Mohon tunggu...
Reza Parayogi
Reza Parayogi Mohon Tunggu... Editor - Kontroversi akan selalu ada, bahkan saat oposisi yang menjabat.

Founder Legal.isme

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Celah Politik Dinasti dalam Demokrasi "Boleh-boleh Saja, Asal Tidak Asal-asalan"

10 Oktober 2020   20:50 Diperbarui: 10 Oktober 2020   21:04 255
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Berbeda halnya dengan negara-negara yang menganut sistem kerajaan, Monarki atau kerajaan merupakan sistem pemerintahan tertua di dunia. Kekuasaan dalam kerajaan memang dijalankan oleh sebagian besar kalangan keluarga sang raja. Kekuasaan dalam kerajaan pun biasanya akan berlangsung selama sang raja masih hidup, kekuasaan hingga akhir hayat, kemudian akan digantikan oleh penerusnya yang juga berasal dari keluarga kerajaan. Namun, sistem yang dianut di Indonesia berbeda dengan negara-negara yang menganut sistem kerajaan, lumrah memahami bahwa Indonesia menganut sistem demokrasi, dimana kedudukan setiap warganya sama dihadapan hukum, bukan jadi soal dari kalangan apa dan siapa untuk dapat menjadi seorang pemimpin.

Tidak hanya itu, perbedaan yang cukup signifikan dalam sistem demokrasi adalah menjalankan kehendak rakyat atau yang dikenal dengan kedaulatan rakyat, dalam artian rakyatlah sebagai pemegang kekuasaan tertinggi meski pada dasarnya tetap mewakilkan dirinya dalam parlemen/wakil rakyat.

Politik dinasti dinilai sebagai praktik nepotisme, sementara di Indonesia praktik semacam ini tidak diinginkan adanya, karena dinilai dapat menimbulkan terjadinya praktik korupsi oleh karena hubungan dekat yang sewaktu-waktu dapat memuluskan kebijakan sesama penguasa, atasan dengan bawahan misalnya, atau lebih ke hubungan antara pusat dan daerah.

Saat ini, belum adanya aturan jelas yang membatasi gerak praktik politik dinasti, olehnya itu, adalah wajar jika terjadi kasus seperti itu. Meski begitu yang menjadi pokok persoalan adalah seberapa patut sang calon untuk bertarung dalam kontestasi politik, rekam jejak yang baik menjadi poin penting yang harus terpenuhi, semisal ia pernah menjabat sebagai pejabat publik, atau alasan paling sederhana adalah karena ia aktif dalam dunia politik.

Sepanjang belum ada aturan yang membatasi, maka nepotisme seolah dianggap legal dalam praktik demokrasi. Bahkan, sejauh ini dalam sistem kepemiluan yang ada, mereka yang tidak paham hukum pun memiliki kesempatan yang sama untuk mencalonkan diri, wajar saja, demokrasi menghendaki itu.

Pada akhirnya, semuanya seolah menjadi hal wajar meski kurang etis dalam dunia politik, walaupun sebenarnya akan tetap berujung pada suara rakyat sebagai penentu, hasil pemilu menjadi akhir dari segala bentuk pertikaian tentang politik dinasti.

Dok. pribadi
Dok. pribadi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun