[caption id="attachment_94551" align="alignright" width="300" caption="Google Images"][/caption]
Profil Singkat seorang Filsuf Perempuan Revolusioner
Apakah anda pernah mendengar nama Rosa Luxemburg? Jika anda seorang aktivis sosial, pemikir kritis, pencinta ide-ide Karl Marx, pejuang keadilan sosial, dan tidak mengenal nama itu, anda perlu lebih banyak membaca.
Ia adalah seorang penulis, filsuf, dan aktivis sosial ternama. Ia dipenjara bertahun-tahun, karena menentang terjadi perang dunia pertama.[1] Di sisi lain ia juga banyak melakukan kritik terhadap ajaran-ajaran Marx yang tradisional. Saya ingin mengajak anda mengenalnya lebih dalam.
Salah satu cara untuk mengenalnya lebih dalam adalah dengan membaca surat-surat pribadinya. Itu semua ada di dalam buku The Letters of Rosa Luxemburg yang dikumpulkan dan diterjemahkan oleh George Shriver. Membaca buku itu anda akan diajak untuk menyelami pribadi seorang perempuan yang memiliki integritas tinggi, seorang pemikir sejati, sekaligus seorang aktivis keadilan sosial yang tak kenal lelah.
Semua itu bukanlah tanpa tantangan. Ia dipenjara dari 1904-1906, dan tiga setengah tahun berikutnya, karena ia menentang dengan keras terjadinya perang dunia pertama. Bahkan ia dibunuh secara brutal oleh kelompok militer pada 1919, ketika terjadi pemberontakan kaum pekerja di Berlin. Jelaslah ia adalah orang yang tidak pernah gentar, ketika nilai-nilai hidupnya ditantang.
Di balik semua itu, seperti dijelaskan oleh Rowbotham, ia adalah seorang perempuan yang amat penuh cinta dan humoris.
Luxemburg banyak bertentangan dengan para pemikir Marxis lainnya pada masa itu. Bagi para pemikir Marxis pada masanya, terutama yang banyak dipengaruhi oleh Lenin, revolusi akan berjalan, jika ada satu partai yang menjadi pusat seluruh gerakan revolusi. Partai tersebut terdiri dari para pemikir Marxis yang menyuntikan kesadaran revolusioner pada kelompok pekerja. Sementara bagi Luxemburg hanya kelas pekerja yang bergerak pada dirinya sendirilah yang akan membawa perubahan politik ke arah yang lebih baik.
Pada era 1960-70 tulisan-tulisan Luxemburg banyak menjadi inspirasi bagi gerakan perjuangan hak-hak kaum perempuan. Walaupun begitu penting juga dicatat, ia sendiri tidak banyak aktif di dalam gerakan perjuangan kaum perempuan pada masanya. Tidak hanya itu ia bahkan menjaga jarak dari gerakan tersebut. Ia tidak mau disamakan dengan kelompok “korban”, karena pada masa itu, perempuan memang dianggap sebagai kelas yang lebih lemah, dan diberikan status sebagai “korban”.
Rosa Luxemburg lahir dari keluarga Yahudi yang tinggal di Polandia pada 1871. Ayahnya adalah seorang pedagang timah. Ibunya adalah seorang perempuan keturunan rabi. Mereka hidup dalam suasana kebencian pada orang-orang Yahudi yang kuat. Di samping itu Rosa sendiri sering sakit pada masa kecilnya.
Bahkan sebagai anak sekolah, ia merasa berbeda dengan teman-teman seumurnya. Ini terjadi karena dua hal. Pertama Rosa adalah seorang anak Yahudi, dan pada masa itu, banyak orang yang membenci orang Yahudi di Polandia. Kedua karena Rosa adalah anak yang lemah, karena sering sakit di masa kecilnya. Ia berusaha keras memakai baju-baju yang menutupi cacat fisiknya. Ia pun banyak menghabiskan waktu membaca buku, dan mengembangkan ide-idenya.
Ketika remaja Rosa menyaksikan sendiri, bagaimana gerakan revolusi dibantai oleh pemerintah yang berkuasa. Orang-orang yang terlibat di dalamnya ditangkap dan dihukum mati. Mayoritas adalah kaum perempuan. Beberapa adalah mahasiswa dari Zurich. Melihat itu Rosa pun memutuskan untuk melanjutkan studi di Zurich di bidang zoologi pada 1889.
Di sana ia terlibat di dalam politik, terutama politik sosialisme. Di dalam aktivitasnya ia berjumpa dengan seorang lelaki tampan berambut merah bernama Leo Jogiches. Tentu saja Leo adalah seorang aktivis politik yang tak kenal takut dan lelah. Ia terbiasa melakukan infiltrasi politik, dan tak ragu-ragu untuk menggunakan kekuatannya. Luxemburg jatuh cinta baik secara emosional dan intelektual dengan pria ini.
Pada 2 April 2011, Lenin mengunjungi Luxemburg yang pada waktu itu sedang berada di penjara. Luxemburg mengaku, “Saya senang berbicara dengan dia. Dia sangat cerdas dan berpendidikan tinggi. Wajahnya jelek namun saya senang melihatnya.” Lenin ternyata menyukai kucing peliharaan Luxemburg yang bernama Mimi. Bahkan ia pernah berkata, “Hanya di Siberia saya melihat mahluk seindah itu, ia adalah kucing yang agung.”
Sebagai seorang pribadi Luxemburg amatlah bebas dan spontan. Ia merasa perlu untuk “merayakan semangat hidup pada saat ini dan disini.” Pemikirannya pun mencerminkan kepribadiannya. Tulisan-tulisannya mengalir pada beragam konteks kehidupannya. Bahkan seperti dicatat Rowbotham, Partai Komunis pada waktu menganggap Luxemburg sebagai orang naif yang penuh spontanitas, namun tanpa pertimbangan strategis.
Memang salah satu konsep terpenting di dalam pemikiran Luxemburg adalah Dialektika antara Spontanitas dan Organisasi.[2] Dalam arti ini spontanitas adalah pendekatan dari akar rumput untuk mengorganisir gerakan sosial yang berorientasi pada terciptanya keadilan. Dalam arti ini organisasi dan spontanitas bukanlah sesuatu yang terpisah, melainkan momen-momen yang saling terkait di dalam proses politik. Tidak ada organisasi tanpa spontanitas. Setiap gerakan perubahan selalu lahir dari spontanitas, dan kemudian bergerak ke level yang lebih tinggi.
Namun perlu juga diingat, bagi Luxemburg, spontanitas bukanlah suatu konsep abstrak. Ia merumuskannya dalam konteks pergerakan kaum pekerja di Eropa, terutama setelah revolusi di Russia pada 1905. Ia berulang kali menegaskan, bahwa organisasi tidak terbentuk dari pendekatan saintifik rasional semata, tetapi dari spontanitas gerakan akar rumput yang lalu meluas. Inilah logika revolusi yang sesungguhnya, menurut Luxemburg.
Namun permasalahan yang menjadi perhatian Luxemburg sebenarnya sama dengan permasalahan para pemikir Marxis jamannya, yakni bagaimana cara menciptakan perubahan dari masyarakat kapitalis menuju masyarakat komunis melalui kekuatan kaum pekerja?[3] Sampai kematiannya pada 1919, pertanyaan itu tidak terjawab. Namun cerita tidak selesai disitu.
Pada 1922 Paul Levi, mantan kekasih Luxemburg, menerbitkan pamflet yang ditulis oleh Luxemburg. Isinya adalah kritik tajam pada revolusi Bolshevik yang menghabisi kekuatan-kekuatan politik demokrasi di Russia. Stalin menerima pamflet itu, dan mengutuknya habis-habisan. Namun pamflet itu terus menyebar, dari Jerman, sampai ke Amerika Serikat. Menurut Rowbotham semangat revolusioner dari Luxemburg patut diteladani, mengingat gelombang revolusi melawan para tiran politik kini sedang terjadi di Timur Tengah.
Pada hemat saya semangat revolusioner Luxemburg, dan ajarannya soal dialektika spontanitas-organisasi, tidak hanya cocok untuk revolusi, tetapi untuk menggerakan perubahan di dalam organisasi apapun. Perubahan tidak lahir dari perencanaan semata, tetapi dari spontanitas akar rumput golongan bawah yang kemudian meluas, dan menerjang ke atas. Indonesia gagal berubah karena gagal membangun dan meningkatkan intensitas spontanitas akar rumput. Akibatnya perubahan hanya retorika belaka, karena hanya merupakan rencana sepihak kaum atas, tanpa ada tenaga akar rumput (kelompok bawah) untuk menghidupinya.***
Penulis adalah Dosen Filsafat Politik, Fakultas Filsafat UNIKA Widya Mandala Surabaya
[1] Tulisan ini merupakan saduran bebas dari tulisan Sheila Rowbotham yang dikutip dari Koran Guardian di Inggris (http://www.guardian.co.uk/books/2011/mar/05/rosa-luxemburg-writer-activist-letters) pada 6 Maret 2011 pk. 06.00.
[2] Untuk berikutnya saya mengacu pada wikipedia entry tentang Rosa Luxemburg. Saya mendapatkannya pada 6 Maret 2011 pk. 12.23.
[3] Saya kembali mengikuti uraian Rowbotham.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H