Mohon tunggu...
Reza Aulia
Reza Aulia Mohon Tunggu... -

"Good-Better-Best : Never Let it Rest" - Coffee Addict, Lover OF Books and Travelling -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Revolusi dan Perang Saudara

25 Mei 2013   21:46 Diperbarui: 24 Juni 2015   13:01 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Gelembung Revolusi.


Dunia tersentak oleh revolusi yang nyaris tanpa darah di Mesir 2011

lalu. Sosok pimpinan yang telah memimpin begitu lama dengan teror dan

senjata rontok oleh desakan ratusan ribu orang yang menggedor pintu

politisnya. Setahun setelah peristiwa itu, suasana berubah.

Revolusi belum selesai, karena presiden terpilih (dengan dukungan

kelompok Muslim Brotherhood) membuat kebijakan yang seolah

mengangkat dirinya sendiri sebagai diktator baru, mengancam keberadaan

kelompok minoritas, maupun cita-cita revolusi sebelumnya. Revolusi harus

dilanjutkan, mungkin kali ini dengan pertumpahan darah. Musim Semi di

Arab seolah berganti muka menjadi Musim Dingin di Arab (Der Spiegel,

Dezember 2012)

Hampir dua tahun, Suriah dicabik oleh perang saudara. Kelompok

pemberontak berperang melawan pemerintah untuk menguasai negeri itu.

Berbagai skenario bertebaran, siapa yang mendukung siapa, atau siapa

menolak siapa. Namun, satu pertanyaan menggantung, apa yang terjadi,

setelah perang usai? Apakah keadaan akan lebih baik, atau sebaliknya,

bagaikan keluar dari mulut singa masuk ke mulut harimau, justru

terperosok lebih dalam ke dalam penderitaan? Tidak ada yang bisa

menjawab pertanyaan ini.

Revolusi dan Perang Saudara.

Revolusi adalah suatu perubahan politis yang relatif cepat, yang

biasanya diikuti dengan gerakan massa yang besar, serta gencetan senjata

yang memakan korban jiwa. Indonesia, dan ratusan negara lainnya, telah

mengalaminya. Dua tahun belakangan ini, badai revolusi bergerak dari

Afrika Utara, dan kini sedang menyerang Timur Tengah. Apa yang terjadi

setelah revolusi? Tak ada yang tahu.

Jarang sekali, kita menemukan revolusi yang berjalan damai. Seperti

situasi Mesir, revolusi yang berjalan damai, mungkin saja, berarti, bahwa

revolusi belum selesai, dan harus terus dilanjutkan. Bagaikan saudara

kembar yang senantiasa bergandengan tangan, revolusi dan perang saudara

yang mencabik banyak korban jiwa selalu ada berbarengan. Apakah ini

hukum sejarah? Mungkin.

Dengan adanya revolusi, orang mengharapkan perubahan politis ke

arah yang lebih baik, yakni terciptanya tata politik yang memungkinkan

orang untuk hidup secara damai, adil, dan sejahtera. Namun, harapan luhur

ini bisa tak terwujud, ketika orang tak mempersiapkan, apa yang mesti

dilakukan, setelah revolusi usai. Pertanyaan apa yang harus segera

dilakukan setelah revolusi, pada hemat saya, tak kalah pentingnya dengan

pertanyaan, bagaimana melakukan revolusi secepat mungkin, dan tanpa

darah.

Sesudah Revolusi.

Apa yang harus dipersiapkan sebelum revolusi? Pertanyaan ini

menarik, karena di dalam perjalanan sejarah, seringkali kita lihat, bahwa

revolusi terjadi secara mendadak, tanpa perencanaan. Jika ini halnya,

bagaimana kita merencanakan, apa yang akan segera dilakukan setelah

revolusi?

Mari kita pertimbangkan alternatif sebaliknya. Revolusi berjalan

tanpa rencana pasti, apa yang akan dilakukan setelahnya. Yang kemudian

terjadi adalah muncul para pengkhianat revolusi yang justru merebut

kekuasaan, dan menjalankan kebijakan-kebijakan politis yang

berseberangan dengan cita-cita revolusi di awal, misalnya kebijakan

diktatorial yang mengancam kebebasan, keadilan, serta kesejahteraan

rakyatnya.

Berpijak pada argumen ini, revolusi tanpa rencana yang mantap

justru akan sia-sia. Visi masyarakat berikutnya serta siapa pemimpin yang

layak, dan mampu menciptakan visi tersebut, haruslah dipersiapkan

sedapat mungkin, sebelum revolusi bergulir. Harga yang harus dibayar,

ketika kita gagal mempersiapkan ini, amatlah mahal, yakni perang saudara

yang sia-sia, dan cita-cita revolusi yang lenyap ditelan udara.

Para pengkhianat revolusi biasanya berkedok fundamentalisme

agama dan fundamentalisme ekonomi. Atas nama agama, mereka

memelintir agenda revolusi, dan mengangkat kelompoknya sendiri sebagai

pemimpin yang, seringkali, bergaya diktatorial. Di sisi lain, kekuatan modal

ekonomi, yang dimiliki oleh negara-negara maju maupun perusahaanperusahaan

multinasional, siap menyokong dengan uang dan senjata,

supaya pemerintahan yang baru dapat memberikan kontrak bisnis yang

menguntungkan kepada mereka, walaupun pemimpin yang baru menyiksa

rakyatnya dengan kebijakan-kebijakan yang korup.

Kita harus berhati-hati pada dua kekuatan yang siap mendikte dunia

dengan ketidakadilan tersebut. Sesudah revolusi tak kalah penting dengan

proses revolusi itu sendiri. Bahkan, dalam beberapa hal, apa yang terjadi

sesudah revolusi jauh harus lebih diperhatikan, dari proses revolusi itu

sendiri. Revolusi yang sebenarnya, menurut saya, adalah Sesudah Revolusi.

© Reza A. A. Wattimena, 2013 - Dunia Gelembung Dalam Gelembung.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun