Selain itu sebagai warga negara yang memiliki integritas untuk menyelenggarakan dan memajukan kesejahteraan umum, tindakan ini juga dianggap sebagai tindakan yang dapat menghambat cita-cita bangsa Indonesia yang sebagaimana tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Alenia IV, yakni melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia.
Salah satu cara untuk mewujudkan cita-cita tersebut secara materil adalah dengan pembangunan ekonomi dan infrastruktur negara yang mana sumber materi yang digunakan adalah bersumber dari sektor pajak. Dengan melakukan praktik penghindaran pajak, pendapatan pajak negara akan lebih sedikit dari seharusnya.
Pidian (2017) menyebutkan Tax Avoidance (penghindaran pajak) yang diterapkan oleh perusahaan adalah suatu bentuk ketidakpedulian secara sosial dan ekonomi terhadap masyarakat dan negara. Terlebih lagi bagi perusahaan yang dengan sengaja menyimpan hartanya di luar negeri agar bisa terhindar dari pajak. Para pelaku usaha ini melupakan etika dan norma dalam berbisnis. Pajak yang apabila dibayar dengan semestinya dapat dijadikan sebagai sumber pendapatan negara, tentu akan menjadi salah satu penunjang pembangunan negara itu sendiri. Dengan adanya Tax Avoidance (penghindaran pajak), perusahaan telah merugikan negara dan mengabaikan kesejahteraan negara. Â
Salah satu kasus penghindaran pajak yang terjadi di Indonesia adalah kasus PT Coca Cola Indonesia. PT CCI diduga mengakali pajak sehingga menimbulkan kekurangan pembayaran pajak senilai Rp 49,24 miliar. Hasil penelusuran DJP menyebutkan ada pembengkakan biaya yang besar. Menurut DJP, total penghasilan kena pajak CCI pada periode 2002 -- 2006 adalah Rp 603,48 miliar. Sedangkan perhitungan CCI, penghasilan kena pajak hanyalah Rp 492,59 miliar. Dengan selisih itu, DJP menghitung kekurangan pajak penghasilan (PPh) CCI Rp 49,24 miliar. (https://money.kompas.com).
Kasus lain yang menggunakan praktik tax avoidance adalah kasus Panama Papers. Kasus ini mencuat ke publik pada 2016. Kasus kebocoran data yang sangat rahasia ini diungkap ke publik oleh International Consortium of Investigative Journalists (ICIJ). Dari kasus kebocoran data tersebut mengungkap Lebih dari 214.000 informasi perusahaan cangkang (shell company) yang terdaftar di 21 negara suaka atau surga pajak (tax havens countries).Â
Dari laporan ICIJ tersebut bagaimana para pejabat, politisi, dan kaum superkaya menyembunyikan kekayaannya melalui pendirian perusahaan cangkang di negara-negara surga pajak. Sejatinya, mendirikan perusahaan di luar negeri (offshore company) bukanlah tindakan yang melanggar hukum. Perusahan atau perorangan bebas mendirikan perusahaan di negara manapun yang dikehendaki termasuk di negara-negara surga pajak atau juga dikenal sebagai pusat keuangan offshore. Tindakan tersebut dianggap sebagai penghindaran pajak yang legal (tax avoidance). Meski legal, tindakan tersebut dipandang tidak etis karena bertentangan dengan tujuan pembuatan undang-undang perpajakan, yaitu pajak seharusnya dibayar di negara tempat penghasilan diperoleh. (https://www.cnnindonesia.com)
Dari kasus diatas sudah terlihat jelas akibat adanya kasus Tax Avoidance yang terjadi itu sangat merugikan negara terutama pada kas pemasukan negara, karena jumlah diatas adalah jumlah yang sangat fantastis. Dengan nilai yang begitu besar itu mungkin bisa digunakan oleh negara untuk membangun fasilitas-fasilitas untuk masyarakat Indonesia atau bisa juga untuk membayar sebagian hutang negara. Tetapi semua itu tidak bisa dilakukan dengan maksimal karena diakibatkan oleh banyaknya kasus dari Tax Avoidance atau yang biasa dikenal dengan kasus penghindaran pajak yang dilakukan oleh kebanyakan masyarakat Indonesia yang pastinya sangat merugikan negara karena jumlahnya yang begitu besar.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk meningkatkan pendapatan negara dari sektor pajak di Indonesia adalah dengan cara melakukan reformasi perpajakan. Niru (2017) menyebutkan dalam jurnalnya reformasi perpajakan adalah perubahan system perpajakan secara signifikan dan komprehensif yang mencakup pembenahan administrasi perpajakan, perbaikan regulasi perpajakan, dan peningkatan basis pajak. Reformasi dilakukan untuk menuju sistem perpajakan yang lebih berkeadilan, serta perluasan data yang lebih valid komprehensif, dan terintegrasi dalam rangka meningkatkan penerimaan pajak jangka pendek maupun jangka panjang yang berkesinambungan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H