Sejak pertama didirikan, lembaga perwakilan dihadirkan dengan sejuta cita-cita. Lembaga ini diharapkan mampu menjadi wadah paling efektif bagi masyarakat selain harus turun ke jalan untuk menyampaikan keluh-kesah, aspirasi, atau apapun namanya yang mereka pikir untuk kepentingan dan kelangsungan hidup mereka agar lebih baik tentunya.
Tapi, melihat kondisi hari ini, bahkan masyarakat pun lebih sering turun ke jalan untuk menyampaikan pendapatnya. Bukan hanya eksekutif yang mereka serang, tapi, legislatif yang jelas-jelas merupakan perpanjangantangannya mereka, bahkan keseringan mereka caci maki.
Jika demikian, maksud dan tujuan bahwa wakil rakyat adalah representasi rakyat itu sendiri sudah tidak lagi terwujud. Sedangkan, sistem perwakilan yang dianut di Indonesia adalah demokrasi tidak langsung, artinya, rakyat harus percaya terhadap wakil-wakilnya, mereka harus yakin dengan pilihannya, karena rakyat tidak ikut secara langsung dalam menjalankan roda pemerintahan, pun harus percaya bahwa calon yang mereka pilih akan menjadi pelayan yang akan memberikan pelayanan terbaik layaknya makan di restoran mewah atau menonton sebuah pertunjukan dengan duduk di kursi paling depan.
Ketika rakyat sudah turun ke jalan untuk menghardik atau bahkan menggurui wakilnya, itu sama dengan cita-cita demokrasi agak sedikit tergerus. Demokrasi yang katanya menghendaki kedaulatan rakyat, sehingga dibentuklah lembaga perwakilan rakyat.
Jika sudah seperti ini, tak jarang mereka saling serang, antara pendemo dengan yang didemo saling tuding. Kadang kala, wakil rakyat yang didemo tak kunjung menghampiri para pengunjuk rasa, dengan berbagai alasan yang bisa dibilang kurang masuk akal, salah satunya mereka beranggapan bahwa para pengunjuk rasa tidak punya cukup data, tapi memaksakan turun ke jalan. Padahal, barangkali mereka yang tidak cukup mental untuk berhadapan lalu beradu argumen dengan para pengunjuk rasa.
Yang jadi soal kemudian adalah apa yang mengakibatkan terjadinya kondisi yang seperti itu?, kenapa terkadang kita harus menafikan cita-cita dibentuknya lembaga perwakilan, bahwa mereka yang terpilih untuk duduk di kursi perwakilan adalah representasi dan perpanjangan tangan?
Apakah mungkin mereka yang terpilih sudah tidak lagi memikirkan apa-apa selain dirinya dan kepentingan partainya, atau mungkin lebih parah, setelah terpilih, mereka fokus memikirkan kepentingan partai-partai pengusungnya?, mulai dari yang paling sedikit memberikan kontribusi pada saat pemilihan sampai pada partai pengusung yang berhasil mengumpulkan suara paling banyak.
Atau jika pertanyaannya dikerucutkan, mereka yang terpilih sebenarnya memikirkan kepentingan masyarakat, tapi, sebatas daerah pemilihannya. Tentu ini juga bukan bentuk perwakilan yang baik. Ada satu ungkapan yang pernah saya tulis sewaktu menyusun skripsi, bahwa yang namanya menjadi pejabat publik, eksekutif maupun legislatif, ketika terpilih, kita bukan lagi pribadi tunggal yang seenaknya memikirkan kepentingan pribadi atau hanya mementingkan beberapa kelompok.
Tidak ada alasan yang cukup masuk akal untuk seorang wakil rakyat hanya mementingkan orang-orang yang ada di daerah pemilihannya. Mereka pikir hanya daerah pemilihannya yang harus mereka urus. Padalah, jika dicermati, pembagian wilayah daerah pemilihan sebenarnya agar proses pemilihan umum lebih efektif saja.
Daerah pemilihan tidak diharapkan menjadi sebuah ciri yang melekat pada seorang calon, lalu, setelah terpilih tidak lagi memikirkan daerah lain yang notabene bukan daerah pemilihannya, sederhana saja, mereka sama-sama berdalih, berlindung di balik kalimat "di sana kan sudah ada wakilnya sendiri yang terpilih". Padahal, cita-cita lembaga perwakilan tidak demikian.
Mereka hanya akan berani melebarkan sayap perhatian pada daerah yang bukan daerah pemilihannya ketika mereka punya kepentingan pada pemilu berikut. Sebut saja Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten/Kota yang bercita-cita menembus kursi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi.
Menjawab beberapa pertanyaan di atas, saya akan mencoba menjawab dengan sebuah pertanyaan juga, aneh?, sama kayak wakil rakyat, kadang kala suka aneh.
Pertanyaannya begini, mereka yang mencalonkan, apakah benar memahami latar belakang dibentuknya lembaga perwakilan?, bukan tidak penting, memahami alasan berdirinya lembaga perwakilan tentu akan mempermudah menjalankan tugas, agar sesuai cita-cita, sehingga kinerja terukur dan terarah.
Jangan hanya sekadar tahu bahwa wakil rakyat itu dituntut untuk memikirkan kepentingan kesejahteraan rakyat, sementara arah dan tujuan lembaga mereka tidak pahami. Yang mereka pahami kadang kala hanya arah dan tujuan partai, sehingga tak jarang, yang terjadi di gedung perwakilan hanyalah ajang unjuk gigi berdasarkan ideologi masing-masing partai.
Atau pertanyaan yang lebih mudah, jika suatu hari saya bertemu dengan wakil rakyat, kemudian mendadak saya todong dengan pertanyaan seperti ini "Kapan didirikan lembaga perwakilan?, sebelum dinamakan DPR, apa nama sebelumnya?. Pertanyaannya sederhana, tapi, saya kurang yakin kalau mereka semua tahu jawabannya.
Kalaupun bisa terjawab, akan saya suguhkan pertanyaan terakhir, dari angka 1 sampai 10, tingkat korupsi Anda di angka berapa?.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H