Mohon tunggu...
Reza Mahdavikia
Reza Mahdavikia Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran

-

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Memahami Kasus Gelar Guru Besar Melalui Pendekatan Strukturalisme

11 Juli 2024   04:49 Diperbarui: 11 Juli 2024   04:55 719
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Website ULM /https://ulm.ac.id/id/2023/10/27/fakultas-hukum-catat-sejarah-dalam-pengukuhan-10-guru-besar/

Gelar guru besar di Indonesia adalah puncak tertinggi dalam karier akademik yang diberikan kepada dosen yang telah memenuhi berbagai persyaratan ketat, termasuk kontribusi signifikan dalam penelitian, publikasi ilmiah, dan pengabdian masyarakat. Gelar ini tidak hanya menunjukkan keunggulan akademik tetapi juga memberikan status sosial dan prestise yang tinggi di masyarakat. 

Guru besar dianggap sebagai otoritas dalam bidang keilmuan mereka, dan pengakuan ini membuka berbagai peluang, termasuk peningkatan gaji, kesempatan untuk memimpin proyek penelitian besar, serta peran strategis dalam pengembangan kebijakan pendidikan.

Manfaat yang signifikan dari gelar guru besar menjadikannya sangat diinginkan oleh banyak akademisi. Status ini memungkinkan akses ke sumber daya yang lebih besar, baik dalam bentuk pendanaan penelitian maupun fasilitas akademik lainnya. Selain itu, gelar ini sering kali dihubungkan dengan peningkatan pengaruh sosial dan profesional, yang dapat membuka jalan untuk posisi kepemimpinan di universitas dan institusi lainnya. Dengan demikian, gelar guru besar tidak hanya menjadi simbol pencapaian akademik tertinggi tetapi juga alat untuk meningkatkan kualitas hidup dan karier seseorang.

Dalam perspektif strukturalisme, gelar guru besar dapat dilihat sebagai bagian dari sistem tanda yang memberikan makna dan nilai dalam konteks akademik dan sosial. Struktur dan relasi antar elemen dalam sistem akademik seperti proses penilaian, publikasi ilmiah, dan pengakuan dari institusi berperan penting dalam membentuk makna dan prestise yang melekat pada gelar ini. Oleh karena itu, ketertarikan yang kuat terhadap gelar ini juga dapat dipahami sebagai hasil dari bagaimana struktur akademik dan sosial memproduksi dan mereproduksi makna terkait dengan status dan kekuasaan dalam masyarakat.

Namun, keinginan untuk meraih gelar guru besar ini telah memunculkan berbagai skandal pengangkatan yang mencoreng dunia akademik Indonesia. Sejumlah dosen dan pesohor akademik terlibat dalam praktik-praktik tidak etis untuk mendapatkan gelar tersebut. Mereka berkolusi dengan asesor dan memanfaatkan jurnal predator yang tidak memenuhi standar peninjauan sejawat yang ketat.

sumber: Website ULM / https://ulm.ac.id/id/2023/10/27/fakultas-hukum-catat-sejarah-dalam-pengukuhan-10-guru-besar/
sumber: Website ULM / https://ulm.ac.id/id/2023/10/27/fakultas-hukum-catat-sejarah-dalam-pengukuhan-10-guru-besar/

Akhir akhir ini terungkap bahwa sebelas dosen Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat (ULM) diduga merekayasa syarat permohonan guru besar. Kasus ini bermula dari laporan anonim dan ditindaklanjuti oleh Kementerian Pendidikan. Tidak hanya itu para dosen ini diduga mengirimkan artikel ilmiah mereka ke jurnal predator, yang memungkinkan mereka memanipulasi jumlah dan kualitas publikasi ilmiah yang diperlukan untuk memenuhi syarat guru besar. Selain itu, mereka terindikasi bersekongkol dengan asesor untuk memastikan syarat-syarat administratif lainnya terpenuhi tanpa peninjauan yang ketat.

Analisis struktural terhadap sistem di Kementerian Pendidikan menunjukkan bahwa adanya celah dalam proses penilaian dan pengawasan menjadi salah satu penyebab utama terjadinya skandal ini. Kurangnya mekanisme pengawasan yang ketat, serta hubungan yang bisa dieksploitasi antara akademisi dan asesor, memungkinkan terjadinya manipulasi dan penyalahgunaan. Sistem yang ada belum mampu secara efektif mencegah atau mendeteksi kecurangan, sehingga memungkinkan individu-individu untuk mengeksploitasi celah-celah yang ada demi keuntungan pribadi (Pace, 1978).

Ketidakjujuran akademik ini tidak hanya merusak reputasi pendidikan tinggi di Indonesia tetapi juga menurunkan kepercayaan masyarakat serta komunitas internasional terhadap para akademisi Indonesia. Praktik semacam ini mengancam kualitas pendidikan dan penelitian, yang berdampak pada generasi mendatang dan perkembangan ilmu pengetahuan secara keseluruhan. Oleh karena itu, reformasi struktural yang mendalam dan peningkatan mekanisme pengawasan di Kementerian Pendidikan sangat diperlukan untuk mengatasi masalah ini.

Dalam pandangan strukturalisme, gelar guru besar tidak hanya sebagai tanda status akademik tertinggi tetapi juga sebagai simbol kekuasaan dan prestise dalam masyarakat (Webster, 2011). Gelar ini diinginkan banyak orang karena manfaatnya yang signifikan, termasuk peningkatan gaji, akses ke sumber daya akademik yang lebih besar, serta peluang kepemimpinan dalam universitas dan institusi lainnya. Namun, di balik glamornya gelar ini, terdapat struktur dan relasi yang memungkinkan terjadinya penyalahgunaan sistem, yang perlu dianalisis untuk memahami akar permasalahan ini.

Struktur sistem pengangkatan guru besar di Indonesia melibatkan berbagai elemen yang saling terkait, seperti penilaian akademik, publikasi ilmiah, dan peran asesor. Menurut Ferdinand de Saussure dalam Petrilli (Petrilli, 2006), makna dalam suatu sistem dibentuk oleh relasi diferensial antara elemen-elemen tersebut. Dalam hal ini, kelemahan dalam sistem penilaian akademik, di mana publikasi di jurnal predator dapat dihitung sebagai prestasi ilmiah, menunjukkan adanya masalah dalam struktur yang memungkinkan manipulasi.

Strukturalisme juga menekankan pentingnya memahami relasi kekuasaan dalam suatu sistem. Michel Foucault dalam Barbosa de Almeida (Barbosa de Almeida, 2015), menjelaskan bagaimana kekuasaan tersebar dalam jaringan relasi dan bagaimana hal ini mempengaruhi perilaku individu. Dalam kasus pengangkatan guru besar, relasi antara dosen dan asesor menjadi krusial. Kolusi antara dosen dan asesor, seperti yang terjadi di Universitas Lambung Mangkurat (ULM), menunjukkan bagaimana relasi kekuasaan dapat dimanfaatkan untuk memanipulasi proses pengangkatan.

Kebijakan pemerintah yang berambisi untuk meningkatkan jumlah guru besar hingga mencapai 20% dari total dosen juga turut berkontribusi pada masalah ini. Dalam teori strukturalisme, kebijakan ini dapat dilihat sebagai bagian dari struktur yang memberikan tekanan pada institusi pendidikan untuk mencapai target kuantitatif (Webster, 2011). Roland Barthes dalam Petrilli (2006), menekankan bahwa makna dan nilai dalam suatu sistem sering kali dibentuk oleh konteks sosial dan politik. Ambisi pemerintah ini, meskipun bermaksud baik, menciptakan insentif bagi individu untuk mencari jalan pintas dan memanipulasi sistem demi mencapai status guru besar.

Struktur pengawasan dalam sistem pendidikan tinggi Indonesia juga menunjukkan kelemahan yang signifikan. Kurangnya mekanisme pengawasan yang ketat memungkinkan terjadinya penyalahgunaan dan manipulasi. Sistem saat ini tidak memiliki alat yang efektif untuk mendeteksi kecurangan, seperti penggunaan jurnal predator dan kolusi dengan asesor. Kasus sebelas dosen ULM menunjukkan bahwa tanpa pengawasan yang ketat, struktur sistem pendidikan tinggi rentan terhadap eksploitasi.

Melalui analisis strukturalisme ditunjukan bahwa skandal pengangkatan guru besar di Indonesia merupakan hasil dari kelemahan dalam struktur dan relasi antar elemen dalam sistem pendidikan tinggi. Kelemahan dalam penilaian akademik, hubungan yang bisa dieksploitasi dengan asesor, tekanan kebijakan pemerintah, dan kurangnya pengawasan yang ketat semuanya berkontribusi pada masalah ini. 

Reformasi struktural yang mendalam diperlukan untuk memperbaiki sistem ini dan memastikan bahwa proses pengangkatan guru besar didasarkan pada integritas dan kualitas akademik yang sejati. Dalam pandangan strukturalisme, perubahan yang komprehensif dalam struktur penilaian, pengawasan, dan kebijakan akan membantu menciptakan lingkungan akademik yang lebih jujur dan berkualitas di Indonesia.

Referensi

Barbosa de Almeida, M. W. (2015). Structuralism. In International Encyclopedia of the Social & Behavioral Sciences (pp. 626--631). Elsevier. https://doi.org/10.1016/B978-0-08-097086-8.12225-1

Pace, D. (1978). Structuralism in History and the Social Sciences. American Quarterly, 30(3), 282. https://doi.org/10.2307/2712503

Petrilli, S. (2006). Structure and Structuralism: Semiotic Approaches. In Encyclopedia of Language & Linguistics (pp. 178--192). Elsevier. https://doi.org/10.1016/B0-08-044854-2/01457-7

Webster, J. G. (2011). The Duality of Media: A Structurational Theory of Public Attention. Communication Theory. https://doi.org/10.1111/j.1468-2885.2010.01375.x

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun