Muncul pada abad ke-8 M, Mu'tazilah menjadi aliran teologi Islam yang unik dan kontroversial. Berbeda dengan kebanyakan mazhab kala itu, Mu'tazilah terkenal dengan penggunaan akal atau rasio sebagai instrumen utama dalam memahami ajaran agama. Aliran ini memicu perdebatan sengit selama berabad-abad, namun tidak dapat dibantah kontribusinya yang signifikan terhadap dinamika intelektual dunia Islam.
Mengangkat Panji Rasionalisme
Dasar pemikiran Mu'tazilah berakar pada keyakinan kuat bahwa akal adalah anugerah Tuhan yang harus dimanfaatkan untuk memahami agama. Mereka berpendapat bahwa wahyu, meski memegang peranan penting, tidak cukup untuk menjawab semua pertanyaan teologis. Akal, dengan logika dan penalarannya, dapat menjadi partner wahyu dalam memahami kehendak Tuhan dan memaknai ajaran Islam.
Lima Prinsip Pilar
Keunikan Mu'tazilah bermanifestasi dalam lima prinsip pilarnya:
* Tauhid: Menegaskan keesaan Tuhan secara mutlak. Tuhan Mahakuasa, Mahaadil, dan tidak memiliki atribut manusia.
* Keadilan (al-'Adl): Tuhan tidak akan menzalimi siapa pun. Manusia diberi kebebasan memilih (ikhtiyar) dan bertanggung jawab atas tindakannya.
* Wani': Peringatan bahwa perbuatan baik dan buruk manusia pasti berkonsekuensi, baik di dunia maupun akhirat.
* Manzilah bain al-Manzilain: Konsep unik tentang status orang muslim yang berbuat dosa besar. Mereka tidak dianggap kafir, namun juga tidak terjamin masuk surga. Posisinya berada di "antara dua tempat".
* Al-Amr bil Ma'ruf wa An-Nahy 'an al-Munkar:Â Kewajiban umat Islam untuk mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran.
Membangun Teologi dengan Logika
Prinsip-prinsip ini mewarnai pendekatan Mu'tazilah terhadap berbagai isu teologis. Contohnya, dalam pembahasan keadilan Tuhan, kaum Mu'tazilah menolak gagasan takdir absolut. Mereka berpendapat bahwa jika manusia tidak memiliki kebebasan memilih, konsep keadilan Tuhan akan terancam. Begitu pula dengan konsep Al-Qur'an. Mu'tazilah meyakini bahwa Al-Qur'an, meski kalam Tuhan, adalah makhluk ciptaan, bukan bagian dari esensi Tuhan sendiri. Pandangan ini didasarkan pada logika bahwa sifat "makhluk" dan "abadi" tidak mungkin berdampingan dalam entitas yang sama.
Kontroversi dan Pengaruh
Penggunaan akal secara kritis oleh Mu'tazilah tidak luput dari kritik. Beberapa pandangan mereka, seperti konsep Manzilah bain al-Manzilain, dianggap tidak selaras dengan teks Al-Qur'an. Penolakan takdir absolut juga dipandang oleh sebagian besar ulama sebagai berbahaya karena berpotensi melemahkan semangat tawakal.
Meski kontroversial, pengaruh Mu'tazilah tidak dapat disangkal. Mereka mendorong diskursus intelektual yang kaya dalam dunia Islam, memotivasi studi filsafat dan logika, serta menanamkan pentingnya berpikir kritis dalam memahami ajaran agama. Warisan metodologis dan keteguhan berpegang pada akal menjadikan Mu'tazilah penanda penting dalam evolusi pemikiran Islam.
Menutup Pintu, Membuka Jalan
Meskipun keberadaan Mu'tazilah formal dalam struktur politik Islam memudar, kontribusinya tetap abadi. Aliran ini mengajarkan bahwa iman dan akal tidak bertentangan, melainkan saling melengkapi dalam pencarian kebenaran. Mu'tazilah membuka pintu bagi pemikiran rasional dalam teologi, dan meski perjalanannya penuh gejolak, ia mewariskan semangat untuk terus bertanya, menggali, dan memahami ajaran Islam dengan kejernihan akal.
Artikel ini hanyalah sekilas tentang kedalaman pemikiran Mu'tazilah. Ada banyak aspek lain yang masih bisa dibahas, seperti perdebatan mereka dengan mazhab lain, kontribusi mereka pada ilmu kalam, dan relevansi pemikiran mereka untuk dunia Islam modern. Diharapkan, kita terdorong untuk menggali lebih dalam dan menemukan kekayaan intelektual yang tersimpan dalam sejarah aliran ini.
Penulis:
Reza Aditya Firdaus
11220511000184
Jurnalistik 3D
UAS Akidah dan Ilmu Kalam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H