Politik dinasti kian menjadi momok akhir-akhir ini. Sebagian kalangan menentang, beradu kata dalam pojok diskusi hingga sosial media, seakan menentang keras praktik perpolitikan semacam ini. Politik dinasti pada dasarnya merupakan keadaan dimana seseorang atau sekelompok orang yang memiliki hubungan keluarga atau terkait hubungan kekerabatan dengan yang menjalankan kekuasaan politik, dan dengan segenap usaha mempertahankan kekuasaan agar supaya kekuasaan masih berada dilingkungan keluarga.
Dinasti politik bukan sebuah hal baru bagi Indonesia, bukan pula suatu perkara yang diharamkan oleh Sang Demokrasi. Didalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945, pasal 27 ayat (1) menerangkan bahwa “Setiap warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada pengecualiannya.” Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menentukan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum. Selanjutnya, Pasal 28D ayat (3) menjelaskan bahwa setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.
Dari penjelasan beberapa pasal diatas, sudah sangat jelas bahwa tidak ada larangan bagi siapapun yang berkeinginan menduduki sebuah jabatan didalam pemerintahan, tidak peduli ia memiliki pertalian darah atau hubungan kekerabatan yang amat sangat dekat dengan seorang Kepala Daerah atau bahkan Kepala Negara, dan tidak menutup kemungkinan bagi mereka yang memiliki hubungan kekeluargaan dengan para legislator, baik ditingkat daerah maupun pusat.
Selain beberapa pasal tersebut, selanjutnya diperkuat dengan Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang mengatur tentang hak pilih dalam pasal 43 yang berbunyi “Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.”
Tidak hanya itu, Mahkamah Konstitusi (MK) pun seolah turut andil dalam menghalalkan dinasti politik ini. Pasalnya, pada 8 Juli 2015 Mahkamah Konstitusi (MK) secara tidak langsung melegalkan praktik dinasti politik. Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan pasal 7 huruf (r) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada, yang menerangkan tentang syarat calon Kepala Daerah (Gubernur, Bupati, Walikota) tidak mempunyai konflik kepentingan dengan petahana.
Berkaitan dengan Dinasti Politik, Esty Ekawati dalam tulisannya berjudul “Dilema Politik Dinasti di Indonesia (2015)” menjelaskan bahwa praktik politik dinasti ini kian menjadi masif lantaran ada kebijakan otonomi daerah yang melahirkan demokratisasi ditingkat lokal, dimana pemimpin daerah dipimpin langsung oleh warganya. Lalu, yang menjadi masalah adalah tingginya ongkos politik dan besarnya “keuntungan” yang diperoleh ketika kelak menjadi seorang kepala daerah, akhirnya membuat angan-angan demokrasi daerah itu berbelok.
Saat ini, mereka yang duduk sebagai kepala daerah kebanyakan tidak lepas dari para pejabat petahana, atau dinasti politik yang sudah ada sebelumnya. Akhirnya, Dinasti politik seakan tidak pernah berakhir baik, selain menyuburkan praktik Nepotisme, rentan pula menimbulkan perkara korupsi (merugikan negara).
Dalam sistem demokrasi, keikutsertaan warga negara dalam proses pemilihan umum merupakan bentuk dari ikhtiar dalam menjalankan kedaulatan rakyat serta hak-hak asasi manusia. Pelaksanaan kedaulatan rakyat merupakan sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari pemilihan umum, oleh karena pemilihan umum merupakan konsekuensi logis dianutnya prinsip kedaulatan rakyat (demokrasi) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Adapun yang menjadi prinsip dasar dalam kehidupan bernegara yang demokratis adalah setiap warga negara berhak ikut aktif dalam proses politik.
Di Indonesia, pemilihan umum merupakan penafsiran terhadap norma dari UUD 1945, dengan tujuan agar terciptanya masyarakat yang demokratis. Masyarakat demokratis ini merupakan penafsiran dari penerapan pelaksanaan kedaulatan rakyat. Dengan begitu, kedaulatan rakyat hanya akan berjalan optimal apabila masyarakatnya mempunyai kecenderungan aktif dalam budaya politik partisipan.
Partisipasi dalam politik merupakan inti dari sebuah demokrasi. Suatu sistem politik dapat dikatakan demokratis apabila diukur dari ada atau tidaknya, tinggi atau rendahnya tingkat partisipasi warganya dalam proses pemilihan umum. Standar minimal demokrasi biasanya adalah adanya pemilu reguler yang bebas untuk menjamin terjadinya rotasi pemegang kendali negara tanpa adanya penyingkiran terhadap suatu kelompok politik manapun.
Politik dinasti kerap kali berlindung dibalik konstitusional hak politik warga negara, sementara, sistem politik dan kepemiluan yang ada sekarang belum mampu menangkalnya. Meski demikian, bukan menjadi alasan untuk tetap berdiam diri, tunduk dan patuh pada aturan yang ada, seolah terus mendukung praktik politik dinasti oleh karena tidak adanya aturan yang jelas mengatur dan membatasi gerak politik semacam ini.
Berbeda halnya dengan negara-negara yang menganut sistem kerajaan, Monarki atau kerajaan merupakan sistem pemerintahan tertua di dunia. Kekuasaan dalam kerajaan memang dijalankan oleh sebagian besar kalangan keluarga sang raja. Kekuasaan dalam kerajaan pun biasanya akan berlangsung selama sang raja masih hidup, kekuasaan hingga akhir hayat, kemudian akan digantikan oleh penerusnya yang juga berasal dari keluarga kerajaan. Namun, sistem yang dianut di Indonesia berbeda dengan negara-negara yang menganut sistem kerajaan, lumrah memahami bahwa Indonesia menganut sistem demokrasi, dimana kedudukan setiap warganya sama dihadapan hukum, bukan jadi soal dari kalangan apa dan siapa untuk dapat menjadi seorang pemimpin.
Tidak hanya itu, perbedaan yang cukup signifikan dalam sistem demokrasi adalah menjalankan kehendak rakyat atau yang dikenal dengan kedaulatan rakyat, dalam artian rakyatlah sebagai pemegang kekuasaan tertinggi meski pada dasarnya tetap mewakilkan dirinya dalam parlemen/wakil rakyat.
Politik dinasti dinilai sebagai praktik nepotisme, sementara di Indonesia praktik semacam ini tidak diinginkan adanya, karena dinilai dapat menimbulkan terjadinya praktik korupsi oleh karena hubungan dekat yang sewaktu-waktu dapat memuluskan kebijakan sesama penguasa, atasan dengan bawahan misalnya, atau lebih ke hubungan antara pusat dan daerah.
Saat ini, belum adanya aturan jelas yang membatasi gerak praktik politik dinasti, olehnya itu, adalah wajar jika terjadi kasus seperti itu. Meski begitu yang menjadi pokok persoalan adalah seberapa patut sang calon untuk bertarung dalam kontestasi politik, rekam jejak yang baik menjadi poin penting yang harus terpenuhi, semisal ia pernah menjabat sebagai pejabat publik, atau alasan paling sederhana adalah karena ia aktif dalam dunia politik.
Sepanjang belum ada aturan yang membatasi, maka nepotisme seolah dianggap legal dalam praktik demokrasi. Bahkan, sejauh ini dalam sistem kepemiluan yang ada, mereka yang tidak paham hukum pun memiliki kesempatan yang sama untuk mencalonkan diri, wajar saja, demokrasi menghendaki itu.
Pada akhirnya, semuanya seolah menjadi hal wajar meski kurang etis dalam dunia politik, walaupun sebenarnya akan tetap berujung pada suara rakyat sebagai penentu, hasil pemilu menjadi akhir dari segala bentuk pertikaian tentang politik dinasti.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI