Mohon tunggu...
Reza Muhammad Nashir
Reza Muhammad Nashir Mohon Tunggu... Peternak - Perjuangan Rakyat

Menulis semua hal yang menyimpang dari jalan kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Resensi Buku "Sekolah Dibubarkan Saja"

14 Februari 2019   21:54 Diperbarui: 14 Februari 2019   21:59 436
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Buku ini merupakan hasil interaksi penulis dengan beberapa temannya dan hasil penelitian di beberapa tempat di ranah minang yang sudah tersimpan lama. Tanah yang sangat dicintai sang penulis ini tetapi banyak mengendap permasalahan dan harapan yang terus mengawang membuat penulis mencurahkannya ke dalam buku "Sekolah Dibubarkan Saja". Buku ini ditulis oleh pengarangnya terkait pengalaman belajar dengan para remaja usia sekolah, ketika penulis menjadi seorang aktivis kesehatan dan reproduksi di daerah Sumatra Barat.

Segala permasalahan yang menimpa para peljar mengenai konsep belajar mengajar disekolah. Adanya kekecewaan para pelajar atas sikap dari sekolah tak bias memberikan hasil yang terbaik, sesuai dengan yang dicita-citakan. Mereka berpendapat bahwa jadi seoarang siswa itu harus mau berusaha. Paradigm pendidikan sekolah yang hanya menempatkan siswa sebagai objek yang harus menurut peraturan sekolah, rajin mengerjakan tugas, disiplin hadir disekolah dan suasana belajar menjadi tidak nyaman dan membosankan. Bagaimana pun caranya yang penting sekolahnya mendapatkan tingkatan prestasi atau bias dibilang sekolah yang berprestasi cemerlang, selain itu guru-guru bias dianggap sebagai pahlawan pendidikan, meskipun apa yang diajarkan disekolah tidak ssuai dengan yang dipikirkan kebanyakan orang. Kekecewaan yang dialami oleh para pelajar, membuat mereka menginginkan sekolah dibubarkan saja.

Ada berbagai gejolak pertentangan ketika menulis buku ini, yaitu sudah banyak karya yang tentang permasalahan sekolah tetapi apakah itu semua sudah membangun kesadaran atau belum. Sebagai permasalahan social di pendidikan, apakah ini akan terus didiamkan atau seakan-akan tidak pernah terjadi? Maka inilah dorongan untuk "Sekolah Dibubarkan Saja!" terus maju. Pesan dari penulis "Sepahit apapun kejujuran, jauh lebih baik dari kebohongan".

Buku ini ditulis dalam bentuk novel, yang membuat orang bertanya kenapa tidak dalam bentuk paparan hasil penelitian supaya dapat menjadi referensi yang valid? Penulis belajar dari banyak pengalaman, bahwa rasionalitas tidak cukup kuat untuk membuat perubahan. Maka rasa simpati, emosi, hati nurani mungkin lebih ampuh. Semua keresahan penulis disampaikan lewat cerita yang melibatkan emosi dan pandangan subjektif dari penulis. Akhirnya permasalahan dalam dunia pendidikan tidak selalu dapat diselesaikan dengan logika, tetapi juga harus menggunakan hati nurani.

'....jika pada akhirnya nanti saya tetap akan jadi petani juga, meski sudah bersekolah tinggi-tinggi dan jauh-jauh ke kota, mengapa saya tidak mulai dari sekarang saja? Begitulah yang ditulis Roem Topatimasang dalam bukunya Sekolah itu Candu. Berangkat dari pernyataan tersebut seharusnya sekolah memberikan kebutuhan dari muridnya, bukan memberikan apa yang dikehendaki sekolah. Cerita buku ini berawal ketika penulis melakukan pekerjaan PKBI Sumbar di Jorong Sikabu Kabupaten Tanah Datar untuk trauma healing akibat gempa yang mengguncang di Sumatra Barat tahun 2007. Angka putus sekolah yang tinggi didaerah terebut menjadi sorotan perhatian atas sebab apa yang membuat permasalahan yang terjadi.

Ada kekecewaan mendalam yang dirasakan pelajar di daerah tersebut akan konsep belajar di sekolah. Anak-anak merasakan sedikit sekali manfaat yang dapat diambil dari kegiatan belajar di sekolah. Pandangan mereka cenderung realistis terhadap kehidupan masa depannya. Rio yang diceritakan oleh penulis di buku ini salah satu anak SD di Jorong Sikabu yang putus sekolah karena menganggap bahwa sekolah itu membosankan. Sehingga Rio lebih memilih untuk beternak sapi yang dibelikan orang tuanya. Masyarakat Jorong Sikabu melihat bahwa sekolah tidak ada sangkut pautnya dengan kehidupan selanjutnya yang cenderung untuk memenuhi ekonomi. Wajar bila orang tua membiarkan jika anaknya putus sekolah karena mereka sendiri tidak mendapatkan pendidikan yang tinggi.

Kemudian di buku ini penulis juga mengkritisi terkait jalannya Ujian Nasional (UN) yang diselenggarakan pemerintah sebagai syarat lulus seorang siswa dari tingkatan sekolah. UN hanya sebatas seremonial belaka, dimana banyak berita pro-kontra yang terjadi sebelum dilaksanakannya UN. Tetapi pasca terlaksananya UN, seakan berita tersebut hanya sebatas pemanis yang hilang dengan berita-berita suksesnya UN tersebut. Tulisan-tulisan baik yang pro maupun kontra terkait UN hanya sebatas siklus yang terus terjadi di tahun selanjutnya, kemudian dilanjutkan dengan tulisan susksesnya terselenggaranya UN dan prestasi-prestasi sekolah yang mampu mengantarkan siswanya lulus rata-rata terbaik. Ajang ini hanya mengantarkan pada kepuasan prestasi sekolah, tapi tidak melihat bagaimana proses yang harus dilalui siswanya. "Pokoknya harus lulus membanggakan sekolah, caranya terserah kalian!!!", begitu kiranya bahasa yang mudah.

System pendidikan telah menghancurkan mimpi dan cita-cita anak di negeri ini. Sekolah yang harusnya menjembatani untuk meraih mimpi, telah berubah untuk mengahncurkan. Pandangan terhadap sekolah akhirnya juga berubah. Kecurangan-kecurangan yang dilakukan saat pesta sekolah dianggap lumrah. Meskipun terdapat segelintir orang bersuara, tetapi tidak terdengar satupun. Bertanya adalah tabu, membangkang adalah dosa, kreatif adalah memalukan. Diam adalah emas, penurut adalah membanggakan. Itulah sekolah!

Ibarat pabrik, sekolah memiliki pemilik yaitu pemerintah yang mengatur dan sebagai hak tunggal kepemilikan. Pabrik ini juga memiliki peralatan berupa kurikulum yang tiap kepemimpinan dengan dalih menyesuaikan atas permintaan pasar. Tetapi pengelolanya yaitu guru tidak di upgrade yang  membuat perubahan-perubahan kurikulum tidak sesuai dengan tujuannya. Sehingga murid di pabrik ini sebagai bahan produksi hanya sebagai bahan tidak jadi. Ketika SD murid diolah sampai enam (6) tingkatan untuk menjadi bahan setengah jadi. Kemudian di SMP bahan ini diolah kembali dengan harapan bias menjadi bahan jadi, tetapi kenyataannya hanya sebagai bahan seakan jadi yang membuat harus melanjutkan pengolahan di tingkatan selanjutnya yang bernama SMA.

Setelah Sembilan tahun lamanya baru di pabrik ini pertama kalinya bertanya untuk menentukan arah dan tujuan dari perjalanannya yaitu dengan adanya penjurusan. Tetapi sekali lagi ini hanya sekedar basa basi belaka, karena keputusan sudah ada ditangan guru. "Bagai punduk merindukan bulan" begitulah keadaan yang tepat dirasakan murid ketika penjurusan, dimana keinginan tidak sesuai dengan otoritas guru. Murid yang berkeinginan masuk jurusan IPA karena tidak mencukupi nilai IPA harus terima masuk IPS, begitupun sebaliknya. Negosiasi yang tidak seimbang dimana murid memiliki daya tawar yang rendah.

Sekolah dibangun dengan system siapa yang sesuai dengan kemampuan, bukan untuk memenuhi keinginan murid. Jalan hidup yang diharapkan sekolah mampu mengantarkan keinginan, justru membunuh secara perlahan keinginan tersebut. Kebebasan memilih dengan sadar terkungkung akan pemaksaan kehendak oleh persepsi orang lain. Manusia yang diciptakan dengan perbedaan, harus diganti dengan baju keseragaman. Jika perbedaan sudah tidak ada lagi, pupus sudah perbedaan manusia dengan binatang.

Orang Miskin Dilarang Masuk

Penulis menyampaikan aspirasinya secara cemerlang serta pendidikan yang benar-benar aneh ini, menggambarkan manusia hanya robot yang bias diremot, diarahkan kemana saja oleh pemilik remot tersebut. Mulai menuntut siswa untuk mengunggulkan sekolahnya dengan ancaman nilai, entah bagaimana cara mereka supaya bias membanggakan nama sekolahnya, baik itu lewat les umum bahka sampai harus privat sekalipun yang membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Selain itu sekolah dianggap pembunuh kreatif siswa, dengan keterbatasan jurusan pada tiap=tiap sekolah dan juga ada yang berependapat "Orang Miskin Dilarang Masuk"

Tulisan tersebut seakan-akan sudah terpampang di gerbang sekolah negeri ini. Tulisan yang menuai pertentangan tidak tidak kunjung dihapus, karena tidak ada yang berani menghapusnya. Tulisan itu sudah menjadi peraturan yang harus dipatuhi oleh siapapun yang bakal masuk sekolah tersebut. Jadi bagi kelompok orang yang tidak memiliki banyak uang, mungkin bias memikirkan terlebih dahulu. Karena meskipun memaksa untuk masuk, bakal ada test kemiskinan yang menanti, yaitu serangkaian test yang menggiring orang dengan sendirinya sadar bahwa dirinya miskin. Test tahap pertama ketika penyeragaman pakaian sekolah. Sekolah sudah menentukan seragam dengan berbagai jenis sesuai harinya yang harus dipakai oleh muridnya beserta embel-embel pendukungnya. Maka jangan heran apabila tahun ajaran baru banyak orang tua murid mengeluh akan seragam sekolah yang mahal serta banyak jenisnya tersebut. Untuk orang kaya ini mudah saja untuk membeli semua perlengkapan tersebut, tetapi bagi orang yang berpendapatan pas untuk kebutuhan pokok tiap hari?

Mungkin ada beberapa kelompok miskin yang mampu melewati test ini dengan berhutang atau menjual barang berharganya, tetapi tunggu dulu, ada test keduanya yaitu ketika duduk dibangku sekolah. Perlengkapan untuk menunjang kegiatan belajar mengajar harus dimiliki, seperti alat-alat tulis, serta buku paket yang judul dan pengarangnya tiap tahun berubah. Siswa harus membeli paket buku tersebut, sehingga tidak bias menggunakan buku bekas milik kaka kelasnya karena sudah ditetapkan oleh gurunya.

Jika bias melewati test kedua ini, ada test ketiga yaitu undangan sekolah kepada wali murid untuk menghadiri rapat komite sekolah. Dimana pembahasan selalu terkait pembangunan fasilitas-fasilitas sekolah yang diwajibkan wali murid memberikan sumbangan. Bagi si kaya ini bakal dating dengan bangga, sementara si miskin tidak terlihat, bahkan kehadirannya pun tidak diharapkan seperti "mentimun bungkuk", ada tetapi tidak dianggap. Serangkaian test kemiskinan ini bakal berulang ditahun berikutnya yang membuat si miskin secara sadar tersaring dan keluar dari sekolah tersebut.Akhirnya sekolah hanya sebagai pabrik yang paling besar dinegeri ini, memiliki cabang-cabang diseluruh daerah tetapi hanya sebagian kecil menghasilkan barang jadi.

Sekolah seharusnya menempatkan murid sebagai objeknya, bukan sebagai subjek. Tapi realita yang berjalan kebanyakan, murid hanya sebagai objek dari subjek yaitu guru. Kurt Lewin, seorang psikolog mengatakan bahwa kegiatan pembelajaran dapat tercapai apabila terdapat tiga aspek. Pertama kognitif yang berisi pengetahuan. Kedua aspek afektif yaitu pembelajaran juga melibatkan emosi dan sikap. Aspek ktiga ytiu psikomotorik dimana proses pembelajaran harus langsung dilakukan atau dialami oleh murid.

Malcolm Kowles (1913-1997) mengatakan bahwa pembelajaran harus melibatkan beberapa hal yang pertama penghargaan, hal ini berkaitan dengan suasan dalam proses pembelajaran ketika murid merasa dihargai. Kedua segera, sesuatu yang dipelajari harus dapat digunakan atau diterapkan. Ketiga relevansi, menarik langsung dengan minat atau kepentingan dari murid dalam mempelajari sesuatu.

Jika hal-hal tersebut dilakukan oleh sekolah, bukan tidak mungkin angka putus sekolah menurun. Tetapi selama ini sekolah hanya menerapkan aspek kognitif, yaitu murid dijadikan objek dengan ceramah-ceramahnya di dalam kelas. Wajar saja bila pelajaran favorit adalah "Hari ini ada rapat, silahkan belajar dirumah masing-masing". Guru tidak melihat dibalik keceriaan murid ketika ada pelajaran tersebut.

Pepatah Cina yang berusia ribuan tahun berbunyi:

Aku dengar, aku lupa

Aku lihat, aku ingat

Aku kerjakan, aku pahami

Aku dalami, aku miliki.

Begitulah seharusnya proses pembelajaran, jika sekolah memahami pepatah tersebut. Kemudian mampu menyeimbangkan aspek-aspek dalam proses pembelajaran, yang pasti sekolah tidak dibubarkan saja!

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun