Mohon tunggu...
Rezana Wahyudi
Rezana Wahyudi Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ketika Sekolah Tak Mendidik Anakku

6 Agustus 2017   13:00 Diperbarui: 6 Agustus 2017   13:12 1679
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menurutku seorang guru bisa saja memiliki kompetensi sebagai "pengajar", tapi belum tentu memiliki kualifikasi sebagai "pendidik". Untuk bisa mengajar seorang guru bisa saja hanya bertindak sebagai mediator transfer subyek ilmu yang dikuasainya. Dan materi pelajarannya mungkin saja sudah tersusun sistematis dalam sebuah buku modul mengajar. Atau buku apa saja yang memuat materi pelajaran yang diajarkannya. Oleh karena itulah maka mungkin saja ada guru yang hanya merasa cukup dengan memiliki skill mengajar yang efektif, atau (jika tidak cukup skill) sekadar mendikte pun cukuplah sudah baginya. Tapi kemampuan guru untuk bisa mendidik (sebagaimana seharusnya) tidak cukup hanya dengan cara 'minimalis' seperti sekadar mendikte, yaitu sekadar membacakan teks "sumpah" atau "janji pelajar" misalnya (kalau ada). 

--Persis seperti halnya teks "Pancasila" atau "Panca Prasetya Korpri" yang selalu dibaca pada upacara rutin di instansi-instansi pemerintah.-- Tapi pendidikan lebih menitik-beratkan pada penerapan atau tindakan kongkret dalam kehidupan nyata sehari-hari. Bila pengajaran adalah proses transfer pengetahuan yang bertujuan untuk meningkatkan daya kognitif (penalaran) atau kemampuan berpikir anak (pada wilayah intelektual), maka pendidikan adalah bertujuan untuk menanamkan norma-norma yang terpuji agar menjadi kebiasaan yang dapat membentuk atau memperkuat sistem nilai sosial (social values) suatu masyarakat yang dipandang ideal (misalnya terbentuknya masyarakat Pancasilais yang beriman dan bertaqwa). 

Oleh karena itu pendidikan sasarannya adalah wilayah jiwa, hati (qalbu) atau aspek mental yang bertujuan untuk membangun karakter atau sempurnanya akhlak para pelajar atau peserta didik di sekolah. Karena itu prosesnya pun tentu menuntut adanya gambaran nyata atau model kongkret yang dapat ditiru (dicontoh) yang (dalam hal ini) adalah sosok atau figur seorang guru yang senantiasa tampil di depan kelas mengajar mereka. 

Tapi mungkin saja seorang guru pengajar hanya sekadar tampil menunaikan tugas mengajarnya tanpa peduli dengan pendidikan karakter (hanya fokus pada sisi kognitif para siswa). Dalam keadaan demikian maka tugas pendidikan itu akan sepenuhnya harus ada pada seorang guru khusus (terutama wali kelas),  dan mestinya wajib bisa diperankan oleh Kepala Sekolah.

 Asumsinya karena Kepala Sekolah dianggap sebagai "maha guru" yang akan berperan sebagai figur atau model yang --tidak saja oleh para siswa sekolah, tapi (bahkan)-- oleh setiap guru pengajar harus mengikuti petuahnya, seperti layaknya seorang "tuan guru" atau "kiyai" pada sebuah pondok pesantren. Berdasarkan perspektif demikian maka seorang PENDIDIK sesungguhnya adalah seorang pemimpin, figur model yang keberadaannya dapat menjadi contoh yang diikuti, disegani, yang setiap anak didik dapat mengadu segala keluh-kesah kepadanya tanpa rasa sungkan dan takut.

[------ barangkali begitu ------]

(cerita dilanjutkan)

Guru pembimbing di kelas akselarasi anak kami itu telah berperan efektif sebagai pendidik tulen. Anak-anak binaannya tidak hanya diasah kecerdasan otaknya (intelegensi), tetapi juga kecerdasan emosi dan spiritual mereka. Hasilnya, persaingan dalam mencapai prestasi akademis tidak menjadikan mereka egoistik. Kelompok belajar kelas akselarasi ini telah dijalin dengan rasa kebersamaan yang kuat, mereka saling bertoleransi, dan memiliki  kepekaan emphatic yang dalam satu sama lain. 

Setiap anak bersikap bahwa seluruh anggota harus berhasil menyelesaikan program akselarasi ini. Kegagalan satu orang berarti kegagalan kelompok. Karena itu sikap saling bantu dalam mengatasi hambatan pada diri setiap anggota perlu terus dibangun. Meski demikian kemampuan dalam menyelesaikan soal ujian dipastikan harus murni dari hasil usaha sendiri, bebas dari noda perbuatan tindak plagiat. Maka semangat berprestasi, solidaritas, toleransi, emphati, kejujuran, komitmen dan kemandirian telah terpatri dalam relung batin/mental mereka.

Syukur alhamdulillah anakku ternyata mendapat pendidikan yang sangguh sempurna (perfectly) di SMP Negri Jogjakarta itu. Bisa dikatakan guru pembimbing kelas akselerasi itu telah menerapkan pendekatan holistik dalam membina murid-muridnya. Karena, bahkan anak kami bukan saja terlihat lebih kritis (rasional) dalam bersikap, tapi juga tampak makin sholeh dalam penampilannya sehari-hari.

Dua tahun telah berlalu, tahun 2014 anak kami lulus dengan predikatat sangat memuaskan (ranking dua di kelasnya). Dengan hasil yang diraihnya itu anak kami akan dapat diterima di SMA favorit dimana pun yang ia mau. Tapi anak kami telah lama memendam minat untuk menjadi dokter. Yang ia tahu di kota kelahirannya di Bandung ada universitas yang memiliki fakultas kedokteran yang sangat banyak peminatnya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun