Mohon tunggu...
Reza Nurrohman
Reza Nurrohman Mohon Tunggu... Wiraswasta -

manusia yang terus bertumbuh. tidur dan makan adalah hal yang lebih menyenangkan sebenarnya namun berkerja merupakan kewajiban saya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Derita Seksual Sampai Sakit Mental Wanita Tahanan Politik 1965

24 September 2017   19:10 Diperbarui: 24 September 2017   21:09 21860
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pernah dengar jugun ianfu atau budak seks Jepang?  ingat film PKI balik bayangan wanita gerwani  yang kejam ternyata ada  kisah memilukan dari beberapa tahanan wanita yang dipenjara karena  dituduh simpatisan gerwani dan PKI. Nasib tapol wanita secara seksual  menderita karena  dipaksa berhubungan seksual sementara tahanan  pria  terpaksa  mmenjadi Gay  dalamm  penjara. Berikut kisah-kisah yang saya  kumpulkan dari berbagai sumber.

Awalnya gerwani hanya terlibat pelatihan sukarelawati ganyang  malaysia di pusat dan daerah namun naas keterlibatan pusat latihan sukarelawati  lubang buaya dalam pembunuhan para Jenderal pahlawan revolusi ikut menyeret gerwani.

Sejak 11 Oktober 1965, surat kabar yang sepenuhnya berada di bawah kontrol Angkatan Darat, mulai menerbitkan artikel-artikel tentang Gerwani yang menggunakan para perwira untuk 'permainan tjabul': 'sukarelawan-sukarelawan Gerwani telah bermain-main dengan para jendral, dengan menggosok-gosokkan kemaluan mereka ke kemaluan sendiri.'Cerita itu menjadi semakin rinci dalam artikel-artikel selanjutnya dalam dua bulan berikutnya dengan banyak bumbu-bumbu menyeramkan.

Perempuan-perempuan anggota Gerwani dikabarkan menari-nari telanjang di hadapan para jenderal, menyilet tubuh mereka, dan juga memotong kemaluan para perwira. Nyatanya menurut pengakuan dan dokumen visum para dokter pelaku sejarah dan akademisi seperti salim said tidak ada penyikasaan seksual Jenderal.

Cerita wanita yang dianggap amoral dan biadab mengenai aksi perempuan Gerwani di Lubang Buaya turut menggerakkan histeria anti-PKI pada akhir 1965. Anggota Gerwani di seluruh negeri dianggap sebagai setan yang tingkah lakunya sama dengan para perempuan penyiksa jenderal dalam cerita karangan tentara itu. 

Perempuan yang tinggal jauh dari Jakarta dan tidak pernah mendengar nama Lubang Buaya disebut pelacur dan pembunuh, seolaholah mereka turut melakukan kejahatan seperti perempuan-perempuan dalam cerita tentara. Dalam sekejap, puluhan ribu perempuan yang semula hidup normal danterhormat di kampung-kampung menjadi sasaran kekerasan massal dan serangan militer. Mereka dipukuli, dipenjara, dan dibunuh. Kehidupan mereka sepenuhnya berubah karena dipisah dari suami dan anak-anak mereka.

Mantan tahanan politik  wanita biasanya lebih sulit berbicara daripada mantan tahanan pria  karena masalah usia dan budaya. Mereka ternyata tidak jauh berbeda  dari kebanyakan ibu, tante, dan nenek yang sering saya temui dalam  kehidupan sehari-hari.

Tak bisa saya bayangkan ibu-ibu tua sederhana  yang bersahaja ini di masa mudanya terlibat dalam rencana penggulingan  kekuasaan negara, apalagi ikut atau mendukung tarian telanjang dan  penyiletan penis para jenderal dalam tarian harum bunga dengan lagu  genjer-genjer yang erotis  sekaligus kejam itu. Tak semua ibu yang itu  Gerwani. Tapi, begitu mereka ditangkap dan dipenjarakan, pemerintah  sudah mencap mereka sebagai Gerwani yaitu penjahat perempuan komunis. 

Mantan  tahanan politik wanita lebih hebat daripada mantan tahanan pria dala  hal ketegaran. Mereka memang tidak bicara tentang 'politik' tingkat  tinggi seperti beberapa mantan tapol laki-laki yang aktif seminar.  Mereka tidak bermimpi membangun kembali kejayaan organisasi mereka di  masa lalu. Namun, mereka juga tidak menampilkan diri sebagai korban  kekerasan yang harus dikasihani terus-menerus. 

Mental baja mereka  mungkin karena Gerwani didirikan pada 1950 awalnya bernama Gerwis  (Gerakan Wanita Indonesia Sedar) sebagian besar anggotanya adalah  perempuan-perempuan  yang terlibat langsung dalam perang kemerdekaan  melawan Belanda dan Jepang pada 1940an terutama sebagai tenaga dapur dan  medis. Kalau tak ada mereka pejuang  kemerdekaan akan kelaparan dan  mati karena tak ada perawatan.

Ketika seorang ibu ditangkap, maka yang akan langsung menjadi korban adalah anak-anaknya. Proses penangkapan yang sama sekali tidak mengikuti prosedur hukum,dilakukan secara tiba-tiba dan tidak manusiawi membuat seorang ibu bahkan tidak sempat mencarikan tempat aman untuk sang anak. Bayi-bayi yang membutuhkan perhatian khusus tidak bisa ditinggalkan oleh sang ibu. Maka, tak ada pilihan lain selain membawanya masuk tahanan. Perempuan yang sedang hamil juga tidak mendapat perlakuan khusus di dalam tahanan.

Ketika seorang gadis ditangkap, maka yang akan langsung menjadi korban  adalah kemaluanya atau kehormatanya. Proses penangkapan yang sama sekali tidak mengikuti  prosedur hukum,dilakukan secara tiba-tiba dan tidak manusiawi membuat  seorang gadis lebih cepat depresi dan frustasi.

Mereka melakukan apa saja untuk bertahan termasuk menjadi pelayan seksual para pengawal dan sipir penjara. Pada masa itu banyak wanita muda yang melakukan aborsi secara kecelakaan karena disiksa dan bayinya tak sempat keluar. Bahkan ada cerita wanita muda yang hamil kemudian dibunuh atau dibon bahasa halusnya demi meninggalkan jejak.

Sekitar 1970, penangkapan massal dan interogasi oleh tentara terhadap orang yang diduga terlibat G-30-S pun berakhir. Banyak tahanan politik yang digolongkan kurang 'berbahaya', golongan C, dilepas dari tahanan. Mereka yang termasuk golongan A dan B tetap disekap. Masalah paling serius bagi para tahanan, termasuk perempuan, pada  1970an adalah kekurangan makanan dan pemerkosaan seksual. 

Saat itu para tapol jarang mendapat siksaan badan berat ketika interogasi awalseperti ada cerita yang dipaksa berhubungan seks dengan alat-alat tajam dan aliran listrik seperti film bdsm atau hentai yang ekstrim. Tapi siksaan yang mereka alami jauh lebih kronis: pelaparan secara perlahan-lahan. Nampaknya tidak satu pun penjara di negeri ini yang memberi makanan cukup untuk bertahan hidup. Jatah dari penjara begitu sedikit sehingga tidak memenuhi kebutuhan kalori dan gizi para tahanan untuk bertahan hidup. 

Para tapol perempuan, seperti yang laki-laki juga, harus bergantung pada makanan yang dibawa oleh saudara mereka atau tanaman pangan yang mereka pelihara di kebun. Para tapol juga memenuhi kebutuhan akan protein dengan menangkap tikus, kucing dan anjing jalanan, bekicot dan kadal. Karena jatah dari penguasa penjara yang sangat terbatas, para tapol harus kreatif mencari jalan untuk bertahan hidup. Soal seks lebih baik daripada tahanan pria yang menjadi gay atau sakit mata (istilah tapol gay yang dipopulerkan mantan tahanan pram) namun seksnya kebanyakan dibawah paksaan.

Kekerasaan Mental sampai seksual mulai berhenti sebelum ada kunjungan dari orang atau lembaga asing. Palang Merah, Amnesti Internasional, dan pejabat pemerintah Eropa mulai berkunjung ke penjara-penjara sejak pertengahan 1970an. Sebelum orang asing datang, makanan yang disediakan menjadi beragam, mulai dari nasi, telur, sampai daging yang ditata dengan apik serta yang lainya seperti pakaian. Tujuannya adalah supaya tamu yang datang melihat bahwa tapol-tapol itu diperlakukan dengan baik.

Kebanyakan tapol perempuan dilepas bersama tapol laki-laki antara 1978 sampai 1979. Para tapol umumnya ditahan selama 13-14 tahun. Saat dilepas, anak-anak mereka sudah beranjak dewasa dan terbiasa dengan propaganda hitam dan lembaga-lembaga politik ciptaan rezim Soeharto. Banyak eks-tapol perempuan yang mengungkapkan kesedihan mereka karena tidak dapat berkomunikasi dengan anak-anak mereka. Anak-anak yang telah tumbuh dewasa tanpa kehadiran sang ibu cenderung mengambil jarak.

Ironisnya negara membatasi gerak mereka dengan aturan-aturan yang diskriminatif seperti kebijakan bersih diri dan bersih lingkungan serta cap ET agar tak ada keluarga mereka yang dapat posisi penting meskipun ada yang punya keluarga pejabat atau perwira namun mereka pasti dibuag dan tak diakui, mereka harus bekerja apa saja, termasuk menjadi pembantu rumah tangga,  atau membuka warung kecil-kecilan, agar bisa melanjutkan kehidupan mereka dan anakanak mereka. 

Banyak pula dari mereka yang kehilangan suami, atau kalaupun suaminya masih hidup, biasanya juga berstatus eks-tapol sehingga tidak mudah beroleh pekerjaan. Yang lebih mengenaskan, sampai berusia lanjut dan mulai sakit-sakitan, mereka masih harus bekerja keras. 

Mereka tidak selalu bisa bergantung pada anak-anak yang sudah dewasa dan bekerja karena kebanyakan anak-anak tapol hidupnya juga pas-pasan. Dalam keadaan seperti inilah solidaritas antar sesama eks-tapol benar-benar terbangun dan berfungsi sebagai jaring pengamanan sosial yang efektif. Oleh karena itu perkumpulan-perkumpulan tahanan tragedi 1965 terutama yang tertutup dalam bentuk ibu-ibu arisan tak udah pandang negatif toh mereka hanya sekedar ingin bertahan hidup mengingat diskriminasi yang telah mereka alami selama ini. Harus kita akui tahanan wanita lebih banyak ruginya daripada tahanan pria dari soal biologis (masa subur) sampai soal lainya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun