Gelembung Revolusi.
Dunia tersentak oleh revolusi yang nyaris tanpa darah di Mesir 2011
lalu. Sosok pimpinan yang telah memimpin begitu lama dengan teror dan
senjata rontok oleh desakan ratusan ribu orang yang menggedor pintu
politisnya. Setahun setelah peristiwa itu, suasana berubah.
Revolusi belum selesai, karena presiden terpilih (dengan dukungan
kelompok Muslim Brotherhood) membuat kebijakan yang seolah
mengangkat dirinya sendiri sebagai diktator baru, mengancam keberadaan
kelompok minoritas, maupun cita-cita revolusi sebelumnya. Revolusi harus
dilanjutkan, mungkin kali ini dengan pertumpahan darah. Musim Semi di
Arab seolah berganti muka menjadi Musim Dingin di Arab (Der Spiegel,
Dezember 2012)
Hampir dua tahun, Suriah dicabik oleh perang saudara. Kelompok
pemberontak berperang melawan pemerintah untuk menguasai negeri itu.
Berbagai skenario bertebaran, siapa yang mendukung siapa, atau siapa
menolak siapa. Namun, satu pertanyaan menggantung, apa yang terjadi,
setelah perang usai? Apakah keadaan akan lebih baik, atau sebaliknya,
bagaikan keluar dari mulut singa masuk ke mulut harimau, justru
terperosok lebih dalam ke dalam penderitaan? Tidak ada yang bisa
menjawab pertanyaan ini.
Revolusi dan Perang Saudara.
Revolusi adalah suatu perubahan politis yang relatif cepat, yang
biasanya diikuti dengan gerakan massa yang besar, serta gencetan senjata
yang memakan korban jiwa. Indonesia, dan ratusan negara lainnya, telah
mengalaminya. Dua tahun belakangan ini, badai revolusi bergerak dari
Afrika Utara, dan kini sedang menyerang Timur Tengah. Apa yang terjadi
setelah revolusi? Tak ada yang tahu.
Jarang sekali, kita menemukan revolusi yang berjalan damai. Seperti
situasi Mesir, revolusi yang berjalan damai, mungkin saja, berarti, bahwa
revolusi belum selesai, dan harus terus dilanjutkan. Bagaikan saudara
kembar yang senantiasa bergandengan tangan, revolusi dan perang saudara
yang mencabik banyak korban jiwa selalu ada berbarengan. Apakah ini
hukum sejarah? Mungkin.
Dengan adanya revolusi, orang mengharapkan perubahan politis ke
arah yang lebih baik, yakni terciptanya tata politik yang memungkinkan
orang untuk hidup secara damai, adil, dan sejahtera. Namun, harapan luhur
ini bisa tak terwujud, ketika orang tak mempersiapkan, apa yang mesti
dilakukan, setelah revolusi usai. Pertanyaan apa yang harus segera
dilakukan setelah revolusi, pada hemat saya, tak kalah pentingnya dengan
pertanyaan, bagaimana melakukan revolusi secepat mungkin, dan tanpa
darah.
Sesudah Revolusi.
Apa yang harus dipersiapkan sebelum revolusi? Pertanyaan ini
menarik, karena di dalam perjalanan sejarah, seringkali kita lihat, bahwa
revolusi terjadi secara mendadak, tanpa perencanaan. Jika ini halnya,
bagaimana kita merencanakan, apa yang akan segera dilakukan setelah
revolusi?
Mari kita pertimbangkan alternatif sebaliknya. Revolusi berjalan
tanpa rencana pasti, apa yang akan dilakukan setelahnya. Yang kemudian
terjadi adalah muncul para pengkhianat revolusi yang justru merebut
kekuasaan, dan menjalankan kebijakan-kebijakan politis yang
berseberangan dengan cita-cita revolusi di awal, misalnya kebijakan
diktatorial yang mengancam kebebasan, keadilan, serta kesejahteraan
rakyatnya.
Berpijak pada argumen ini, revolusi tanpa rencana yang mantap
justru akan sia-sia. Visi masyarakat berikutnya serta siapa pemimpin yang
layak, dan mampu menciptakan visi tersebut, haruslah dipersiapkan
sedapat mungkin, sebelum revolusi bergulir. Harga yang harus dibayar,
ketika kita gagal mempersiapkan ini, amatlah mahal, yakni perang saudara
yang sia-sia, dan cita-cita revolusi yang lenyap ditelan udara.
Para pengkhianat revolusi biasanya berkedok fundamentalisme
agama dan fundamentalisme ekonomi. Atas nama agama, mereka
memelintir agenda revolusi, dan mengangkat kelompoknya sendiri sebagai
pemimpin yang, seringkali, bergaya diktatorial. Di sisi lain, kekuatan modal
ekonomi, yang dimiliki oleh negara-negara maju maupun perusahaanperusahaan
multinasional, siap menyokong dengan uang dan senjata,
supaya pemerintahan yang baru dapat memberikan kontrak bisnis yang
menguntungkan kepada mereka, walaupun pemimpin yang baru menyiksa
rakyatnya dengan kebijakan-kebijakan yang korup.
Kita harus berhati-hati pada dua kekuatan yang siap mendikte dunia
dengan ketidakadilan tersebut. Sesudah revolusi tak kalah penting dengan
proses revolusi itu sendiri. Bahkan, dalam beberapa hal, apa yang terjadi
sesudah revolusi jauh harus lebih diperhatikan, dari proses revolusi itu
sendiri. Revolusi yang sebenarnya, menurut saya, adalah Sesudah Revolusi.
© Reza A. A. Wattimena, 2013 - Dunia Gelembung Dalam Gelembung.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H