Mohon tunggu...
REZA DWI KURNIAWAN
REZA DWI KURNIAWAN Mohon Tunggu... Politisi - Mahasiswa

Penulis dan pengamat Ekonomi dan Politik (EKPOL )

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas Pilihan

Permasalahan Backlog Perumahan di Indonesia: Antara Oversupply dan Undersupply

2 Desember 2024   13:55 Diperbarui: 2 Desember 2024   14:06 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Angka simpanan perumahan di Indonesia terus menjadi perhatian serius, meskipun pasar perumahan menunjukkan pertumbuhan yang signifikan. Backlog ini Merujuk pada ketimpangan antara kebutuhan rumah dengan jumlah rumah yang tersedia. 

Pada tahun 2020, Indonesia memiliki populasi 270,2 juta jiwa dengan tingkat urbanisasi yang diproyeksikan mencapai 66,6% pada tahun 2035 (BPS, 2021). Pertumbuhan penduduk dan urbanisasi yang pesat menjadi salah satu pendorong permintaan akan perumahan, khususnya di daerah perkotaan. 

Namun, tingginya angka backlog justru menunjukkan kegagalan pasar perumahan dalam memenuhi kebutuhan masyarakat secara merata, terutama di segmen perumahan terjangkau.

Salah satu faktor utama penyebab tingginya angka backlog adalah kesinambungan antara penawaran dan permintaan. Fenomena oversupply housing terjadi karena pengembang lebih fokus membangun perumahan menengah hingga mewah yang menawarkan margin keuntungan lebih tinggi. 

Sebaliknya, perumahan dengan harga terjangkau ( perumahan terjangkau ) mengalami kekurangan pasokan karena dianggap kurang menguntungkan. Hal ini menciptakan cengkeraman yang tajam, dimana sebagian besar rumah tangga dengan tingkat kehidupan rendah hingga menengah tidak mampu membeli rumah sesuai kebutuhan mereka.

Ketimpangan ini diperburuk oleh lemahnya peran pemerintah dalam mengendalikan pasar perumahan. Program subsidi perumahan yang ada sering kali tidak tepat sasaran, sementara regulasi yang mengatur pembangunan perumahan cenderung mendukung investasi pengembang besar daripada memenuhi kebutuhan masyarakat yang rendah. Selain itu, minimnya insentif bagi pengembang untuk membangun rumah terjangkau semakin memperlebar kesenjangan antara permintaan dan penawaran.

Faktor lainnya adalah tingginya harga tanah di perkotaan yang menjadi hambatan besar dalam pembangunan rumah murah. Harga tanah yang terus meningkat mendorong pengembang memilih untuk membangun rumah di pinggiran kota, yang sering kali jauh dari pusat aktivitas ekonomi dan fasilitas umum. Akibatnya, perumahan murah menjadi kurang diminati karena biaya transportasi yang tinggi dan aksesibilitas yang terbatas.

Dari sisi permintaan, rendahnya daya beli demi kesejahteraan masyarakat situasi ini. Banyak rumah tangga yang letaknya rendah tidak memiliki akses yang memadai untuk membiayai perumahan, seperti KPR bersubsidi. Hal ini mencerminkan integrasi antara kebijakan perumahan dengan kebijakan ekonomi dan keuangan. Misalnya, suku bunga KPR yang masih relatif tinggi menjadi kendala bagi masyarakat untuk memiliki rumah sendiri.

Untuk mengatasi permasalahan ini, pemerintah perlu mengadopsi pendekatan komprehensif yang melibatkan semua pemangku kepentingan. Salah satunya adalah mendorong kebijakan inklusif yang mengintegrasikan perencanaan tata ruang, regulasi harga tanah, dan insentif bagi pengembang untuk membangun strategi rumah murah di lokasi. 

Selain itu, memperkuat akses masyarakat terhadap pembiayaan perumahan dengan suku bunga rendah dan skema pembayaran fleksibel juga menjadi langkah penting.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun