Mohon tunggu...
reza novra
reza novra Mohon Tunggu... Musisi dan Pekerja Grafis -

Musisi dan Pekerja Grafis. wordpress: http://rezanov.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Berita dari Jepang: Bahasa, Proyek Kereta Cepat dan Islam

16 Maret 2016   22:28 Diperbarui: 16 Maret 2016   22:37 18
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="tokyo camii "][/caption]Tidak ada alasan bagi penulis untuk pergi berkunjung ke Jepang selama seminggu.  Namun tidak ada alasan pula untuk tidak melakukan perjalanan ke Jepang.  Tanggal 1 Maret 2016 Penulis berkunjung ke Jepang.  Yang mendasari Penulis pergi ke negeri Sakura itu lebih kepada ingin melakukan petualangan kecil sekaligus melakukan riset kecil-kecilan tentang kultur dan perkembangan Islam disana.  Awalnya hanya ingin melakukan perjalanan biasa layaknya turis, namun apa daya keuangan terbatas.  Dari situ Penulis mulai berpikir, dengan budget yang terbatas bagaimana caranya bisa mendapatkan manfaat dari perjalanan ini?  Setelah banyak menimbang-nimbang, akhirnya Penulis memutuskan untuk menetap di satu kota saja yaitu Tokyo.  Ya, penulis memutuskan untuk berjalan-jalan di Tokyo dan Suburbannya saja, Saitama. Ya, Tokyo dan Saitama.  Mungkin sama seperti Jakarta dan Bekasinya. 

Untuk penginapan pun pemesanannya melalui Airbnb.  Karena ingin lebih dekat dan mempelajari tentang Jepang berikut manusia-manusianya.  Bila menginap di hotel, sudah barang tentu mahal dan kurang menantang.  Penulis menetap selama tiga malam di Tokorozawa – Saitama, di rumah seorang Ibu tua berusia tujuh puluh tahun, yang sudah menjalani usaha Guest House selama dua puluh tahun lebih.  Murah, semalamnya seharga Rp. 300.000 an saja, tetapi tanpa makan. Tiga malam berikutnya menginap di sebuah Apartemen kecil di daerah Komae, Tokyo dimana semalamnya hanya dihargai sekitar Rp.250.000 an saja.  Itu berarti penulis bisa melakukan penghematan besar-besaran dengan mengalihkan keuangan untuk menikmati perjalanan dari kereta ke kereta dan bis ke bis.

Sebelum pergi, Penulis melakukan riset selama sebulan setengah melalui youtube dan Google mengenai cara naik transportasi disana supaya tidak menghabiskan banyak waktu untuk berbingung-bingung ria. Bahasa Jepang yang sempat dipelajari saat masih di SMA, yakni sekitar lima belas tahunan yang lalu mau tidak mau harus dipelajari lagi supaya berguna saat tersesat untuk menanyakan jalan ataupun sekedar berbasa-basi.  Karena konon bahasa Inggris orang Jepang kurang begitu baik, bahkan cenderung banyak yang tidak bisa.  

Sesampainya di Bandara Narita, Penulis tidak begitu kesulitan melakukan perjalanan dengan kereta menuju Tokorozawa karena sudah mempelajari dahulu rute dan cara naik keretanya.  Aplikasi semacam Rome2rio  ditambah riset melalui youtube sangat membantu.  Mungkin sekitar dua jam setengah penulis akhirnya tiba di sebuah kota tujuan, yaitu Tokorozawa di daerah Saitama.  Sesampainya di stasiun Tokorozawa sekitar pukul tujuh malam, namun penulis tidak meminta untuk dijemput di stasiun.  Ditengah cuaca yang dingin (sekitar delapan derajat celcius) akhirnya penulis sampai juga  di tempat tujuan. Tentunya dengan sedikit kesasar, karena memang kotanya sunyi sekali bila malam tiba walaupun itu baru pukul tujuh malam.  Untunglah ada orang yang bisa ditanyai dan bersedia mengantarkan. 

Tokorozawa

[caption caption="tokorozawa"]

[/caption]Tokorozawa pada pagi hari terlihat begitu indah.  Perumahan kecil yang tersusun dan terletak begitu rapi membuat penulis melakukan jalan-jalan pagi ke setiap sudut kota berikut memasuki hutan-hutan kecilnya.  Kota ini banyak dihuni oleh orang-orang berusia lanjut.  Bagi yang menyukai ketenangan, dan sisi lain dari gemerlapnya pusat kota Tokyo bolehlah mampir ke Tokorozawa yang terletak di daerah Saitama. Penulis menyukai perjalanan dari Guest House ke Stasiun Shin Akitsu, dimana berjarak sekitar satu setengah kilometer.  Walaupun sedikit jauh dan ditempuh berjalan kaki, namun ada sensasi tersendiri berjalan sambil menikmati setiap jengkal pemandangan Tokorozawa berikut senjanya.

Tokyo Camii’ dan Musholla Al Ikhlas

[caption caption="tokyo camii"]

[/caption]Barulah pada hari ketiga penulis berhasil mengunjungi salah satu Masjid terbesar di Tokyo yang bernama Tokyo Camii’ setelah menyelesaikan kunjungan ke Ghibli Museum yang terletak di Mitaka.   Masjid ini adalah Masjid Turki yang letaknya di Shibuya, tepatnya dekat perumahan Yoyogi Uehara.  Berdasarkan data yang dihimpun, Masjid ini dibangun pada tahun 1930 oleh migran Muslim Tatar dari Rusia.  Tetapi kita tidak akan berbicara panjang mengenai data yang bisa dicari sendiri melalui internet.  Selama seminggu di Tokyo, penulis mengunjungi Tokyo Camii’ sebanyak empat kali dan satu kali mushalla di Kabukicho.  Masjidnya sendiri terdapat di lantai dua, sedangkan lantai satunya berfungsi sebagai tempat untuk mempelajari pusat kebudayaan Turki dan Islam sekaligus tempat berjualan souvenir atau merchandise, dari produk-produk makanan halal sampai gantungan kunci. 

Pada hari Jumat, penulis berkesempatan untuk melakukan Sholat Jumat disana.  Senangnya bisa bertemu dengan saudara-saudara dari Indonesia, Malaysia, Mesir, Turki, Afrika, Pakistan, Bangladesh,dsb  dan berbincang-bincang dengan mereka mengenai kehidupan di Jepang.

Ada sesuatu yang menarik di Tokyo Camii’ yang membuat penulis menyempatkan beberapa kali mampir kesana.  Tentunya selain untuk meneguk minuman jus gratisnya atau makanan yang dibagi-bagikan secara cuma-cuma setelah sholat Jumat.  Setiap hari bahkan setiap saat dalam satu harinya, Masjid itu selalu ramai dikunjungi oleh wisatawan domestik.  Diantaranya banyak wanita dan anak-anak muda.  Bahkan pada suatu waktu ada rombongan wisatawan domestik dalam jumlah besar berkunjung kesana dan mendengarkan penjelasan dari Shigeru-san, Pengurus Tokyo Camii’  mengenai sejarah Turki, berikut sejarah Islam di Jepang.

Lalu mereka beralih ke dalam Masjid dan duduk tertib di dalamnya sembari memperhatikan kami melakukan sholat Ashar berjamaah.  Saat penulis mencari tahu dari beberapa pengurus masjid apakah banyak penduduk lokal yang muslim, tetapi kebanyakan jawabannya adalah hanya sedikit.  Kebanyakan adalah para Migran.  Mungkin belum terdata dengan begitu baik, namun masyarakat Jepang banyak yang tertarik dengan Islam dan kebudayaannya dengan cara mengunjungi Tokyo Camii’. 

Sekitar hari kelima, penulis ke daerah Kabukicho pada pagi hari.  Sebelumnya penulis  mencari tahu dulu tentang Kabukicho di internet sebelum berangkat.  Banyak berita yang menuliskan sebaiknya jangan mengunjungi Kabukicho pada malam hari apalagi sendiri (khususnya untuk wanita).  Kabukicho adalah Red District di Jepang dan konon banyak Yakuza.  Tetapi karena pernah mendengar ada musholla di daerah tersebut dan salah satu imamnya adalah orang Jepang yang seluruh tubuhnya penuh tato, penulis pun tertarik untuk mencarinya.  Letak musholla tersebut berada di belakang restoran India, pada sebuah gang kumuh.  Nama Mushollanya adalah Musholla Al Ikhlas.  Tetapi pintu Musholla tertutup rapat.  Setelah diketuk berkali-kali tak ada jawaban, akhirnya penulis kembali ke Tokyo Camii’ lagi untuk bertanya-tanya ke Shigeru-san /Abdul karim mengenai keberadaan Musholla disana. Tetapi ia kurang begitu tahu walaupun memang pernah mendengar ada Musholla disana.

Malamnya penulis memutuskan untuk mengunjungi Kabukicho lagi.  Kali ini penulis berhasil.  Musholla itu dibuka, dan pengurusnya adalah orang Ternate berusia tujuh puluh delapan tahun tetapi masih terlihat segar bugar.  Suatu hal yang unik bagi penulis di kawasan ‘merah’ ini bisa terdapat Musholla.  Pengurus Musholla itu bernama pak Idris, seorang jurnalis Islam.  Kami berbincang hanya sebentar saja, karena penulis sudah keburu berjanji dengan teman Indonesia yang berada disana untuk bertemu.  Penulispun tidak sempat bertemu dengan imam jepang yang tubuhnya penuh tato itu. Seandainya ada kesempatan lagi ke Jepang penulis ingin mengunjungi musholla itu lagi. 

Kesimpulan

Banyak yang membuat Penulis terpukau selama seminggu bertualang singkat di Jepang karena bebas berjalan dan berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain.  Menemukan beberapa hal yang mungkin bisa dibilang kontradiktif dengan Indonesia namun menarik untuk dituliskan karena menarik perhatian.

Yang pertama  adalah Bahasa Inggris.  Kebanyakan penduduk Jepang bahasa Inggrisnya tidak begitu bagus, bahkan banyak yang tidak bisa.  Tetapi negaranya bisa begitu maju dan mengapa mereka merasa baik-baik saja dengan itu? Bahkan berhasil menghasilkan budaya baru semacam Anime, Komik, dsb yang kini sudah mendunia.  Beda sekali dengan kebanyakan kaum menengah keatas Indonesia yang cenderung nyinyir atau menertawakan ketika ada kawannya yang berbahasa Inggris dengan grammar yang belepotan. Gadis-gadis manis di klub yang ketika bicara sering menyelipkan “keinggrisannya”  lengkap dengan aksennya yang kerap membuat geli.  Kebanyakan turis Indonesia yang pulang dari Jepang mengeluh susah karena penduduknya tidak bisa bahasa Inggris.  Entah mana yang lebih maju pola pikirnya? Jangan-jangan hanya kita sendiri yang merasa diri ini sudah maju atau modern.  Identitas kedirian saja masih belum jelas, budaya baru yang dihasilkan pun baru sekelas dangdut koplo remix.

Yang kedua adalah Penulis mendapati berita proyek kereta cepat Jakarta-Bandung dari teman-teman Indonesia yang tinggal di Jepang.  Saat pemerintah Indonesia ‘mendadak’  beralih ke Cina untuk pengerjaan proyek kereta cepat, betapa kecewanya pemerintah Jepang.  Berita ini menjadi pembicaraan yang besar disana dan diulas berhari-hari.  Beda dari berita yang kita terima di Indonesia bahwa Jepang tidak kecewa.  Sekali lagi Penulis sadari kebenaran selalu bersifat kontekstual.  Apa yang kita baca di dunia maya, sebaiknya tidak kita telan mentah-mentah begitu saja.

Yang terakhir yaitu Islam.  Menurut Penulis, Islam akan berkembang makin pesat ke depannya, bila dilihat makin banyaknya orang Jepang yang tertarik ingin mengenal Islam lebih dalam lagi melalui seringnya berkunjung ke Tokyo Camii’.  Dari beberapa data yang Penulis himpun, beberapa muallaf Jepang  memiliki alasan tersendiri apa yang menjadi daya tarik Islam bagi mereka.  Ada yang tertarik dengan cara sholatnya karena sedikit mirip dengan cara orang Jepang membungkukkan badan untuk meminta maaf. Lalu ada pula yang tertarik karena wanita-wanita Islam mengenakan Jilbab.  Bagi mereka (khususnya para wanitanya) ini hal yang unik dan kagum pada cara Islam untuk menjaga kehormatan wanita-wanitanya.  Menurut penulis ini menarik, di saat kebanyakan kalangan menengah keatas Indonesia tengah nyinyir mengusung anti budaya Arab, tetapi bagi banyak Muallaf Jepang Jilbab merupakan sesuatu yang eksotik dan sepakat dengan tujuannya untuk menjaga kehormatan Wanita.  Ada pula yang tertarik dengan agama ini karena persaudaraan sesama Islamnya begitu erat, walaupun berbeda warna kulit dan suku bangsa. Banyak pula yang terkejut karena  Islam ternyata sama sekali berbeda dengan opini yang  dibentuk media massa selama ini. 

Pemerintah Jepang sendiri pun sudah mulai memperbanyak sarana untuk orang Islam yang berkunjung kesana. Seperti contohnya fasilitas “Prayer Room” di Bandara, dan mulai ada beberapa restoran halal berikut Supermarket yang menjual makanan halal. Masjid mulai ada banyak.  Ada sekitar seratus masjid yang tersebar di seluruh Jepang.

Begitulah kira-kira hasil kunjungan singkat ke Jepang.  Memang hanya berupa riset kecil-kecilan dari sudut pandang seorang turis yang berjalan tak tentu arah kesana kemari.  Namun semoga berguna sebagai informasi sekadarnya.  Semoga Penulis bisa kembali secepatnya kesana untuk melakukan riset yang jauh lebih mendalam. 

[caption caption="kabukicho"]

[/caption]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun