Mohon tunggu...
Reza Falintina Anggraini
Reza Falintina Anggraini Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Kebijakan Makroprudensial dalam Menjaga Stabilitas Sistem Keuangan Era Pandemi Pasca Covid-19

18 November 2024   22:49 Diperbarui: 18 November 2024   23:14 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pandemi COVID-19 yang melanda dunia pada tahun 2020 memberikan dampak yang luar biasa
terhadap perekonomian global, termasuk Indonesia. Selama pandemi, berbagai sektor ekonomi mengalami keterpurukan yang mendalam, dengan dampak signifikan terhadap sektor kesehatan,ketenagakerjaan, perdagangan, serta sistem keuangan. Sektor perbankan dan pasar modal yang menjadi jantung perekonomian nasional juga menghadapi tantangan besar akibat penurunan kinerja perusahaan, meningkatnya risiko kredit, dan ketidakpastian ekonomi yang luar biasa. Dalam menghadapi ketidakpastian tersebut, kebijakan makroprudensial menjadi salah satu instrumen penting yang digunakan oleh Bank Indonesia dan otoritas keuangan untuk menjaga stabilitas sistem keuangan.

Kebijakan makroprudensial, yang bertujuan untuk mengelola risiko sistemik dan menghindari
terjadinya krisis finansial, memainkan peran kunci dalam menjaga ketahanan sektor keuangan
selama dan pasca-pandemi. Kebijakan ini dirancang untuk memastikan bahwa sistem keuangan tetap berfungsi dengan baik, meskipun menghadapi gejolak ekonomi yang disebabkan oleh krisis kesehatan global. Namun, apakah kebijakan makroprudensial yang diterapkan selama pandemi COVID-19 cukup efektif untuk menjaga stabilitas sistem keuangan Indonesia Bagaimana dampaknya terhadap perekonomian dan sektor keuangan di era pasca-pandemi?

Pandemi COVID-19 membawa dampak yang luar biasa terhadap perekonomian Indonesia, dengan
penurunan signifikan dalam aktivitas ekonomi, perdagangan internasional, dan kinerja sektor-sektor penting seperti industri, konstruksi, dan pariwisata. Selama periode tersebut, terjadi peningkatan ketidakpastian yang mempengaruhi keputusan investasi dan konsumsi masyarakat. Di sisi lain, sektor perbankan dan lembaga keuangan menghadapi risiko kredit yang meningkat, karena banyak pelaku ekonomi yang kesulitan memenuhi kewajiban utangnya. Banyak perusahaan kecil dan menengah terpaksa menangguhkan operasional, dan sejumlah besar pekerja kehilangan pekerjaan.

Dalam menghadapi tekanan tersebut, Bank Indonesia bersama dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengambil berbagai langkah kebijakan makroprudensial untuk menjaga stabilitas sistem keuangan, termasuk pelonggaran aturan terkait rasio kredit, suku bunga, dan likuiditas. Salah satu kebijakan utama yang diterapkan adalah penurunan suku bunga acuan dan pelonggaran aturan Loan-to-Value (LTV) pada kredit properti. Selain itu, pemerintah juga memberikan stimulus fiskal, berupa bantuan
langsung tunai dan insentif pajak untuk meredam dampak sosial dan ekonomi.

Namun, kebijakan ini tidak tanpa tantangan. Terlalu longgarnya kebijakan makroprudensial bisa memicu inflasi, peningkatan utang, dan ketidakstabilan sektor perbankan jika dilakukan secara berlebihan. Di sisi lain, kebijakan yang terlalu ketat dapat memperburuk resesi ekonomi dan memperlambat pemulihan. Oleh karena itu, tantangan utama adalah bagaimana menjaga
keseimbangan dalam menerapkan kebijakan yang efektif untuk menjaga stabilitas sistem keuangan,
tanpa menghambat pemulihan ekonomi pasca-pandemi.

1. Pentingnya Kebijakan Makroprudensial dalam Mengurangi Risiko Sistemik
Pandemi COVID-19 menunjukkan betapa pentingnya kebijakan makroprudensial dalam menghadapi gejolak ekonomi yang bersifat eksternal. Krisis kesehatan global yang mengakibatkan penurunan ekonomi yang tajam dan tidak terduga memerlukan respons kebijakan yang cepat dan tepat. Kebijakan makroprudensial yang diterapkan oleh Bank Indonesia, seperti penurunan suku bunga acuan dan pelonggaran rasio cadangan wajib minimum (GWM), bertujuan untuk meningkatkan likuiditas dan mendorong pembiayaan kredit kepada sektor riil, sehingga dapat mempercepat pemulihan ekonomi. Kebijakan ini berfungsi untuk mengurangi risiko penurunan kepercayaan pasar terhadap stabilitas sistem keuangan yang dapat memperburuk krisis ekonomi. 

2. Pelonggaran Kebijakan untuk Menjaga Daya Beli dan Pembiayaan Kredit
Di tengah ketidakpastian yang tinggi, kebijakan makroprudensial yang lebih longgar, termasuk
pemberian kelonggaran restrukturisasi kredit dan pelonggaran ketentuan pembiayaan properti, juga
bertujuan untuk menjaga daya beli masyarakat dan memperlancar aliran kredit kepada sektor usaha. Banyak sektor usaha yang terdampak oleh pandemi, dan kebijakan ini membantu mereka untuk bertahan dan memulihkan kinerja mereka. Kebijakan seperti penurunan LTV dan suku bunga yang lebih rendah membuka peluang lebih besar bagi masyarakat untuk mengakses kredit dan
memperoleh properti dengan beban yang lebih ringan. Hal ini penting untuk mendukung sektor
perumahan dan konstruksi yang turut tertekan selama pandemi.

3. Risiko Potensi Inflasi dan Gelembung Aset
Namun, meskipun kebijakan makroprudensial yang longgar dapat membantu pemulihan ekonomi, terdapat risiko terjadinya inflasi atau gelembung aset. Pelonggaran kebijakan LTV misalnya, meskipun menguntungkan dalam jangka pendek, dapat mendorong permintaan berlebihan pada sektor properti yang berpotensi memicu kenaikan harga properti yang tidak realistis. Jika hal ini tidak diimbangi dengan kebijakan pengetatan yang tepat pada waktunya, dapat terjadi peningkatan risiko dalam sektor perbankan, seperti peningkatan kredit macet akibat ketidakmampuan debitur dalam
memenuhi kewajiban utang mereka.

4. Penurunan Suku Bunga sebagai Stimulus Ekonomi
Suku bunga yang lebih rendah juga menjadi salah satu instrumen penting dalam kebijakan
makroprudensial di era pandemi. Bank Indonesia menurunkan suku bunga acuan untuk merangsang investasi dan konsumsi, sehingga dapat mempercepat pemulihan ekonomi. Penurunan suku bunga memberikan insentif bagi perusahaan untuk berinvestasi dan memperbesar daya beli masyarakat. Namun, risiko yang muncul adalah jika suku bunga tetap rendah terlalu lama, hal ini dapat menyebabkan ketergantungan pada pembiayaan utang dan mengurangi insentif bagi sektor perbankan untuk menyalurkan kredit secara selektif, yang pada akhirnya dapat menambah risiko dalam sistem keuangan.
Maka dari itu perlu adanya suatu kebijakan antara lain:

1. Stabilitas Sektor Keuangan
Kebijakan makroprudensial yang diterapkan selama pandemi memberikan implikasi penting dalam menjaga stabilitas sektor keuangan. Pelonggaran kebijakan memberikan ruang bagi perbankan untuk tetap beroperasi dan menyalurkan kredit, meskipun dalam situasi yang penuh ketidakpastian. Bank-bank Indonesia mampu mempertahankan tingkat likuiditas yang sehat dan menghindari krisis likuiditas yang berpotensi mempengaruhi perekonomian secara keseluruhan. Meskipun demikian, kebijakan ini harus diterapkan dengan hati-hati agar tidak menimbulkan dampak negatif dalam
jangka panjang. 

2. Pengaruh Terhadap Pemulihan Ekonomi
Kebijakan makroprudensial juga memiliki implikasi langsung terhadap pemulihan ekonomi. Dengan memastikan bahwa sektor keuangan tetap berfungsi dengan baik dan pembiayaan kredit tersedia, kebijakan ini membantu mempercepat pemulihan sektor riil. Terutama, dalam mendukung sektor-sektor yang sangat terpengaruh oleh pandemi seperti UMKM, properti, dan industri manufaktur. Namun, kebijakan ini harus diikuti dengan upaya pemulihan sektor-sektor lain yang juga terdampak, termasuk sektor pariwisata dan perhotelan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun