Bahasa-bahasa lain yang bukan milik penduduk asli seperti salah satu di antaranya bahasa Arab memiliki kedudukan sebagai bahasa asing, yaitu berfungsi sebagai alat komunikasi agama (bahasa agama) dan bahasa budaya (Islam).
Sebagai bahasa asing, kedudukan bahasa Arab justru bertugas sebagai (1) sarana perhubungan antarbangsa, (2) sarana pembantu pengembangan bahasa Indonesia, (3) alat untuk memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi modern bagi kepentingan pembangunan nasional.
Bahasa Arab merupakan bahasa ketiga di dalam wilayah Negara Republik Indonesia, bukan sebaliknya, bahasa Arab dijadikan bahasa kedua atau bahasa pertama (bahasa Ibu/daerah).
Baca juga : Bilingual, Bermanfaatkah Diterapkan dalam Salah Satu Kajian Sosiolinguistik?
Dalam Sosiolinguistik, bahasa berkaitan erat dengan masalah sosial budaya, menarik kiranya untuk dikemukakan sebuah kritik terhadap gejala ‘Arabisasi’ atau ‘Pengaraban’ atau ‘kearab-araban’.
Kecenderungan semacam itu tampak, misalnya, dengan keracunan bahasa asing seperti penggunaan istilah-istilah bahasa Arab dan kebanggaan orang untuk menggunakan kata-kata atau kalimat bahasa Arab untuk sesuatu yang sebenarnya sudah lazim dikenal.
Begitu pula ketidakpuasan orang awam jika tidak menggunakan kata ‘ahad’ untuk menggantikan kata ‘minggu’, dan sebaginya. Seolah-olah kalau tidak menggunakan kata-kata berbahasa Arab tersebut akan menjadi “tidak Islami” atau ke-Islaman seseorang akan berkurang karenanya.
Di samping itu, formalisasi dari fenomena ‘Arabisasi’ atau ‘Pengaraban’, menurut Gus Dur, merupakan akibat dari rasa kurang percaya diri ketika menghadapi ‘kemajuan barat’ yang sekuler, maka jalan satu-satunya adalah dengan mensubordinasikan diri ke dalam konstruk Arabisasi, bukanlah Islamisasi.
Bukan hanya itu, Gus Dur pun mengatakan bahwa “proses penggunaan bahasa Arab dalam segala bidang secara vulgar, juga menjadi ciri Islam yang galak. Penguasaan bahasa itu tidak apa, asal jangan sampai membunuh kemampuan kita dalam beradaptasi dengan perkembangan yang ada”.
Mengapa harus menggunakan kata ‘usholi’, kalau dalam pembendaharaan kata bahasa Indonesia masih ada kata ‘sembahyang’ dan ‘salat’. Mengapa harus ‘di-musholahkan’, padahal masih ada kata ‘langgar’ dan ‘surau’. Belum lagi kata ‘ulang tahun’ akan terasa salah dan tidak Islami jika dibandingkan dengan kata ‘milad’.
Kenapa mesti panggilan kata ‘ustadz’ dan ‘syaikh’ baru terasa wibawa, jika kata ‘kiai’, ‘tuan guru’, atau ‘buya’ masih ada. Kenapa mesti mengharamkan kata ‘insya Allah’ dan mewajibkan menggunakan kata ‘in sha Allah’. Mengapa mesti menggunakan kata ‘silaturohim’ jika kata baku bahasa Indonesia sudah menetapkan kata ‘silaturahmi’.