Fungsi ilmu sastra
1. Â Pengertian dan hakikat sastra
Pertanyaan pertama yang selalu muncul bagi pembelajar sastra adalah pengertian sastra itu sendiri. Sebagian besar siswa atau mahasiswa bingung membedakan 'yang sastra' dan 'yang bukan sastra'. Sebenarnya hal ini tidak terlalu mengherankan mengingat ilmu pengetahuan, termasuk bidang sastra, terus berkembang. Dampak dari perkembangan ilmu tersebut, salah satunya, tentu saja berimbas pada pengertian dan batasan sastra itu sendiri.
Di Kamus Besar Bahasa Indonesia, sastra diartikan sebagai bahasa (kata--kata, gaya bahasa) yang dipakai dalam kitab--kitab (bukan bahasa sehari--hari). Pengertian ini tentunya masih sangat terpengaruh oleh pengertian awal sastra mengingat secara etimologi sastra diambil dari kata dalam bahasa Sanksekerta yang berarti tulisan.
Pengaruh tersebut terlihat karena di dalam KBBI sastra diartikan sebagai bahasa yang dipakai dalam kitab, artinya sastra dianggap sebagai sesuatu yang tertulis saja. Tentu saja hal tersebut tidak salah karena memang sebagian besar karya sastra yang ada dan tersebar dalam bentuk tertulis. Akan tetapi, perlu diingat juga bahwa ada bentuk lain, yakni sastra lisan yang pengaruh dan perannya tidak dapat dikesampingkan begitu saja.
Berbeda dengan pengertian yang diajukan oleh KBBI, Wellek dan Warren (2014:3) mengungkapkan bahwa sastra adalah suatu kegiatan kreatif, sebuah karya seni. Lebih lanjut, keduanya mengatakan bahwa bahasa adalah bahan baku kesusastraan, seperti batu dan tembaga untuk seni patung, cat untuk lukisan, dan bunyi untuk seni musik.
Pernyataan Wellek dan Warren ini menjawab dua pertanyaan sekaligus. Pertama, soal perbedaan seni dan sastra. Banyak orang, terutama di Indonesia, memisahkan antara seni dan sastra. Padahal, jika berlandaskan pada pendapat Wellek dan Warren sebagaimana telah dikutip, sastra adalah bagian dari seni. Keduanya memang berbeda, tapi bukan merupakan hal yang benar--benar terpisah secara total.
Kedua, soal definisi sastra itu sendiri. Berdasarkan pengertian yang diusulkan oleh Wellek dan Warren, maka dapat disimpulkan bahwa sastra merupakan seni yang menggunakan bahasa sebagai bahan bakunya. Dengan demikian, sastra yang dimaksud tidak terbatas pada sastra tulis saja, tapi juga termasuk sastra lisan.
Permasalahan berikutnya yang mungkin muncul dari definisi tersebut adalah, 'bahasa yang bagaimana yang bisa dikategorikan sebagai sastra?" Jika mengacu pada pendapat Kosasih (2011:194), maka bahasa yang dikategorikan sastra adalah bahasa yang bagus, tulisan yang indah indah. Pendapat ini tentu tidak salah karena memang seni menawarkan keindahan tersendiri. Hanya saja, melihat perkembangan sastra terkini ada juga karya sastra yang menggunakan bahasa yang 'sangat sehari--hari tapi memberikan kesan berbeda'.
Dengan kata lain, karya sastra tersebut tidak banyak memakai 'bunga--bunga bahasa'. Agar jenis karya sastra seperti yang dimaksud dapat terlingkupi, ada baiknya definisi sastra ditambah dengan menyatakan bahwa bahasa yang dimaksud adalah bahasa yang mampu menggugah rasa dan meninggalkan kesan indah pada penikmatnya.
Meskipun tampaknya sudah selesai, definisi tersebut masih perlu membedakan diri lagi dengan orasi, motivasi, agitasi, promosi, dan sejenisnya. Perbedaan sastra dengan semua yang disebut terakhir tadi ada pada keperluan tindak lanjut. Orasi, motivasi, agitasi, promosi, dan sejenisnya menggugah rasa dan menuntut para penikmatnya untuk segera melakukan sesuatu, sementara sastra tidak demikian. Sastra mungkin membuat penikmatnya melakukan sesuatu, tapi tidak dengan segera, melainkan melalui proses perenungan dan kontemplasi.