"Mulai pertengahan Oktober nanti, ASU tidak bisa diharamkan oleh  siapa pun untuk memimpin DKI Jakarta. Majelis Ulama Indonesia (MUI) pun  tidak bisa. Apalagi hanya para tukang demo. Mengingat, ASU yang berhuruf  kapital telah dikenal sebagai akronim dari  Gubernur Terpilih DKI  Jakarta, Anies -- Sandiaga Uno (ASU). Entah benar atau tidak, diakui  atau tidak, keberhasilan ASU memenangkan pilkada DKI rupa-rupanya berkat  politisasi ayat dan mayat yang akan terus menjadi hikayat kelas berat.  Belum lagi kalau dikaitkan secara terstruktur jasa Saracen si pencari  nafkah tak halal karena jualan isu SARA. Yah, asudahlah pokoknya." Begitulah kutipan Setiyadi RXZ yang belakangan diketahui sebagai Pendeta Setiyadi GKJ Cipta Wening di Sukoharjo.Â
Hal ini tentu saja berbahaya apabila dibiarkan saja karena dilain pihak sudah ada juga Eggi Sudjana yang memancing di air keruh konflik agama Indonesia. Ibarat minyak ketemu api apabila tidak ditindak dengan baik akan menyebabkan perang SARA. Tentu sebagai orang Indonesia yang sadar bhinekka tunggal ika kita jangan menyamaratakan semua muslim seperti Eggi atau semua kristen terutama protestan  seperti  Setiyadi. Namun kita juga jangan melupakan fakta bahwa ada orang-orang rasis SARA yang sangat fanatik dalam pengertian negatif tidak bisa berpikir panjang apabila SARA dikutip langsung nafsu untuk memukul.
Jujur saja saya sebagai orang muslim terkait konotasi asu atau anjing ya biasa saja tidak serta merta emosi kepada anjingnya. Â Islam termasuk agama samawi yang berbagi tradisi yang hampir mirip soal anjing dalam riwayat kitab suci tentang Ashabul Kahfi dengan peliharaan anjingnya atau Hadits tentang pelacur yang masuk surga atau jannah karena memberi minum anjing sebelum kematianya. Â Sebagai muslim yang diharamkan hanya memakan anjing dan harus membersihkan tubuh apabila kena air liur anjing selain itu tidak apa-apa. Nah yang menjadi masalah adalah akronim ASU untuk Anies Sandi dan MUI tidak bisa mengharamkan ASU atau anjing ini saya tidak sepakat karena akronim Anies Sandi bukan ASU dan MUI hanya mengharamkan memakan anjing bukan anjingnya yang haram.
GKJ sebagai induk organisasi  Pendeta Setiyadi memang sudah melakukan tindakan  yang patut diapresiasi dengan mendapingi mediasi kepada perwakilan umat islam dan sepakat menyerahkan kasusnya ke hukum yang berwajib. Ada baiknya gkj juga memberikan sikap atau press release secara lembaga kepada publik lewat media massa ataupun media gkj sendiri agar umat GKJ tidak menjadi  sasaran kebencian. Saya menulis ini sebagai bentuk keprihatinan karena saya punya beberapa keluarga dari keluarga besar dan teman dari umat nasrani atau kristen yang selaa ini baik-baik saja.
Di internet sudah muncul seruan-seruan  kebencian dari golongan islam yang maaf radikal dan intoleran terhadap saudara kristiani sehingga apabila provokasi  ini dibiarkan tanpa press release dari GKJ agar suasananya jadi cooling down khwatir akan ada konflik SARA seperti Ambon yang ujung2nya Indonesia dan kaum beragama yang moderat dan toleran juga yang rugi.
Saya mohon dengan  sangat GKJ segera membuat press release secara kelembagaan untuk  menjernihkan situasi karena saya lihat press release terkait ini hanya dari umat islam saja. Alangkah lebih baik adakan komunikasi dengan PGI sebagai induk organisasi protestan ataupun MUI, NU, Muhammadiyah agar perwakilan kristen dan islam dapat bersama melakukan press release untuk mengademkan situasi mencegah provokasi kaum intoleran dan radikal yang memang maunya hanya ribut saja.
Saran saya secara internal GKJ harus memperbaiki diri secara kelembagaan mumpung belum terlambat. Bibit-bibit intoleransi atau ketidakpekaan umat GKJ terutama kepada calon imam atau pendeta harus bisa dideteksi sejak dini untuk dilakukan pembinaan. Sejarah panjang GKJ sebagai komunitas kristen berbasis budaya Jawa yang saya akui memberikan kontribusi positif terhadap kelestarian budaya Jawa jangan sampai ternoda lagi dengan kasus Setiyadi selanjutnya.
Saya ingin GKJ meniru langkah Nahdatul Ulama untuk melakukan perbaikan besar-besaran terhadap golongan-golongan menyimmpang dalam umatnya agar kita dapat hidup damai bersama dalam lingkungan NKRI tercinta ini. Tentu saja untuk hak berpolitik atau menyuarakan pendapat silahkan lakukan namun tetap memperhatikan budaya serta kesopan santunan dalam perilaku. Semoga kasus Pendeta Setiyadi ini menjadi catatan bersama untuk kita semua khususnya GKJ dan PGI agar saling menjaga kebhinekaan ini untuk kemaslahatan atau kemanfaatan bersama apapun identitas SARA kita.
Salam perdamaian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H