Mohon tunggu...
Ahmad Husainul
Ahmad Husainul Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

hobi bermusik

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Review Artikel : Dampak Perkawinan Anak terhadap Tingginya Angka Perceraian di Pengadilan Agama Sekaresidenan Surakarta di Masa Covid-19

24 Oktober 2023   13:02 Diperbarui: 24 Oktober 2023   13:45 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Faktor lainnya termasuk perubahan batas usia sah untuk menikah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pasangan muda seringkali tidak siap secara psikologis dan ekonomi sehingga berdampak pada kestabilan pernikahan, apalagi pernikahan dini seringkali berakhir dengan perceraian. Penelitian ini membahas tentang dilema pasangan muda yang akan menikah, khususnya yang berusia di bawah 19 tahun. Meskipun undang-undang perkawinan di Indonesia menetapkan usia perkawinan bagi dua pasangan adalah 19 tahun, praktik perkawinan anak masih tersebar luas. Pernikahan anak sebelum usia 20 tahun mempunyai dampak negatif, antara lain kanker rahim dan masalah kesehatan lainnya.

 Pernikahan anak juga mempunyai dampak ekonomi, sosial dan kesehatan. Pernikahan anak sedang meningkat di banyak negara, termasuk Indonesia, dan disebabkan oleh berbagai faktor termasuk tradisi, ekonomi, dan agama. Akibat dari perkawinan anak adalah kemerosotan psikologis dan emosional anak perempuan, kekerasan dalam rumah tangga, masalah sosial, migrasi dan kesehatan reproduksi. Oleh karena itu, untuk mengatasi masalah perkawinan anak, upaya menjaga perlindungan hukum terhadap anak serta kesehatan reproduksi dan seksual remaja sangat penting.

Artikel ini juga membahas faktor-faktor yang menyebabkan pernikahan anak di Indonesia.
Berbagai faktor yang mempengaruhi antara lain pendidikan, rendahnya pendidikan, maksiat, budaya, ekonomi dll. Kehamilan di luar nikah seringkali berujung pada perkawinan dengan anak, namun seringkali perkawinan tersebut tidak bertahan lama karena kurangnya persiapan materi dan mental. Budaya patriarki dan adat perjodohan juga berperan penting dalam perkawinan anak. Perkembangan jejaring sosial dan objektifikasi seksual di media juga berkontribusi terhadap masalah ini. Pemerintah harus ikut memerangi perkawinan anak melalui pendekatan individual, pengumpulan data, dan advokasi. 

Praktik pernikahan anak dapat memberikan dampak negatif khususnya terhadap perempuan dan dapat dikaitkan dengan peningkatan risiko kekerasan dalam rumah tangga dan perceraian.
Grafik tersebut menunjukkan dampak negatif pernikahan anak terhadap anak perempuan.
Solusinya antara lain mencegah pernikahan anak melalui pendekatan pendidikan dan sosialisasi yang lebih baik. Penelitian ini menemukan fenomena penting meningkatnya kasus perceraian dalam sistem hukum agama di sekitar Sekretariat Surakarta Provinsi Jawa Tengah. Pada tahun 2020, Komite Hukum dan Hak Asasi Manusia Pimpinan Daerah Aysiyya Jawa Tengah terlibat aktif dalam pemberian bantuan hukum di Pengadilan Agama Sukoharjo, Klaten, Sragen dan Boyolali. Bantuan hukum yang diberikan meliputi urusan non-yudisial dan litigasi, termasuk dukungan terhadap korban kekerasan terhadap perempuan dan anak.

Data Mahkamah Agung RI menunjukkan jumlah perkara perceraian di Sekretariat Pengadilan Agama Surakarta meningkat signifikan pada tahun 2020 dibandingkan tahun sebelumnya.
Banyak faktor yang berkontribusi terhadap peningkatan kasus perceraian, dan pandemi COVID-19 merupakan pandemi yang serius.
Banyak perempuan yang dirugikan selama pandemi ini dan akhirnya mengajukan gugatan cerai. Kasus perceraian yang merupakan proses perceraian kecil juga meningkat. Namun yang menjadi kekhawatiran adalah kasus perceraian terkait pernikahan dini, khususnya kasus perceraian, semakin meningkat. Pos Bantuan Hukum Pos Bantuan Hukum juga menemukan kasus perceraian meningkat signifikan sejak COVID-19. Pembatalan perkawinan dan kasus perceraian memberikan tekanan tambahan pada sistem hukum agama dan memerlukan bantuan hukum yang intensif untuk mengatasi permasalahan ini. Penting bagi pemerintah dan organisasi non-pemerintah untuk mengambil langkah nyata untuk mengatasi dampak tingginya angka perkawinan anak dan perceraian selama pandemi COVID-19. Hal ini mencakup pendidikan, dukungan sosial dan ekonomi bagi keluarga yang terkena dampak dan tindakan penegakan hukum yang tegas terhadap pernikahan anak.


Kesimpulan


Kasus pernikahan anak di Indonesia meningkat pascapandemi COVID-19. Meski telah terjadi perubahan usia menikah, namun masih banyak masyarakat yang memilih menikah dini, sebagian besar sebagai cara untuk melanjutkan hidup dan perjuangan. Perkawinan anak juga berkontribusi pada peningkatan kasus perceraian di pengadilan agama, menurut data kasus pengadilan agama Sekretariat Kota Surakarta dan observasi Komisi Hukum dan Hak Asasi Manusia. Hal ini tidak boleh diabaikan karena anak seringkali memiliki pemahaman yang terbatas terhadap masalah keluarga.

Dampak pernikahan muda terhadap tingginya angka perceraian di Pengadilan Agama Sekretariat Kota Surakarta pada masa COVID-19 menjadi permasalahan yang perlu mendapat perhatian serius. Diperlukan upaya bersama untuk melindungi anak-anak dari pernikahan beracun dan mengurangi tekanan sosial untuk perceraian selama pandemi ini. Untuk menghindari ancaman ini, penting untuk mendorong pemerintah dan masyarakat untuk mengurangi pernikahan anak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun