Mohon tunggu...
Reza Firnanto
Reza Firnanto Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa Akuntansi Universitas Pekalongan

Buruh tulis yang suka dengan Chelsea FC dan sedang menimba ilmu Akuntansi di Universitas Pekalongan

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Atasi Somatic Symptom Disorder dengan Cognitive Behavioral Therapy

21 November 2020   13:00 Diperbarui: 24 November 2020   20:40 291
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tidak ada seorang pun di dunia ini yang menginginkan dirinya memiliki penyakit. Yap, semua orang pasti menginginkan tubuhnya sehat agar bisa melakukan aktivitas tanpa hambatan. Namun, ternyata ada sebagian orang yang merasakan cemas secara berlebihan dan menganggap dirinya memiliki penyakit. Padahal, kenyataannya tubuh mereka baik-baik saja. Kepercayaan itu disebut dengan Somatic Symptom Disorder (SSD).

Somatic Symptom Disorder atau bisa disebut dengan gangguan somatisasi adalah salah satu jenis gangguan mental yang membuat seseorang mengeluhkan satu atau lebih gejala penyakit, termasuk rasa nyeri, sakit perut, dan lainnya. Namun, gejalanya bisa saja tidak dapat ditemukan penyebab fisiknya oleh dokter. Orang dengan gangguan somatisasi umumnya tidak berbohong mengenai apa yang mereka rasakan. Rasa sakit yang mereka rasakan benar-benar nyata, terlepas dari apakah ditemukan penyebabnya atau tidak. Bahkan, gejala sakit yang mereka rasakan akibat gangguan ini dapat menyebabkan stres emosional yang berat dan menimbulkan kecemasan yang berlebihan hingga menghambat aktivitas mereka sehari-hari.

Gangguan ini lebih sering menyerang wanita daripada pria. Namun, gangguan ini dapat menyerang siapapun dengan usia berapapun. Bahkan, gangguan somatisasi dapat menyerang para remaja. Apalagi mereka masih dalam tahap pencarian jati diri dan butuh banyak perhatian.

Penyebab gangguan somatisasi sendiri belum diketahui secara pasti. Akan tetapi, gangguan ini dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor sebagai berikut.

  1. Faktor genetik dan biologis, seperti sensitivitas yang berlebihan terhadap rasa sakit.

  2. Pengaruh keluarga, genetik, lingkungan, atau semuanya.

  3. Sikap negatif, seperti rasa cemas yang berlebihan saat mengalami penyakit dan gejala tubuh.

  4. Mengalami penurunan kesadaran emosional, yang menyebabkan penderita lebih memikirkan masalah fisiknya daripada emosionalnya.

  5. Pengalaman yang dirasakan. Misalnya, penderita “menikmati” perhatian atau keuntungan yang diperoleh dari memiliki penyakit tertentu.

Ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk meringankan atau mengurangi kecemasan akibat gangguan ini. Salah satunya dengan melakukan Cognitive Behavioral Therapy (CBT). Cognitive Behavioral Therapy atau bisa disebut dengan terapi perilaku kognitif merupakan salah satu metode pengobatan gangguan mental. Metode ini berupa terapi dengan memadukan terapi perilaku dan terapi kognitif. Kedua terapi itu bertujuan agar pola pikir dan perilaku pasien berubah, dari yang semula negatif menjadi positif. 

Pola pikir seseorang terhadap sesuatu dapat berpengaruh pada emosi dan perilaku mereka. Sebagai contoh, seseorang yang mengalami gangguan somatisasi beranggapan bahwa ia sedang sakit dan membuatnya merasakan sakit itu. Untuk itu, dengan terapi perilaku kognitif, penderita gangguan somatisasi akan diajari bagaimana cara berpikir positif, sehingga emosi dan perilaku yang dihasilkan juga positif. Bahkan, dengan terapi perilaku kognitif terkhususnya teknik restrukturisasi kognitif, gangguan somatisasi dapat berkurang secara drastis.

Terapi perilaku kognitif bisa dilakukan dalam sesi personal, baik bertatap muka maupun melalui media, seperti telepon dan panggilan video. Terapi juga bisa dilakukan dengan cara berkelompok, baik bersama keluarga maupun bersama orang-orang yang mengalami hal serupa. Bahkan, ada beberapa kondisi yang memungkinkan terapi bisa dilakukan secara online melalui komputer.

Pada umumnya, terapi perilaku kognitif dilakukan selama 30--60 menit dalam tiap sesinya. Pada sesi pertama, biasanya terapis dan pasien akan saling memastikan bahwa terapi ini merupakan terapi yang tepat untuk mengatasi masalah pasien. Terapis juga akan memastikan bahwa pasien akan nyaman saat terapi berlangsung.

Selanjutnya, terapis akan menanyakan latar belakang dan masa lalu pasien. Walaupun terapi lebih fokus pada kondisi saat ini, tetapi bisa saja penyebab dari masalah yang dialami pasien berhubungan dengan masa lalunya. Terapis juga akan mengajukan sejumlah pertanyaan yang mungkin menjadi faktor penyebab pasien mengalami masalah tersebut, misalnya riwayat medis atau peristiwa tertentu.

Apabila penyebab dan masalahnya telah diketahui, terapis akan meminta pasien untuk mengungkapkan pemikiran dan perasaannya terkait masalah tersebut. Dalam proses ini, pasien akan disuruh membuat catatan yang memudahkan pasien untuk memahami respons negatifnya terhadap masalahnya, baik dalam pola pikir, emosi, maupun perilaku. Setelah itu, terapis dan pasien akan berdiskusi mengenai dampak respons negatif tersebut pada dirinya, serta bagaimana cara agar respons negatif itu menjadi positif. Yang terakhir, terapis akan menyarankan pasien untuk membiasakan diri merespons sesuatu dengan positif dalam aktivitasnya sehari-hari.

Itulah cara mengatasi gangguan somatisasi dengan terapi perilaku kognitif. Semoga bermanfaat dan memotivasi kamu untuk segera menghubungi terapis dan melakukan terapi perilaku kognitif. Yang terpenting, meski semua sesi terapi sudah dilalui, semua hal positif yang diperoleh dari terapi harus tetap diterapkan. Hal ini penting, agar gangguan tersebut tidak muncul kembali. Keep healthy and enjoy with your life!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun