewashing membuat segala hal yang berbau luar terutama barat atau ras kaukasian sebagai lebih superior dan lebih heroik. Elaborasi juga bisa sampai ke soal bagaimana tanggapan teman, sahabat, keluarga dan kampus AKPRIND yang selama ini jarang muncul ke permukaan publik.
Salah satu artikel yang saya baca mengaitkan fenomena Dwi Hartono dengan Teori Maslow. Dalam kehidupan sosial, manusia secara naluriah selalu membutuhkan pengakuan sebagaimana termaktub dalam teori Hierarki Kebutuhan. Kebutuhan akan pengakuan selalu dicari oleh setiap orang untuk mengaktualisasikan diri.Â
Nah, dalam proses pencarian ini, tak jarang seseorang berani melakukan apa saja demi mendapatkan pengakuan atas dirinya. Namun, alih-alih membahas bagaimana menghindari skandal Dwi Hartono selanjutnya, artikel tersebut lebih memberikan tonasi yang seolah-olah permisif: oh ya udah kebohongan itu wajar kok kalau soal seperti  pacar sedangkan kalau soal akademik itu jangan samapi berbohong. Artikel lain bahkan menyatakan: oh ya udah kebohongan itu maafinlah kan orangnya juga udah ngaku dan diproses universitas deift melalui sidang akademik.
Yungalah, harga diri bangsa Indonesia kok ya murah banget. Padahal masalah Dwi ini penting sekali untuk dibahas. Secara umur Dwi juga lebih dewasa dari Afi, Selain itu berita soal Dwi ini sudah sampai ke dunia internasional mempermalukan komunitas ilmuwan atau scientist dunia beda dengan Afi yang masih skala nasional atau papa Setya.Â
Catatan penting kalau mau proses hukum jangan cuma Dwi saja soalnya banyak oknum salah yang sudah cuci tangan disini. Habibie sudah susah payah bawa citra Indonesia terutama bidang teknologi ke dunia eh karena kasus Dwi kita tercoreng haduh kasian.
Namun, kita semua lebih suka mengelaborasi Dwi seorang. Kalau akar permasalahan yang sebenarnya hanya tokoh atau simbol yang dapat momentum pemeberitaan macam Dwi sudah habis dihajar di mana-mana sudah selesai perkara.Â
Kasihan betul Dwinya; sudah dibesarkan kita semua eh malah dikorbankan. Saya sepakat  dwi salah karena dia juga berbohong namun sistem kita ternyata lemah juga kan. Saya khawatir kalau tidak dibenahi kita semua dari netizen, media sampai pemerintah akan muncul Dwi Selanjutnya.
Jadi, saran saya, kalau memang membaca berita media, lihat peghargaan pemerintah atau lihat status orang lain di media sosial, dan kamu harus punya inisiatif menahan diri untuk membagikan atau minimal check dulu lewat search engine atau mesin pencari orang itu benar kemampuanya ini dan itu.Â
Saya kira ini bisa jadi bahan diskusi lebih lanjut kalau kelas atas macam papa Setya dan kelas menengah macam Dwi serta kelas Bawah macam Afi secara umur dan jabatan serta pendidikan bisa tidak sengaja melakukan penyalahgunaan informasi apakah memang  bangsa ini sedang krisis kebenaran atau kejujuran?