Mohon tunggu...
Reza Firnanto
Reza Firnanto Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa Akuntansi Universitas Pekalongan

Buruh tulis yang suka dengan Chelsea FC dan sedang menimba ilmu Akuntansi di Universitas Pekalongan

Selanjutnya

Tutup

Nature

Konservasi Alam, Wujud New Normal yang Seharusnya

29 Januari 2021   09:19 Diperbarui: 1 Februari 2021   06:30 360
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
amanupadhyay on unsplash

Pada tanggal 10 Agustus, Indonesia memperingati Hari Konservasi Alam Nasional atau yang biasa disingkat dengan HKAN setiap tahunnya. HKAN ini ditetapkan oleh Presiden Republik Indonesia yang keenam, Susilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2009 berdasarkan Keputusan Presiden No. 22 Tahun 2009.

Penetapan HKAN ini memiliki tujuan untuk mengkampanyekan pentingnya konservasi alam bagi kesejahteraan masyarakat. Selain itu, HKAN juga bertujuan untuk  mengedukasi dan mengajak masyarakat agar berperan aktif dalam menyelamatkan ekosistem alam.

Namun, peringatan HKAN tahun ini akan berbeda dengan peringatan HKAN tahun-tahun sebelumnya. Pasalnya, peringatan HKAN tahun ini dilakukan di tengah pandemi COVID-19 yang masih menyerang seluruh dunia. Bahkan, pada saat peringatan HKAN ini, jumlah kasus positif virus corona di Indonesia semakin meningkat.

Sikap Manusia terhadap Alam menjadi Penyebab Pandemi

Penyebaran virus tersebut yang semakin meningkat, mendorong sejumlah ahli untuk melakukan penelitian. Seorang profesor imunologi dan mikrobiologi, Andersen, PhD, menyatakan bahwa virus ini bukan produk rekayasa genetika. Pernyataan ini didukung oleh data yang membuktikan virus ini secara keseluruhan substansinya berbeda dengan jenis virus yang sudah ada. Virus ini justru lebih menyerupai virus yang terdapat pada kelelawar dan trenggiling.

Hal ini tentu menjadi virus ini sebagai virus yang bersifat zoonosis. Zoonosis merupakan penyakit yang menular dari hewan ke tubuh manusia, atau sebaliknya. Pada bulan Februari lalu, para peneliti di Universitas Yunan menyatakan dalam tulisan ilmiah di Current Biology bahwa virus ini kemungkinan berasal dari Trenggiling. Trenggiling sendiri merupakan salah satu jenis hewan asli di Indonesia yang sering diburu dan diperdagangkan. Bahkan, di beberapa daerah di Indonesia, hewan ini justru sering dijadikan makanan.

Sebelum pandemi COVID-19 ini terjadi, sejumlah ilmuwan telah menyatakan bahwa penularan virus dari satwa liar juga pernah menjadi penyebab Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus (SARS-Cov) dan Middle East Respiratory Syndrome Coronavirus ( MERS-CoV). SARS-Cov ternyata berasal dari kelelawar dan tersebar melalui musang yang diperjualbelikan.

Hasil penelitian dari Wuhan Institute of Virology menyatakan MERS-CoV yang terjadi pada 2012 juga berasal dari kelelawar. Pernyataan serupa juga disampaikan beberapa ilmuwan pada saat terjadinya pandemi COVID-19 ini. Mereka berpendapat bahwa kelelawar yang diperdagangkan di sebuah pasar satwa liar di Wuhan, China kemungkian kuat menjadi penyebab pandemi ini.

Pandemi menjadi Berkah Bagi Alam

Meski begitu, pandemi ini justru memberikan dampak yang positif juga bagi alam. Perilaku physical distancing dalam implementasi PSBB dan lockdown mengakibatkan perilaku manusia dalam bersosialisasi menjadi berubah.

Ajakan untuk tetap di rumah saja dilakukan agar penyebaran virus ini dapat dihambat membuat aktivitas manusia di luar rumah menjadi berkurang. Disadari maupun tidak, pengurangan aktivitas manusia di luar rumah ini berdampak positif bagi alam. 

Seperti yang terjadi dua bulan lalu, sekitar rumah atau daerah kita terlihat begitu lengang tidak seperti biasanya. Kita jarang sekali melihat alat transportasi bermesin berlalu lalang di jalanan. Bahkan, beberapa pabrik juga terlihat tidak melakukan aktivitas. Hal ini tentu mengakibatkan polusi udara yang ada menjadi berkurang. Seperti yang disampaikan oleh Barcelona Institute of Global Health, hampir setiap daerah di seluruh dunia mencatatkan rekor terendah polusi udaranya.

Kemudian pada sisi kehidupan flora dan fauna di hutan, dengan ditutupnya berbagai kawasan konservasi dan wisata alam, flora dan fauna yang ada di alam bebas memiliki ruang dan waktu untuk bertumbuh kembang tanpa diganggu oleh aktivitas manusia.

Selain itu, banyak masyarakat juga yang melakukan urban farming untuk mengisi waktu luang akibat penerapan physical distancing. Bahkan dengan program keluarga tangguh COVID-19, ibu-ibu rumah tangga mulai menggiatkan pembuatan apotek hidup. Hal tersebut tentu akan membuat lingkungan di sekitar rumah penuh dengan tumbuhan dan pepohonan.

Konservasi Alam sebagai New Normal yang Seharusnya

Namun, beberapa waktu yang lalu, World Health Organization (WHO) telah menyatakan bahwa virus ini tidak akan bisa menghilang begitu saja dan kehidupan manusia tidak akan bisa kembali seperti keadaan sebelumnya. Hal tersebut kemudian memunculkan ide baru untuk diterapkan yaitu new normal.

New normal ini memberikan harapan bagi manusia agar bisa melakukan aktivitasnya kembali. New normal ini juga menjadi hal yang sangat penting di tengah krisis ekonomi yang mulai dirasakan oleh banyak negara yang selama 3 bulan melakukan lockdown.

Lalu, normal seperti apa yang ada sebelumnya? Apakah kenormalan yang dimaksud adalah kebiasaan kita yang tidak pernah ramah kepada alam? Momentum HKAN ini bisa dijadikan titik awal new normal kita dalam memperlakukan alam. Apalagi pandemi COVID-19 ini berkaitan erat dengan ketidakseimbangan alam yang diakibatkan oleh aktivitas manusia.

Sudah saatnya pembangunan yang tidak berkelanjutan diubah dengan pembangunan yang sangat memperhatikan alam. Kita perlu melakukan 'tobat ekologis' agar tidak mengulangi aktivitas-aktivitas yang merusak alam. New normal tidak hanya diartikan sebatas penambahan kebiasaan baru yang berupa cuci tangan, memakai masker, serta menjaga jarak saja, tetapi juga melakukan konservasi alam.

Sudah seharusnya juga new normal tidak hanya mengubah pola hidup kita sendiri, melainkan juga mengubah pola hidup kita dalam memanfaatkan, menikmati, dan mengelola alam. Hal tersebut perlu dilakukan agar tidak terjadi ketidakseimbangan alam lagi.

Memang tidak mudah untuk mengubahnya, namun untuk keberlangsungan hidup manusia sendiri harusnya bukan hal yang mustahil untuk mengubah kebiasaan tersebut. Pasalnya, bisa saja bencana-bencana ekologis dan penyakit-penyakit zoonosis baru akan bermunculan lagi ke depannya akibat kita tidak bisa menjaga keseimbangan alam.

Untuk itu, mari bersama-sama manfaatkan momen HKAN ini dengan menjadikan konservasi alam sebagai new normal yang seharusnya. Pasalnya, selama pandemi dapat kita lihat bahwa alam semakin membaik pada saat manusia mengurangi aktivitasnya. Alam tidak butuh manusia, tetapi manusialah yang membutuhkan alam. Salam Lestari!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun