Mohon tunggu...
Reza Nopitri
Reza Nopitri Mohon Tunggu... Relawan - reza nopitri

Masiswa Universitas Maritim Raja Ali Haji Tanjung Pinang

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Opini Persepsi Penyelenggaraan Pilkada di Indonesia dalam Perspektif Pemberantasan Korupsi Tahun 2020

7 Desember 2020   13:40 Diperbarui: 7 Desember 2020   13:47 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020 tengah menjadi soroton publik dikarenakan menuai banyak protes dari berbagai pihak. Bagaimana ini dapat terjadi? Menurut saya pribadi, KPU dalam pernyataannya membuat keputusan untuk tetap menyelenggrakan Pilkada serentak pada 9 desember 2020. 

Hal ini dengan alasan bahwa seluruh tahapan yang sudah dan sedang berlangsung masih sesuai rencana dan situasi masih dapat terkendali dan penegakan hukum yang jelas dan tegas untuk mengantisipasi penularan Covid 19 karena dari sekarang pemerintah sangat mempersiapkan secara matang. 

Terkait dengan hal ini, pemberitaan muncul bahwa pemerintah berjanji bahwa penyelenggaraan Pilkada akan dilaksanakan sesuai dengan protokol kesehatan. 

Sama sama kita ketahui bahwa dalam pelaksanaannya sendiri akan mengumpulkan banyak orang dimana hal utama dalam pelaksanaannya harus mengikuti protokol kesehatan, maka dari itu ini merupakan tantangan tersendiri bagi rakyat Indonesia yang akan melaksankan pilkada serentak. 

Kita ketahui bahwa pemilihan kepala daerah merupakan salah satu bagian dari mekanisme demokrasi, ini merupakan gerbang utama dalam membangun kepemimpinan di daerah. Hal ini biasa disebut juga sebagai rekrutmen politik yaitu penyeleksian rakyat terhadap tokoh-tokoh yang mencalonkan diri sebagai kepala daerah. 

Pemilihan kepala daerah (Pilkada) sekarang ini dilakukan secara langsung yang mana sudah ada sejak tahun 2005 didasari pada ketentuan UU NO.32 tahun2004 dengan berlandaskan pada ketentuaan pasal 18 ayat 4 UUD 1945 yang menetukan bahwa gubernur, bupati dan walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota.  

Berbicara tentang penyelenggraan pilkada yang bebas korupsi jelas sangat diharapkan oleh masyarakat Indonesia. Melalui Pilkada masyarakat sebagai pemilih berhak memilih kepala daerah secara langsung tanpa perantara dan sesuai hati nurani. 

Menurut saya, ditengah tahapan persiapan pilkada segala persiapan mungkin dapat dikatakan belum rampung hal ini ditandai dengan keresahan masyarakat atas perkara mantan koruptor yang diperbolehkan untuk naik menjadi pasangan calon kepala daerah, maka dari itu perlunya evaluasi bagi pilkada serentak dalam persoalan penyelenggaraannya.

Kutipan penyampain menteri dalam negeri (Mendagri), Tito Karnavian menyebut perlunya evaluasi pilkada secara langsung beralih menjadi sistem pemilihan oleh dewan perwakilan rakyat daerah atau DPRD. 

Alasannya sendiri yaitu bahwa dalam pilkada langsung membutuhkan biaya politik yang tinggi sehingga besar kemungkinan dapat mendorong kepala daerah melakukan korupsi. 

Korupsi sebagai dari permasalahan kejahatan, telah menjadi suatu komuditi. Persoalan korupsi, tidak lagi terbatas pada persoalan nasional suatu negara, termasuk Indonesia. Tetapi juga merupakan bagian dari permasalahan global.

Dalam hal ini menurut saya, bahwa korupsi itu merupakan salah satu issue yang mengglobal sehingga perlu mendapat perhatian serius. Di Indonesia, pemerintah saat ini tengah gencar mengkampanyekan pemberantasan korupsi mulai dari level atas sampai bawah yang berarti secara nasional telah ada upaya memberantas korupsi pada semua level. 

Sehubung dengan pelaksanaan pilkada secara langsung. Proses politik dalam pelaksaan pilkada tidak akan steril dari praktek-praktek kotor (korupsi) seperti kemunginan adanya sumbangan politik secara illegal. 

Terjadinya praktek dimikian, tidak dapat dilepaskan dari keinginan bahwa dalam menetukan pemimpin daerah (kepala daerah) yang dipilih langsung oleh rakyat.

Pelaksanaan pilkada membutukan dana besar yang mungkin menurut saya tidak mungkin ditanggung sendiri oleh calon kepala daerah. Nah dalam kondisi demikian maka caranya bisa mencari sumber pembiayaan dengan menghubungi orang-orang atau kelompok yang mempunyai dana. Hal ini semua pasti ada imbalannya diantara mereka melakukan secara rahasia, imbalan pun akan disepakati. 

Dana yang diberikan itu, pada umumnya untuk tujuan ekonomi yaitu untuk menikmati jaminan birokrasi dan mempengaruhi politik sehingga sipemberi sumbangan mendapat keuntungan lebih besar.

Pelaksanaan pilkada sebagian besar berlangsung ditanah air, kebanyakan menurut saya potensi yang lebih besar berupa pengingkaran terhadap nilai-nilai demokrasi dan menimbulkan ladang-ldang korupsi baru, mengapa begitu? menurut pandangan saya jika calon kepala daerah yang didukung itu terpilih menjadi kepala daerah, pastinya dia akan mencoba berupaya untuk mengembalikan dana yang sudah dikeluarkan.

Akhirnya bukannya kualitas yang hendak dikedepankan sebagai mana janji-janji yang disampaikan ketika kemapanye, secara tesebunyi mengitung besaran dana yang sudah dikeluarkan dan menyusun rencana untuk pengembaliannya. 

Dana kampanye dapat diperoleh dari pasangan calon, partai politik, sumbangan pihak-pihak tertentu, badan swasta dan sumbangan perseorangan. Baiklah, menurut saya kejahatan yang membahayakan dan merugikan tidak hanya kejahatan terhadap nyawa orang dan harta benda, tetapi juga penyalahguna kekuasaan (abuse of power). 

Hal ini sama dengan tentang transparasi penggunaan anggaran pilkada dapat diketahui bahwa dalam pemerintahan KPU sejauh ini belum ada, karena dalam hal ini sebagian besar merupakan barang habis pakai yang tidak biasa diaudit dan mudah untuk memanipulasinya. 

Sangat jelas bahwa menerima sumbangan tidak dibenarkan, KPUD ( pasal 85 ayat 2), pelanggaran yang menerima maupun yang memberi dana kampanye sebagai pasal 116 ayat (7) diancam dengan pidana penjara paling singkat dua empat bulan dan denda paling sedikit satu miliar rupiah. 

Pada zaman sekarang asas kejujuran dan keterbukaan yang seharusnya melekat dalam suatu lembaga yang bernama demokrasi, akibatnya sangat memungkinkan untuk menyingkirkan saingan politiknya yang potensial.

Pemilihan kepala daerah secara langsung telah menanamkan bibit-bibit pemerintahan yang tidak steril dari praktik korupsi. Untuk itu, keberlangsungan Pilkada tersebut perlu dipertanyakan atau ditinjau kembali kemanfaatnya bagi kepentingan nasional. Jika tidak, upaya pemberantasan korupsi yang tengah digalakkan saat ini, hanya akan menjadi suatu cita-cita. 

Harapannya semoga pilkada serentak tahun 2020 ini bebas dan bersih dan korupsi hingga tidak ada bibit baru yang bermunculan melainkan bibit lama mendapat evaluasi kedepannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun