Mohon tunggu...
Reza Firnanto
Reza Firnanto Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa Akuntansi Universitas Pekalongan

Buruh tulis yang suka dengan Chelsea FC dan sedang menimba ilmu Akuntansi di Universitas Pekalongan

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Perdagangan Karbon, Siapkah Indonesia untuk Terjun di Dalamnya?

31 Desember 2020   21:07 Diperbarui: 31 Desember 2020   21:18 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto udara kawasan ekowisata mangrove Pangkal Babu, Tungkal Ilir, Tanjungjabung Barat, Jambi. (ANTARA FOTO/WAHDI SEPTIAWAN)

Perubahan iklim selalu menjadi permasalahan lingkungan yang tak kunjung selesai tiap tahunnya. Sejak terjadinya revolusi industri hingga tahun 2015, emisi karbon terus meningkat secara pesat. Dari yang awalnya hanya 1 gigaton, kini menjadi 46,6 gigaton atau meningkat sekitar 1,4 juta kg setiap detiknya. Banyak negara yang mulai melakukan berbagai cara untuk mengatasi masalah tersebut.

Bahkan, dalam konferensi-konferensi Internasional selalu difokuskan untuk membahas permasalahan perubahan iklim. Banyak juga kesepakatan yang telah disetujui dalam konferensi tersebut. Salah satunya adalah Protokol Kyoto, yang berisi tentang kesepakatan untuk mengurangi emisi karbon secara kolektif sebesar 5,2%. Tentu, target pengurangan emisi karbon menjadi tanggungjawab yang cukup berat bagi negara-negara maju.

Untuk itu, dalam Protokol Kyoto juga terdapat mekanisme untuk mewujudkan penurunan emisi karbon tersebut. Salah satunya dengan Clean Development Mechanism (CDM) melalui perdagangan karbon. Perdagangan karbon adalah mekanisme berbasis pasar, di mana negara-negara maju dan negara-negara berkembang melakukan negosiasi dan pertukaran hak emisi karbon. Negara-negara maju tersebut akan membeli izin melakukan pencemaran (emission permit) atau memberikan sejumlah uang kepada negara-negara berkembang.

Seperti yang kita ketahui, di negara-negara berkembang masih terdapat banyak hutan yang dapat menyerap karbon. Salah satunya adalah negara kita, Indonesia. Bahkan, Indonesia menjadi negara yang sangat potensial dan diuntungkan dalam pelaksanaan perdagangan karbon. Dengan hutan yang luasnya mencapai 36,5 juta hektare, Indonesia diprediksi dapat meraih keuntungan sebesar Rp1.400 hingga Rp1.600 triliun dari pelaksanaan perdagangan karbon tersebut.

Untuk itu, pemerintah Indonesia mulai mempersiapkan keikutsertaannya dalam mekanisme perdagangan karbon tersebut. Bahkan, Presiden Joko Widodo telah menyebutkan perdagangan karbon ke dalam tugas Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan saat mengumumkan susunan kabinetnya. Selain itu, pemerintah Indonesia juga telah meratifikasinya ke dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016. Undang-undang tersebut berisi tentang komitmen Indonesia yang akan menurunkan emisi karbon sebesar 29% melalui skenario business as usual (BAU) tanpa bantuan dan sebesar 41% bila mendapatkan bantuan Internasional.

Meski begitu, kenyataannya perdagangan karbon di Indonesia masih bersifat sukarela. Dalam perdagangan karbon sukarela tersebut, masih terdapat banyak masalah. Salah satunya adalah tidak adanya jaminan bahwa transaksi pembayaran atas penurunan emisi tersebut dapat berlangsung dalam jangka waktu yang panjang. Hal ini terkait dengan ketidakpastian yang muncul dari perdagangan karbon itu sendiri dan tidak adanya perjanjian yang mengikat antara penjual dan pembeli.

Bahkan, seperti yang kita ketahui bersama, selama ini sektor kehutanan Indonesia telah mendapatkan banyak sekali bantuan dana dari Internasional. Dana tersebut didapatkan Indonesia melalui Global Environmental Fund (GEF) berupa dana lingkungan dari Bank Dunia. Namun sayangnya, dana tersebut sering kali tidak terserap dengan baik oleh pemerintah daerah atau pihak yang mengelola hutan tersebut. 

Selain itu, banyaknya kejadian kebakaran hutan akibat berbagai aktivitas manusia mengakibatkan Indonesia semakin terancam gagal mendapatkan sejumlah uang yang telah diprediksikan tersebut. Pasalnya, perdagangan karbon ini menggunakan sistem pay for performance. Di mana negara yang membeli carbon credit akan memberikan uangnya apabila Indonesia benar-benar berkomitmen dalam menurunkan emisi karbon.

Di sisi lain, peraturan-peraturan yang dikeluarkan pemerintah terkait perdagangan karbon dan pelestarian hutan ini belum terlihat nyata. Bahkan, peraturannya bisa dibilang belum tegas. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia harus segera mungkin membuat peraturan yang jelas dan tegas mengenai perdagangan karbon ini. Selain itu, pemerintah juga harus benar-benar mengetahui skema perdagangan karbon tersebut, agar Indonesia benar-benar dapat memanfaatkan potensi tersebut. Salam Lestari!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun