Mohon tunggu...
Reza Muara
Reza Muara Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

maju atau di bungkam

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Bukan Kesalahan Fatal (LEKRA)

29 Juni 2022   14:47 Diperbarui: 29 Juni 2022   15:03 189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Menyadari, bahwa rakyat adalah satu satunya penggagas atau pencipta kebudayan dan bahwa kebudayaan Indonesia sendiri baru hanya dapat dilakukan oleh rakyat, Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA), berdiri pada 17 agustus 1950, berdirinya sautu organisasi ini karena terjadi diantara tengah-tengah proses perkembangan manusia terhadap kebudayaan, yang sebagai hasil daya upaya manusia secara sadar untuk pembangunan Indonesia baik lahir da batin.

Lekra berkecimpung di dunia kebudayaan dan untuk masa ini terutama di kesenian dan ilmu, lekra mengajak para anggota dan masyarakat untuk mengabdikan daya upaya, bakat serta keahlian mereka guna kemajuan bangsa Indonesia sendiri,Zaman kita dilahirkan oleh perjalanan sejarah yang amat besar, dan sejarah bangsa ini telah melahirkan sejumlah putra-putri yang cakap, dalam kasusastran, seni, musik, maupun kesenian lain dan ilmu, dimana juga, kergaman bangsa ini yang menjadi ciri khas antara satu sama lain kebudayaan

Lembaga kebudayaan rakyat atau lebih dikenal LEKRA ini didirikan atas inisiatif D.N Aidit, Njoto, san M.S Ashar pada tahun 17 Agustus 1950, pendirian ini terjadi di tengah-tengah proses perkembangan kebudayaan, sebagai hasil upaya manusia secara sadar untuk memenuhu, setinggi-tingginya kebutuahan lahir dan batinm senantiasa maju dengan tiada putus-putusnya.

Lembaga kebudayaan rakyat ini tidak semata-mata menyambut setiap sesuatu sesuatu yang baru, ia memberikan bantuan aktif untuk memenangkan setiap yang baru maju, lekra membantu aktif perombakan sisa-sisa kebudayaan yang secara luas meninggalkan kebodohan, rasa rendah serta watak lemah terhadap bangsanya sendiri, lekra sendiri menerima dengan kritis peninggalan nenek moyang, mempelajari seksama sehingga para seniman untuk mempelajari kenyataan, mempelajari kebeneran, yang hakiki dari kehidupan, dan bersikap setia terhadap kenyataan dan kebenaran.

Dalam pandangan lekra, penganut aliran realism sosialis, kebudayaan bukan saja tak dapat dipisahkan dengan politik, melainkan kebudayaan merupakan bagian dari politik, dengan demikian sastra juga bagian dari politik, pandangan ini menempatkan sastra hanya sebagai alta-alat politik saja, dan juga menerapkan paham Marxisme-lenimisme, termasuk dalam teori-teori dan kritik-kritiknya.Paham realisme sosialis juga pernah diterapkan dalam beberapa karya-karya sastra Indonesia, seperti karya Utuy Tatan Sontani "Si Kempeng" dan karya Pramoedya Ananta Toer "Si Manis Bergigi Emas", yang menggambarkan kyai sebagai tokoh penghisap rakyat.

Ilham karya sastra lekra terutama digali dari hasil kunjungan-kunjungan di berbagai Negara sosisalis. Peristiwa yang menyangkut buruh-buruh dan para petani, yang dimana lalu di tarik tentang pertentangan kelas, didramatiskan sedemikian rupa sehingga alih-alih gambaran buruh dan petani yang mereka tokoghkan adalah personafikasi gagasan ideal kelompok, gagasan partai.Kebanyakan karya karya sastra lekra ini menimbulkan banyak propaganda-propaganda, atas dasar semangat para sastrawanya, sehingga mutunya menjadi sangat rendah disbanding dengan karya-karya sastra lainya


Tumbuh dan berkembangannya kesadaran nasionalisme tidak hanya berkembang pada para aktivis pergerakan nasional yang ada di Indonesia, namun juga berpengaruh terhadap seniman yang berada di dalam lingkup perjuangan dan aktivis tersebut. 

Dengan pemikiran humanism liberal membuat para seniman untuk menuangkan seluruh ide dan karyanya untuk kehidupan masyarakat, pemikiran tersebut menjadi pondasi dasar terbentuknya paradigma kerakyatan yang berkembang di dalam dunia kesusastraan Indonesia. 

Memasuki zaman pendudukan Jepang, banyak seniman yang mengekspresikan kerealisitasan kehidupan yang pahit. Kondisi tersebut tentu berasal dari unsur-unsur social, ekonomi dan lebih tepatnya unsur politik. Oleh karena itu, lahirlah pandangan baru kontekstual dalam menjadi praktik dalam kreativitas seniman di Indonesia pada masa Jepang.

Indonesia termasuk negara yang mengalami sejarah yang begitu Panjang dan luas, meliputi, politik dan social kebudayaan. Kesenian dan kebudayaan yang ada di Indonesia muncul kurang lebih pada tahun 1960-an, dan polemik kebudayaan yang terdapat di Indonesia antara lain, nasionalis, agama, dan komunis. Nasionalis di wakili oleh PNI (Lembaga Kebudayaan Nasional), Agama NU (Lesbumi (Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia), dan Komunis PKI (Lekra).

Masalah politik dan kebudayaan yang ada di Indonesia terjadi pada tahun 1960-1965 dan memberi makna bagi para budayawan, sastrawan,seniman, dan politisi pada kurun waktu itu. 

Masalah tersebut terkenal dengan sebutan 'Peristiwa Manikebu' (manifes kebudayaan) yang di anggap perdebatan di antara penganut realism sosialis dan pendukung humanisme universal. Sebagian lain juga menganggap sebagai penindasan lekra, atau Lembaga lain yang menganut paham lain pada masa itu.

Di tengah konflik tersebut, sebagai Gerakan alternatif para budayawan dan seniman. Pada tanggal 28 Maret 1962, NU mendirikan dan membentuk Lesbumi yang di pelopori oleh Djamaludin Malik, Usmar Ismail, dan Asrul Sani di Gedung pemuda Jakarta. Hal yang membedakan Lesbumi dan Lekra ialah, kentalnya religious dalam membuat seni dan budayanya. Hal ini untuk menghindari kubu Lekra dan Manifes Kebudayaan

Tokoh tokoh lekra yang menjadi tonggak dalam sebuah kesenian, cerdas dan sangat idealis tak heran jika lekra menjadi lembaga kebudayaan yang sangat fenomenal akan isi dan makna-makna yang di curahkan, untuk kemajuan politik terutama dan kemajuan bangsa Indonesia dalam ruang lingkup kebudayaan, antara lain para tokoh lekra ialah D.N Aidit dan Njoto sebagai pemimpin PKI, Pramoedya Ananta Toer, Putu Oka Sukanta, Klara Akustia, dan masih banyak lagi,

Para tokoh lekra pada saat manifestsi kebudayaan (manikebu) di cetuskan dan di selenggarakan, menjadi suasana konflik, lekra berpendapat bahwa manikebu itu sendiri kurang asosiatif, hingga tokoh lekra yang bernama Bakri Siregar menyatakan bahwa manifestasi kebudayaan hendaknya menguburkan lawan dan kawan revolusi,

Dimana pada saat itu banyak sekali propaganda dan pergolakan dengan banyaknya pertentangan para sastrawan untuk manikebu, lekra juga mempengaruhi Soekarno untuk menghadapi manifestasi kebudayaan yang makin meluas dukungan nya.

Seiring berkembangnya waktu, pada Akhirnya manifestasi kebudayaan terpaksa dilarang, "karena manifestsi politik republik sebagai pancara pancasila telah menjadu garis besaar haluan Negara dan tidak mungkin di damping dengan manifesto lainya, apalagi manifesto ini bersifat ragu-ragu" ucap Soekarno pada tanggal 08 Mei 1964,

Pada tahun 1965, tepatnya  tanggal 30 september, PKI melancarkan penculikan Dewan Jendral, atau lebih disingkat G30S/PKI, setelah itu Negara terjadi konflik yang amat menderu, akibat peristiwa tersebut.

Setelah terjadinya peristiwa nahas tersebut, selang beberapa bulan kemudian, para gerliyawan sastra lekra kini semakin menciut karena jatuhnya peristiwa G30S/PKI,  para sastrawan lekra semuanya di penjara oleh rezim Orde Baru bertahun-tahun dan tanpa di adili sekalipun, begitu pula dengan sastrawan di belanda, di larang pulang di Indonesia  karena adanya larangan dari Pemerintah Soeharto untuk kembali ke Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun