Mohon tunggu...
Reza Parayogi
Reza Parayogi Mohon Tunggu... Editor - Kontroversi akan selalu ada, bahkan saat oposisi yang menjabat.

Founder Legal.isme

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Democrazy?

9 Juni 2020   00:21 Diperbarui: 9 Juni 2020   20:02 227
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Entah siapa yang gila, beberapa waktu terakhir media sosial ramai dengan berita kontroversi terkait kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah, memicu demonstrasi besar-besaran yang dilakukan oleh mahasiswa, masyarakat, hingga kaum buruh menjadi saksi atas luapan emosi terhadap pemerintah, cukup sampai disitu pokok permasalahannya, pada dasarnya kita paham bahwa Indonesia menganut paham demokrasi. Demokrasi yang katanya teori paling baik untuk sebuah negara menuju kesempurnaan pemerintahan.

Berkaitan erat dengan demokrasi, Indonesia juga menganut azas ‘kedaulatan rakyat’. Didalam UUD 1945 ditegaskan bahwa: “Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang-undang dasar”.

Demokrasi sejatinya memberikan ruang, kebebasan, entah itu kebebasan berpendapat, berpikir atau kebebasan ilmiah, aturan hukum yang jelas, bahkan persamaan kedudukan dihadapan hukum.

Lalu, mengapa terkadang muncul kebijakan yang kontroversial, seolah pemerintah mengingkari apa yang dipahamkan oleh “sang demokrasi”. Selain memberi ruang hingga kebebasan, bukankah demokrasi sebagai wujud atas pemerintahan yang menempatkan rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi?, atau dengan kata lain bahwa pemerintah harus memperhatikan kepentingan rakyatnya.

Kebijakan kontroversi memicu kemurkaan rakyat terhadap pemerintah, bukan tanpa alasan, salah satu alasan paling sederhana adalah mereka menganggap kebijakan yang keluar tidak sesuai dengan kebutuhan, mungkin tidak untuk saat ini atau bahkan tidak akan pernah, lalu atas dasar apa mereka membuat dan berbuat untuk sebuah kebijakan baru?, bagi sebagian kalangan mampu melihat celah menganggap kebijakan tersebut layaknya bom waktu, yang sewaktu-waktu akan tampak sisi yang merugikan.

Selanjutnya, bukankah struktur pemerintahan tidak diisi oleh sembarang orang, meski pada dasarnya kita ketahui bahwa sebagian besar tim pemenangan adalah kandidat terkuat untuk mengisi posisi strategis.

Pemerintah paham betul akan kepentingan dan kegentingan yang nantinya ia hadapi, entah paham sampai pada akhir masa jabatannya atau sekedar paham bahwa menjadi pemerintah itu sulit. Struktur pemerintahan saat ini, bukan tanpa seorang ahli, pakar bahkan milenial yang gesit akan perkembangan global saat ini. Kembali lagi, lalu mengapa muncul kebijakan kontroversi?.

Dalam sebuah aturan atau kebijakan baru tidak terlepas dari paham Montesquieu, termuat didalamnya konsep “Trias Politica” atau yang lebih dikenal dengan pemisahan kekuasaan, dalam hal perancangan hingga pengawasan Undang-undang, Montesquieu membagi atas tiga bagian, yakni Eksekutif sebagai pelaksana, Legislatif sebagai pembuat, Yudikatif sebagai pengawas pelaksana. Demikian pula paham yang dianut di Indonesia, adanya kerjasama yang baik oleh Presiden dan DPR (wakil rakyat) selaku pembuat kebijakan.

Konsep Trias Politika menekankan bahwa ketiganya harus terjalin hubungan baik dalam merancang, menyusun, hingga membuat sebuah aturan. Tapi, hubungan yang baik oleh ketiganya sewaktu-waktu dapat memuluskan kebijakan-kebijakan yang disusun oleh penguasa, dengan begitu membuka celah untuk terjadinya kebijakan kontroversi.

Pokok persoalannya adalah paham sistem perwakilan yang dianut di Indonesia menekankan bahwa rakyat harus percaya terhadap wakil-wakilnya, atau dengan kata lain demokrasi tidak langsung, karena rakyat tidak ikut serta secara langsung dalam menentukan dan mengawal roda pemerintahan. Olehnya itu, sulit untuk menghalau timbulnya kebijakan kontroversi. Kontroversi akan selalu ada, bahkan saat pihak oposisi yang menjabat. Bertalian dengan itu, demokrasi memberi kelonggaran terhadap seluruh rakyat untuk ikut serta dalam proses pemilihan umum, baik sebagai seorang pemilih atau seorang yang akan dipilih.

Demokrasi membuka ruang bagi siapapun yang berkeinginan untuk duduk sebagai seorang aktor sosial, tidak harus lihai dalam hal apapun, cukup menang karena suara terbanyak. Tidak terkecuali bagi mereka yang beli ijazah demi dipandang terpelajar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun