Mohon tunggu...
M Reza Baihaki
M Reza Baihaki Mohon Tunggu... Ilmuwan - Mahasiswa Magister Hukum Kenegaraan Universitas Indonesia

Peneliti di Pusat Studi Konstitusi dan Legislasi Nasional UIN Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

In Cauda Venenum Korupsi dalam Masa Pandemi, Mungkinkah Pidana Mati?

11 Desember 2020   15:04 Diperbarui: 11 Desember 2020   15:11 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Pendahuluan

Dalam beberapa pekan terakhir ini, setidaknya tercatat beberapa pejabat publik terjaring operasi tangkap tangan (OTT) komisi pemberantas korupsi (KPK). Hal demikian secara kasuistik dapat terlihat dari beberapa konferensi pers KPK, mengenai kasus impor benur lobster di kementerian Kelautan dan perikanan (KKP), Kasus suap pengadaan barang dan jasa di lingkungan pemerintahan kabupaten Banggai laut Tahun anggaran 2020, dan yang terbaru adalah kasus dana bantuan sosial (bansos) berupa sembako dalam masa pandemi covid-19 di lingkungan kementerian sosial.

Kendati secara formil kesemuannya masih dalam tahapan penetapan sebagai tersangka (penyidikan) dan belum diajukan dalam proses persidangan, namun sulit untuk mengatakan bahwa operasi tangkap tangan yang diadakan oleh KPK berpotensi kandas ditengah jalan, mengingat selama ini belum ada satu tersangka-pun yang lolos dari jaringan OTT KPK.  

Dengan demikian, tulisan ini secara ilmiah tidak akan mengomentari kebenaran dan/atau validitas proses demikian, dan tetap mengedepankan asas legalitas dalam koridor hukum pidana. N

amun, hal yang akan disoroti dalam artikel ini, dari praktik tersebut adalah relevansi KPK dalam menggunakan pasal 2 ayat (2) Undang-Undang nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) sebagai dakwaan dalam persidangan, mengingat di satu pasal tersebut memuat ancaman sanksi terberat berupa "pidana mati", dan relatif belum pernah digunakan, serta merupakan senjata pamungkas dalam perspektif retributivism. 

Bahkan dalam perspektif hukum publlik, korupsi secara simetris bertalian dengan wewenang yang dimiliki pejabat penyelenggara negara, sehingga instrumen ini kerap diberikan sanksi yang memadai, bahkan sering kali disebut sebagai ekor yang beracun atau "in cauda venenum" (Abdul Latif:2014). Sedangkan di sisi lain, pasal tersebut juga dipandang relefan dan merefleksikan pra-sayarat kondisi yang relatif hampir sama dengan yang terjadi saat ini, yaitu keadaan krisis, dan bencana alam nasional.

Lebih lanjut, secara normatif pasal tersebut berbunyi:

Pasal 2
Ayat (1): Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Ayat (2) "Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan."

Pembahasan

Frasa mengenai "keadaan tertentu" sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor secara original intens disebutkan dalam penjelasan UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tipikor, dengan readaksi berupa:

Yang dimaksud dengan "keadaan tertentu" dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.

Berdasarkan identifikasi dari penjelasan pasal tersebut, maka setidaknya pidana mati dapat dijatuhkan ketika unsur delik tindak pidana korupsi dilakukan pada 4 (empat) alternatif kriteria, yaitu berupa; 

Pertama, Keadaan bahaya sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku. Kedua, Bencana alam nasional. Ketiga, Pengulangan tindak pidana korupsi. Dan Keempat, waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.  

Secara praktis, dari keempat kondisi yang dimaksud, setidaknya terdapat tiga unsur yang dapat dipertimbangkan untuk kasus-kasus korupsi saat ini, mengingat dari ketiga ott yang dilakukan oleh KPK saat ini, tidak ada yang berkaitan dengan kriteria kondisi Ketiga yaitu pengulangan tindak pidana korupsi. Dengan demikian, maka secara spesifik akan ditelaah lebih dalam berdasarkan ketiga unsur yang paling relevan.

Pertama, keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Kondisi demikian jika disandingkan dengan konteks covid-19, secara tidak langsung hampir bisa dikatakan relevan, sebab setidaknya dengan adanya covid-19, lahirlah beberapa ketentuan Undang-Undang yang memberikan afirmasi terhadap keadaan bahaya sebagaimana dimaksud, seperti Perpu Nomor 1 Tahun 2020 yang kemudian menjadi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 yang secara subtansi muatan mengalihkan postur kebijakan ekonomi negara berdasarkan kondisi covid-19. Selain itu, terdapat Perppu Nomor 2 tahun 2020 yang kemudian menjadi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2020 yang secara materi dan subtansi muatan menunda pelaksanaan pemilihan kepala daerah akibat covid-19.

Kedua, bencana alam nasional. Pandemi covid-19 di satu sisi dapat dikatakan tidak termasuk dalam kategori bencana alam nasional, mengingat kriteria bencana alam sebagaimana ditentukan dalam UU 24 Tahun 2007 tentang bencana alam, secara limitatif dibatasi berupa bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor.

Namun demikian, kendati tidak termasuk dalam kategori bencana alam, jika diperbandingkan berdasarkan analogi, wabah covid-19 justru dikategorikan sebagai pandemi, yang dinilai merupakan bencana yang lebih dahsyat dari sekedar bencana nasional, sebab bersifat trans-nasional dan belum ditemukan penangkalnya, bahkan berdasarkan data terakahir WHO, setidaknya telah menularkan 65 juta jiwa diseluruh dunia.

Dengan paradigma yang sama, dalam konteks nasional Presiden telah menerbitkan Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Darurat Kesehatan Masyarakat, sebagai dasar utama pemerintah dalam melangsungkan tindakan faktual pemerintah (feitelijke handelingen) dan tindakan hukum pemerintah (rechtshandelingen). Dengan demikian hemat penulis, kondisi demikian relatif serupa dengan keadaan bencana alam dalam perspektif analogi jika digunakan argumentum a contrario.

Ketiga: waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter. Kondisi demikian jika disandingkan dengan keadaan dewasa ini tentu secara konsepsi berbeda, mengingat saat ini kondisi indonesia, hanya mengalami resesi bukan krisis ekonomi.

Perbedaan keduanya dapat dilihat dari indikator masing-masing. Resesi merupakan penurunan pertumbuhan ekonomi dalam dua kuartal secara berturut-turut. Lebih lanjut, secara komparatif pemaknaan terhadap resesi juga pernah diungkapkan dalam National Bureau of Economic Research (NBER) sebagaimana dikutip oleh Bhima Yudistira sebagai tutunnya daya beli masyarakat secara umum dan naiknya angka pengangguran. 

Sedangkan krisis ekonomi adalah situasi dimana terjadinya penurunan beberapa indikator ekonomi nasional, seperti dalam sektor keuangan yang ditandai dengan turunnya nilai tukar uang secara tajam, hingga pada kinerja perbankan nasional (Bhima Yudhistira, INDEF:2020).

Kesimpulan

Dengan demikian, hemat penulis, penggunaan Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor dalam konteks covid-19 saat ini dimungkinkan secara praktis, jika dihadapkan pada dua kondisi alternatif dari 4 pra-syarat yang ditentukan dalam penjelasan UU Tipikor, yaitu Pertama keadaan bahaya, dan bencana alam, dengan catatan penggunaan analogi argumentum a contrario dalam menafsirkan keadaan bahaya nasional dan kondisi bencana alam.

Penulis: adalah Peneliti Senior di Pusat Studi Konstitusi dan Legislasi Nasional (PoskoLegnas) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta dan Merupakan Mahasiswa Magister Hukum Kenegaraan Universitas Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun