Sejarah mengatakan bahwa tanggal 28 Oktober adalah tanggal dan tahun diterimanya atau diresmikannya bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan bangsa Indonesia. Untuk itu, tulisan ini untuk mengingatkan sekaligus untuk memperingati tanggal 28 Oktober 1928, tepat 92 tahun ketika dikumandangkannya lagu Indonesia Raya dan diresmikannya Bahasa Indonesia dalam Kongres Pemuda II di Jakarta. Bagi bangsa Indonesia, 28 Oktober adalah hari kesatuan yang bersejarah dan membuat sejarah, karena melihat perkembangan bahasa Indonesia di dalam negeri yang cukup pesat dan perkembangan di luar negeri pun sangat menggembirakan.
Akan tetapi, wacana sejak lama tentang kemungkinan dan harapan bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional, makin lama terasa semakin berhadapan dengan banyak situasi yang ironis. Situasi seperti itu merupakan wujud ketidakberdayaan masyarakat Indonesia dalam membendung derasnya arus budaya global, sehingga menjadi suatu keniscayaan yang tidak bisa dihindari oleh kebanyakan masyarakat Indonesia. Dari sisi lain, disadari atau tidak, hal tersebut bisa diinterpretasi sebagai wujud pengebawahan bahasa Indonesia oleh orang Indonesia sendiri.
Dalam konteks sosiolinguistik, semua itu bisa juga dimaknai sebagai situasi bahasa Indonesia yang masih kurang mengindonesia. Dan perlu ditegaskan, keberadaan bahasa Indonesia tidak semata sebagai bahasa nasional, melainkan sebagai lambang jati diri dan identitas bangsa. Lebih jelasnya, bahasa adalah sebagai lambang kebanggaan bangsa Indonesia, alat pemersatu bangsa dan juga alat penghubung antara budaya dan daerah yang tersebar di segala penjuru.
Bahasa Indonesia yang mengindonesia ialah bahasa Indonesia yang 'berwajah' Indonesia, 'berbau' Indonesia, dan 'bernafas' Indonesia. Artinya, bahwa bahasa Indonesia yang mengindonesia ialah bahasa Indonesia yang tidak mempribadi, tidak mendaerah, dan tidak mengasing. Sebaliknya, kalimat-kalimat yang mengandung pesan, gagasan, nalar, pemikiran rancu, kacau-balau, berbelit-belit, atau kasar, maka kalimat yang seperti itu disebut bahasa yang tidak mengindonesia, tetapi mempribadi karena hanya dapat dinikmati oleh benak pemakainya sendiri.
Di tengah hiruk-pikuk yang kita hadapi akhir-akhir ini, arus globalisasi telah membawa dampak perkembangan mutakhir dalam semua sektor pembangunan, terutama teknologi komunikasi dan informasi. Kemajuan pesat dan kecepatan teknologi komunikasi dan informasi, di antaranya media sosial, tidak boleh mengakibatkan kita lupa daratan. Bila kita lupa daratan, salah satu dampaknya ialah, bahasa Indonesia tenggelam. Menenggelamkan bahasa Indonesia, berarti bunuh diri.
Itu artinya, kemajuan dan kecepatan teknologi informasi tidak saja membawa kemajuan, melainkan juga membawa pengaruh negatif. Masyarakat Indonesia, termasuk masyarakat dengan pengguna internet dan media sosial yang paling intens, memudahkan dalam penyebaran informasi. Perang wacana, narasi, agitasi dan propaganda turut membawa derasnya arus informasi yang tidak bisa dibendung, termasuk berkembangnya paham radikalisme dan aliran atau kelompok intoleran yang tak sejalan bahkan anti dengan Pancasila. Tak heran jika bangsa kita seperti diobok-obok.
Hal yang sama, kondisi bangsa yang demikian menjadi anomali, seperti pembangunan di berbagai bidang melaju pesat, namun konflik berbahasa dalam sosial kemasyarakatan dan politik identitas justru seperti tumbuh subur. Hal ini tak lain akibat semakin lunturnya nilai-nilai Pancasila dalam diri setiap anak bangsa. Jelas, itu artinya bahwa konektivitas semakin rapat, sedangkan konektivitas dalam nalar, rasa berbangsa dan berbahasa justru semakin renggang.
Adopsi teknologi tinggi jika tidak diikuti oleh budaya tinggi maka akan menghasilkan tingkat literasi rendah, kemampuan bahasa dan keterampilan berbahasa dangkal -- berbahasa dahulu, baik dan benar kemudian, daya kritis kurang, wawasan kesejarahan cetek, nalar ilmiah rendah, pengetahuan kebangsaan dan Pancasila boro-boro. Jadi, kenyataan ini berimplikasi kepada cepat menyebarnya hoaks, fitnah, dangkalnya pemahaman, dan melencengnya perspektif.
Dalam situasi yang berubah amat cepat sekarang ini, upaya-upaya untuk mengukuhkan kembali nilai-nilai Pancasila sebagai segmen perekat persatuan-kesatuan bangsa menjadi teramat penting. Pentingnya persatuan sebagai landasan berbangsa dan bernegara bukan hanya bertumpu pada kesatuan politik, kesatuan teritorial, inklusivitas warga, akan tetapi juga memerlukan eksistensi kebudayaan nasional.
Namun, mengupayakan persatuan Indonesia yang masyarakatnya plural bukanlah perkara mudah. Persatuan nasional memerlukan apa yang disebut oleh Soekarno sebagai "identitas nasional" dan "kepribadian nasional". Membangun rasa kebangsaan dengan membangkitkan sentimen nasionalisme yang menggerakkan suatu itikad, suatu keinsyafan rakyat, bahwa rakyat itu adalah satu golongan, satu bangsa, satu bahasa. Bangsa adalah satu jiwa, sedangkan satu bangsa adalah satu solidaritas yang besar.
Dan kita semua tentu sepakat bahwa Indonesia dengan bahasa dan ideologinya di masa depan adalah pohon yang tegak berdiri, rimbun, dan berbuah lebat -- sebuah pengandaian Indonesia maju dan beradab. Kita juga tentu sepakat bahwa bertumpah darah satu tanah Indonesia, berbangsa satu bangsa Indonesia, dan selalu menjunjung bahasa persatuan bahasa Indonesia. Muara akhirnya adalah memperkuat rasa persatuan dan kesatuan melalui bahasa Indonesia dalam kerangka Pancasila. ~ R.A. Wildan ~
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H