Indonesia di kenal sebagai negara agraris atau zamrud khatulistiwa yang "katanya" memiliki kekayaan yang melimpah ruah,alamnya subur dan penduduknya makmur, namun KENYATAANNYA berbanding terbalik dengan hutang yang menumpuk,illegal loging,korupsi dan kemiskinan yang terjadi di dalam kehidupan bermasyarakat. Belum lagi bermacam tegran-teguran Tuhan melalui kiamat kecil berupa bencana alam, rasanya negeri ini jauh dari kata "KAYA" akan sumber daya. Segudang permasalahan yang selalu menjadi topik hangat di warung-warung kopi, media massa sampai pada sidang paripurna, ternyata tak mapu menemukan jalan keluar yang logis dan nyata implementasinya. Pemimpin dan rakyatnya sudah terlanjur terbiasa membudayakan cara-cara berdiskusi yang terlalu intens, namun rendah dalam melakukan implementasi atau pembuktian yang nyata dari apa yang telah di hasilkan melalui diskusi tersebut. Imbasnya, negeri ini akan semakin disesaki dengan masalah dan terus menemui kendala tanpa ada pendewasaan dan pencerminan diri dari masalah-masalah tersebut. Di tambah dengan budaya "menghakimi" dan "melempar batu sembunyi tangan" menambah pelik problematika di negeri ini. Mencari kambing hitam kemudian memperkaya diri adalah slogan yang rutin dilakukan setiap terjadi pergantian tahta kepemimpinan, serta mengumbar janji-janji manis dengan membuat rakyat miskin melalui materi yang di jadikan kedok tak mendasar juga menyesatkan. Jika melihat keadaan seperti ini, apakah kita masih dapat mengatakan negeri ini layak menyandang status kaya dan makmur secara idealis..??? rasanya bijak kita katakan "BELUM LAYAK..!!! Jika kita amati sumber permasalahn yang sebenarnya terajdi, ternyata kunci permasalahan ada pada rasa syukur yang kurang bahkan hampir punah di negeri ini. Semua kalangan hanya mampu melempar justifikasi dan statmen yang hanya menambah panas situasi bukan meredam dan mendinginkan situasi yang terjadi. Keterbatasan seseorang atau pun kelompok yang mengaku diri mereka "ahli" dalam setiap permasalahan yang ada, ternyata hanya mampu megeluarkan statmen dari satu sudut pandang saja dan tidak memikirkan point-point penting dalam menghasilkan sebuah solusi di masa yang akan datang secara bijak dan tidak memiliki ketakutan yang kontemporer. Seandainya kita mampu melihat negeri ini lebih seksama atau sederhananya melihat kehidupan sekitar kita saja, rasanya kita tentu akan mendapatkan sebuah data dan fakta yang obyektif dari maket kehidupan bernegara. Jangan lagi hanya mampu saling menyalahkan, mengumbar keahlian agar dipandang namun tak berdaya dalam menemukan solusi, dan hanya bisa saling menghakimi dan memperkaya diri. Negeri ini harus mengakui telah jauh dari kata "syukur", sebuah kata namun memiliki arti luas dan efek yang benar-benar mampu merubah sebuah keadaan yang jauh lebih baik jika dapat dilakukan dengan rasa ikhlas yng saling terikat satu sama lain. Tidak banyak orang yang mampu mengartikan dan menerapkan kata "syukur" dalam kehidupannya sehari-hari, hal ini terjadi karena orang-orang tesebut lebih menggunakan sifat manusiawinya berupa ketidakpuasan secara ragawi dibanding rohaninya. Padahal banyak sekali pelajaran yang kita dapatkan jika ingin mendalami kata "syukur" tersebut, salah satunya kita lihat kehidupan kaum marginal (kaum-kaum terpinggirkan). Kehidupan pemulung yang masih melakukan kerja keras di tengah himpitan ekonomi yang semakin hari kian mencekik. Namun mereka mampu menjalaninya dan dapat bertahan karena rasa syukurnya dari rizki yang diberikan oleh sang pencipta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H