Catatan sejarah menunjukkan bahwa kemerdekaan Indonesia tak pernah lepas dari peran kaum intelektual. Mereka adalah anak-anak bangsa terbaik pada zamannya---dengan pengetahuan dan pendidikan, mereka meyakini bahwa kemerdekaan adalah satu-satunya pilihan. Tekad mereka adalah mewujudkan kesejahteraan untuk semua lapisan masyarakat. Dalam benak mereka, kemerdekaan adalah jalan untuk memperbaiki nasib dan masa depan bangsa.
Refleksi ini memperlihatkan hubungan erat antara peran pendidikan, kemerdekaan, dan jiwa kepahlawanan. Tak heran, Ki Hajar Dewantara menegaskan pendidikan sebagai jalan menuju manusia merdeka. Namun ironisnya, tema pendidikan masih jarang menjadi sorotan pada perayaan Hari Pahlawan atau Kemerdekaan. Padahal, para guru---sosok di garis depan pendidikan---adalah mereka yang meneruskan cita-cita luhur untuk mencerdaskan bangsa.
Sebagai pendidik, peran mereka begitu vital dalam melahirkan generasi yang cerdas, kritis, dan berdaya saing. Tetapi kenyataan sering kali berkata lain. Para guru hari ini justru banyak yang hidup dalam kondisi "menderita." Tak sedikit yang merasa tertekan oleh tuntutan kebutuhan sehari-hari, memikirkan bagaimana agar dapur tetap mengepul esok hari.
Hasil survei dari Lembaga Riset Institute For Demographic and Poverty Studies (IDEAS) bersama Great Edunesia Dompet Dhuafa pada Mei 2024 menyajikan fakta yang cukup mengejutkan: dari 403 guru yang disurvei di 25 provinsi, sebanyak 75% responden hanya memperoleh gaji di bawah Rp 2 juta, bahkan ada yang menerima kurang dari Rp 500 ribu per bulan.Â
Angka-angka ini jauh di bawah upah minimum kabupaten/kota (UMK) terendah, seperti di Banjarnegara. Bukan hanya itu, guru di sekolah swasta sering kali berada dalam posisi rentan, tergantung pada kebijakan yayasan. Meskipun uang sekolah siswa terus meningkat, gaji guru tetap stagnan atau bahkan berkurang.
Yang lebih memprihatinkan, data menunjukkan bahwa guru adalah profesi yang paling banyak terjerat dalam jeratan pinjaman online (pinjol) ilegal. Menurut survei dari NoLimit Indonesia pada 2021, sebanyak 28% masyarakat Indonesia tidak mampu membedakan pinjol legal dan ilegal. Mirisnya, dari mereka yang terjerat pinjol ilegal, 42% di antaranya adalah guru. Hal ini semakin memperburuk kondisi kesejahteraan mereka, menambah beban psikologis di tengah tugas mulia mendidik generasi muda.
Namun, di sisi lain, masyarakat masih sering memandang guru sebagai "pahlawan tanpa tanda jasa," seolah-olah penderitaan mereka adalah harga yang wajar untuk peran mereka. Semakin menderita, maka semakin berjasa---begitu kesan yang muncul di benak kita. Apakah harus demikian?
Di Hari Pahlawan ini, mari kita renungkan sejenak: apakah penghormatan kepada guru hanya sebatas pengakuan simbolis? Harapan-harapan yang ditebar pemerintah tidak boleh hanya menjadi angin lalu.Â
Ke depan, bukti nyata harus diberikan, bahwa penghormatan kepada guru bukan hanya kata-kata kosong, melainkan langkah konkret untuk memperbaiki kesejahteraan mereka.Â
Mereka adalah pahlawan sejati yang tidak hanya berjuang untuk kemerdekaan bangsa, tetapi juga kemerdekaan jiwa dan pikiran generasi penerus. Jika kita tidak segera memberi perhatian yang layak, kita mungkin akan kehilangan para pendidik terbaik, yang semakin lama semakin tergerus oleh kesulitan hidup.
Hari ini, di hadapan kita, pahlawan-pahlawan itu berdiri---dengan senyum lelah namun penuh keikhlasan, mendidik anak-anak bangsa. Selamat Hari Pahlawan 10 November 2024. Semoga kita tak lupa menghormati mereka yang berada di balik peradaban kita---para guru yang terus berjasa meski sering kali terlupakan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H