"The truth about the uprising has not been fully revealed. This is the task we have to resolve. I believe this movie will help resolve it." Begitulah komentar Presiden Korea Moon Jae In tanggal 13 Agustus 2017 ketika selesai menonton film ini yang juga merupakan film laris dan kandidat oscar dari korea selatan. Namun sayang beribu sayang alih-alih menjernihkan kebenaran seperti yang diharapkan sang presiden namun nyatanya  sampai saat ini memang jasa orang-orang  kecil  memang hanya pahlawan tanpa tanda jasa alias penggembira atau suporter  saja.
Harus kita akui bersama peristiwa sejarah terutama Indonesia hanya fokus pada orang-orang besar. Dari mulai sekolahan sampai warung kopi dijalanan kita hanya mendengar nama-nama artis, pengusaha, politisi dan Jenderal. Jarang kita dengar jasa orang-orang kecil disekeliling mereka yang andaikata mereka tidak ada mungkin sang tokoh besar akan meregang nyawa seperti  supir Jenderal Sudirman dalam perang kemerdekaan.Â
Media populer Indonesia pun sama saja hanya melulu menceritakan orang-orang besar seperti film Jenderal Sudirman yang sayangnya hanya menonjolkan sosok pahlawan tanpa menceritakan sisi kemanusiaanya maka jangan heran kalau film-film sejarah Indonesia jarang  laku dipasaran. Saya kira orang Indonesia harus belajar kepada korea selatan dalam hal ini mereka berani mengangkat orang-orang kecil  dalam sejarah ke permukaan melalui film yang bahkan diapresiasi tinggi oleh sang presiden serta dapat pengakuan internasional sebagai kandidat oscar karena  ceritanya melawan arus utama  sejarah orang-orang besar.
Film ini berangkat dari sejarah yang kelam dan berdarah yang selalu ingin dilupakan orang Korea Selatan karena luka yang timbul sangat dalam. Peristiwa konflik antara pemerintah dengan rakyatnya sendiri memang selalu berujung petaka seperti G 30 S ataupun berujung berkah seperti demontrasi massa 98. Sineas Jang Hoon terinspirasi dari peristiwa bersejarah gerakan  demokratisasi Gwangju di Korea Selatan.Â
Yang  menarik sang sineas bukan mengangkat tokoh besarseperti politisi baik penguasa maupun oposisi. Ternyata kejeniusan sineas ini berhasil membuka mata publik korea selatan bahwa  ada kisah  kepahlawanan yang terlupakan dari seorang supir yang tanpanya mungkin peristiwa Gwang Ju akan mudah dilupakan karena sensor yang ketat ketika itu.  Media sepenuhnya dikuasai oleh pemerintah dan tentara sehingga tidak ada perimbangan informasi dari kedua pihak yang berseteru.
A Taxi Driver berangkat dari kehidupan rakyat kecil yang hanya peduli dengan menyambung hidup tentang masalah pelik Kim Sa Bok yang terancam terusir dari kontarakanya bersama seorang anak perempuan kesayanganya bernama Kim Seung Pil, dengan masalah kemiskinan yang melanda paska kematian Istri yang meninggal sakit-sakitan.Â
Di sisi lain seperti umumnya setiap negara para turis  selalu menjadi rebutan untuk supir dalam mengais rejeki yang lebih besar daripada penumpang lokal. Masalahnya Kim Sa Bok ini termasuk supir aspal alias asli tapi palsu karena lisensi taksinya bukan lisensi perusahaan melainkan lisensi taksi pribadi yang dibelinya paska bekerja di Timur Tengah. Jadi  begitulah hidupnya  penuh masalah sehingga tak memikirkan soal politik apalagi update berita terbaru tentang huru-hara Korea Selatan secara global namun hanya menggagap itu sebagai angin lalu.
A Taxi Driver  juga  berangkat dari tokoh utama lainya yaitu Thomas Kretschmann atau akrab disapa Peter seorang Pendeta atau missionaris yang  datang ke Korea  Selatan  dari  jerman. Sebenarnya Peter hanyalah samaran daripada identitas asli  Jurgen Hinzpeter  seorang jurnalis atau wartawan Jerman yang semula tinggal di Jepang namun karena bosan dan mencari tantangan baru lalu memilih pergi ke Korea Selatan.Â
Awalnya Peter memang tak sengaja  betemu Supir Kim dijalanan karena salah  sangka taksi  yang dipesan. Nasib memang berpihak pada supir Kim karena kemampuan bahasa Inggrisnya membuat Peter yakin naik ke taksinya menuju Gwang Ju untuk meliput  peristiwa pembantaian gwangju.
Perjalanan  mereka  ke Gwangju tidak semulus yang diharapkan.  Banyak halang rintangan untuk menembus  blokade aparat kemanan dan tentara. Untungnya pengalaman wajib militer supir Kim sedikit banyak membantu untuk mensiasati  blokade tentara dengan menyamarkan identitas Peter  sebagai VIP  atau  pejabat  penting  luar negeri sehingga tembuslah blokade itu.Â
Dalam wilayah  gwangju pun bukanya supir  Kim lancar malah awalnya ada kesalahpahaman dengan supir  Gwangju karena  kim merupakan supir Seoul.  Akhirnya karena keadaan semakin gawat dan butuh banyak kendaraan untuk  lalu lalang maka  supir Kim diterima sebagai bagian dari  supir  Gwangju. Dalam peristiwa  Gwangju  terjadi simbiosis mutualisme antara  supir dan masyarakat.  Masyarakat menjamin supir dengan logistik berupa makanan  dan bensin alih-alih  membayar  dengan  uang. Supir kim sendiri  mendapat perlakuan istimewa  karena membawa wartawan asing sehingga  banyak masyarakat  dan kaum oposisi  yang memudahkan  perjalananya.Â