[caption caption="tokyo camii "][/caption]Tidak ada alasan bagi penulis untuk pergi berkunjung ke Jepang selama seminggu. Â Namun tidak ada alasan pula untuk tidak melakukan perjalanan ke Jepang. Â Tanggal 1 Maret 2016 Penulis berkunjung ke Jepang. Â Yang mendasari Penulis pergi ke negeri Sakura itu lebih kepada ingin melakukan petualangan kecil sekaligus melakukan riset kecil-kecilan tentang kultur dan perkembangan Islam disana. Â Awalnya hanya ingin melakukan perjalanan biasa layaknya turis, namun apa daya keuangan terbatas. Â Dari situ Penulis mulai berpikir, dengan budget yang terbatas bagaimana caranya bisa mendapatkan manfaat dari perjalanan ini? Â Setelah banyak menimbang-nimbang, akhirnya Penulis memutuskan untuk menetap di satu kota saja yaitu Tokyo. Â Ya, penulis memutuskan untuk berjalan-jalan di Tokyo dan Suburbannya saja, Saitama. Ya, Tokyo dan Saitama. Â Mungkin sama seperti Jakarta dan Bekasinya.Â
Untuk penginapan pun pemesanannya melalui Airbnb.  Karena ingin lebih dekat dan mempelajari tentang Jepang berikut manusia-manusianya.  Bila menginap di hotel, sudah barang tentu mahal dan kurang menantang.  Penulis menetap selama tiga malam di Tokorozawa – Saitama, di rumah seorang Ibu tua berusia tujuh puluh tahun, yang sudah menjalani usaha Guest House selama dua puluh tahun lebih.  Murah, semalamnya seharga Rp. 300.000 an saja, tetapi tanpa makan. Tiga malam berikutnya menginap di sebuah Apartemen kecil di daerah Komae, Tokyo dimana semalamnya hanya dihargai sekitar Rp.250.000 an saja.  Itu berarti penulis bisa melakukan penghematan besar-besaran dengan mengalihkan keuangan untuk menikmati perjalanan dari kereta ke kereta dan bis ke bis.
Sebelum pergi, Penulis melakukan riset selama sebulan setengah melalui youtube dan Google mengenai cara naik transportasi disana supaya tidak menghabiskan banyak waktu untuk berbingung-bingung ria. Bahasa Jepang yang sempat dipelajari saat masih di SMA, yakni sekitar lima belas tahunan yang lalu mau tidak mau harus dipelajari lagi supaya berguna saat tersesat untuk menanyakan jalan ataupun sekedar berbasa-basi. Â Karena konon bahasa Inggris orang Jepang kurang begitu baik, bahkan cenderung banyak yang tidak bisa. Â
Sesampainya di Bandara Narita, Penulis tidak begitu kesulitan melakukan perjalanan dengan kereta menuju Tokorozawa karena sudah mempelajari dahulu rute dan cara naik keretanya.  Aplikasi semacam Rome2rio  ditambah riset melalui youtube sangat membantu.  Mungkin sekitar dua jam setengah penulis akhirnya tiba di sebuah kota tujuan, yaitu Tokorozawa di daerah Saitama.  Sesampainya di stasiun Tokorozawa sekitar pukul tujuh malam, namun penulis tidak meminta untuk dijemput di stasiun.  Ditengah cuaca yang dingin (sekitar delapan derajat celcius) akhirnya penulis sampai juga  di tempat tujuan. Tentunya dengan sedikit kesasar, karena memang kotanya sunyi sekali bila malam tiba walaupun itu baru pukul tujuh malam.  Untunglah ada orang yang bisa ditanyai dan bersedia mengantarkan.Â
Tokorozawa
[caption caption="tokorozawa"]
Tokyo Camii’ dan Musholla Al Ikhlas
[caption caption="tokyo camii"]
Pada hari Jumat, penulis berkesempatan untuk melakukan Sholat Jumat disana.  Senangnya bisa bertemu dengan saudara-saudara dari Indonesia, Malaysia, Mesir, Turki, Afrika, Pakistan, Bangladesh,dsb  dan berbincang-bincang dengan mereka mengenai kehidupan di Jepang.
Ada sesuatu yang menarik di Tokyo Camii’ yang membuat penulis menyempatkan beberapa kali mampir kesana.  Tentunya selain untuk meneguk minuman jus gratisnya atau makanan yang dibagi-bagikan secara cuma-cuma setelah sholat Jumat.  Setiap hari bahkan setiap saat dalam satu harinya, Masjid itu selalu ramai dikunjungi oleh wisatawan domestik.  Diantaranya banyak wanita dan anak-anak muda.  Bahkan pada suatu waktu ada rombongan wisatawan domestik dalam jumlah besar berkunjung kesana dan mendengarkan penjelasan dari Shigeru-san, Pengurus Tokyo Camii’  mengenai sejarah Turki, berikut sejarah Islam di Jepang.
Lalu mereka beralih ke dalam Masjid dan duduk tertib di dalamnya sembari memperhatikan kami melakukan sholat Ashar berjamaah.  Saat penulis mencari tahu dari beberapa pengurus masjid apakah banyak penduduk lokal yang muslim, tetapi kebanyakan jawabannya adalah hanya sedikit.  Kebanyakan adalah para Migran.  Mungkin belum terdata dengan begitu baik, namun masyarakat Jepang banyak yang tertarik dengan Islam dan kebudayaannya dengan cara mengunjungi Tokyo Camii’.Â