Mohon tunggu...
Raihan Feriawan
Raihan Feriawan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Raihan Feriawan

Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Politisasi Agama terhadap Pemilu 2024 bagi Perspektif Pemilih Muda

13 Juni 2024   17:40 Diperbarui: 13 Juni 2024   18:01 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.radioidola.com/2023/bagaimana-mengantisipasi-politisasi-agama-jelang-pemilu-2024/ 

Sebenarnya sudah tak asing jika terdengar kata “Politisasi Agama” dalam pemilu. Itu sudah sangat tidak awam bagi sebagian orang, terutama bagi kaum muda yang berfikir secara kritis dan intensitas terhadap politik yang menyangkut agama. Politisasi agama sudah terjadi sejak pemilu 2014, dimana adanya penyebaran isu-isu terkait agama yang diarahkan kepada kandidat tertentu untuk mengurangi elektabilitas mereka. Bahkan yang cukup membludak adalah waktu pemilihan Gubernur DKI Jakarta dimana adanya politisasi agama yaitu Kandidat Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) tuduhan penistaan agama yang digunakan secara luas dalam kampanye untuk memobilitasi pemilih muslim dan menentang Ahok yang beragama non muslim.

Pemilu 2024 di Indonesia menjadi momentum penting dalam menentukan arah dan kepemimpinan negara ke depan. Namun, di tengah dinamika politik yang semakin kompleks, salah satu isu yang terus mencuat adalah politisasi agama. Bagaimana pandangan pemilih muda terhadap fenomena ini? Apakah mereka menerima atau menolak politisasi agama dalam konteks pemilihan umum? Sebagian pemilih muda cenderung lebih skeptis terhadap politisasi agama. Mereka berpendapat bahwa agama itu seharusnya tetap berada dalam ranah pribadi dan spiritual, bukan untuk dijadikan mainan ataupun alat politik. Kebanyakan para pemilih muda lebih mendukung kandidat yang menawarkan program konkret dan juga solusi nyata untuk masalah nasional seperti perekonomian,pendidikan, dan juga lingkungan daripada mengandalkan retorika agama.

Akan tetapi ada juga sebagian pemilih muda yang malah mendukung adanya politisasi agama, dimana mereka setuju tergadap adanya politisasi agama dalam pemilu. Mereka yakin bahwa nilai-nilai agama itu penting untuk diintegrasikan dalam kebijakan publik dan pemerintahan. Kebanyakan pemilih muda yang pro terhadap politisasi agama dalam pemilu ini karena adanya pengaruh media sosial dan juga digital karena pengaruh dalam media sosial terhadap pola pikir generasi muda itu sangat mudah mempengaruhi mereka.

Pemilih muda, sebagai bagian integral dari masyarakat yang berpendidikan dan terkoneksi dengan media sosial, memiliki kecenderungan untuk lebih kritis terhadap politik dibandingkan generasi sebelumnya. Mereka cenderung menilai calon berdasarkan visi, misi, dan kebijakan yang proposional, daripada sekadar identitas agama atau etnis. Meskipun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa politisasi agama tetap memiliki daya tarik tertentu bagi sebagian pemilih muda, terutama mereka yang kuat dalam keyakinan agamanya.

Dampak Bagi Pemilih Muda

Politisasi agama dalam pemilu dapat memiliki dampak negatif yang signifikan, terutama bagi keberagaman dan toleransi di masyarakat. Sentimen agama yang dieksploitasi dalam politik dapat memicu polarisasi sosial, meningkatkan konflik antargolongan, dan mengurangi ruang untuk diskusi yang rasional dan berbasis fakta. Pemilih muda yang peduli akan dampak ini cenderung menolak praktik politisasi agama karena melihatnya sebagai ancaman terhadap stabilitas sosial dan keadilan, yang menunjukkan bahwa pemilih muda tidak homogen dalam pandangan mereka. Perbedaan ini mencerminkan keragaman dalam cara generasi muda memaknai hubungan antara agama dan politik. Kondisi seperti ini juga menantang para politisi untuk memahami dinamika yang ada dan juga mengadopsi pendekatan yang lebih inklusif dan juga sensitive terhadap aspirasi pemilih muda.

Tantangan bagi Pemilih Muda

Tantangan utama bagi pemilih muda dalam menghadapi politisasi agama di Pemilu 2024 adalah dilema antara loyalitas terhadap nilai-nilai agama pribadi dan kebutuhan untuk memilih pemimpin yang mampu memajukan kepentingan nasional secara adil dan berkelanjutan. Di Indonesia, agama sering kali menjadi bagian integral dari identitas personal dan kelompok, yang tercermin dalam pilihan politik seseorang. Namun, pemilihan berdasarkan identitas agama saja bisa menjadi sumber polarisasi dan konflik sosial yang merugikan. Pemilih muda sering merasa tertarik pada pemimpin yang secara konsisten mempromosikan nilai-nilai moral dan etika yang sejalan dengan ajaran agama mereka. Namun, dalam realitas politik, sering kali terjadi bahwa para kandidat menggunakan retorika agama untuk memenangkan dukungan, tanpa jaminan bahwa mereka benar-benar akan mengimplementasikan kebijakan yang mendukung keadilan sosial dan kemajuan nasional secara menyeluruh.

Dengan demikian, pemilih muda dihadapkan pada dilema moral dan politik yang kompleks. Mereka harus mengambil keputusan yang tidak hanya mempertimbangkan nilai-nilai agama pribadi mereka tetapi juga dampak dari pilihan mereka terhadap masyarakat luas. Beberapa pemilih muda mungkin merasa terbebani oleh harapan untuk memilih berdasarkan idealisme agama mereka, sementara yang lain mungkin merasa tertantang untuk menyeimbangkan antara kepentingan pribadi dan nasional yang lebih besar.

Selain itu, pengaruh dari kelompok sosial dan media juga bisa memperumit proses pengambilan keputusan pemilih muda. Informasi yang tersebar luas di media sosial atau panduan dari tokoh agama dan keluarga dapat mempengaruhi persepsi mereka terhadap kandidat tertentu. Oleh karena itu, mendidik pemilih muda tentang pentingnya penilaian rasional dan independen terhadap calon serta partai politik menjadi krusial dalam membangun masyarakat yang lebih demokratis dan inklusif.

Pemilu 2024 menawarkan kesempatan bagi pemilih muda untuk mengartikulasikan harapan mereka terhadap masa depan negara. Dengan pengetahuan yang mendalam tentang isu-isu krusial dan dampak dari politisasi agama, mereka dapat berperan penting dalam memilih pemimpin yang benar-benar mewakili kepentingan rakyat dan memajukan kemajuan bersama tanpa mengorbankan prinsip-prinsip moral yang mereka anut.

Solusi dan Pendekatan Positif

Untuk menghadapi tantangan politisasi agama dalam Pemilu 2024, diperlukan pendekatan yang proaktif dan berkelanjutan. Pertama-tama, penguatan pendidikan politik yang inklusif sangat penting. Pendidikan politik yang inklusif akan memberikan pemahaman yang mendalam kepada pemilih muda tentang nilai-nilai demokrasi, pluralisme, dan pentingnya memilih berdasarkan kebijakan dan visi jangka panjang daripada sekadar identitas agama. Program pendidikan politik harus menyediakan platform bagi pemilih muda untuk berdiskusi, berdebat, dan memahami perbedaan pandangan serta dampak dari politisasi agama. Selain itu, pendidikan politik yang berbasis fakta sangat diperlukan untuk menangkal penyebaran informasi yang tidak benar atau manipulatif di media sosial atau platform lainnya. Pemilih muda perlu dilengkapi dengan keterampilan kritis untuk mengidentifikasi dan menilai informasi yang mereka terima, sehingga mereka dapat membuat keputusan berdasarkan data yang akurat dan bukan berdasarkan narasi yang ditujukan untuk mempengaruhi secara emosional.

Selanjutnya, pengawasan yang ketat terhadap praktik kampanye juga menjadi kunci dalam mengurangi politisasi agama. Badan pengawas pemilu dan lembaga terkait perlu memastikan bahwa kampanye politik tidak memanfaatkan narasi agama untuk memecah belah masyarakat atau menggerakkan sentimen yang dapat memicu konflik sosial. Transparansi dalam pembiayaan kampanye dan pelaporan yang akurat tentang penggunaan narasi agama akan membantu mengawasi dan mengontrol potensi penyalahgunaan agama dalam politik. Pemilih muda juga harus didorong untuk melakukan penelitian independen tentang calon dan partai politik. Mereka perlu melihat lebih dari sekadar janji-janji kampanye yang disampaikan dalam konteks agama, tetapi juga melihat rekam jejak, kebijakan yang diusulkan, dan konsistensi dari para kandidat dalam mewakili kepentingan rakyat secara luas.

Kesimpulan

Dapat disimpulkan bahwa Indonesia memiliki kesempatan untuk mengukur kemajuan demokrasi dan kualitas kepemimpinan. Bagi pemilih muda, menjaga independensi agama dari pengaruh politik adalah langkah penting untuk memastikan bahwa pemilihan umum berlangsung secara adil dan mendorong keharmonisan sosial. Dengan kritis dan berpendidikan, generasi muda Indonesia dapat memainkan peran kunci dalam membangun masa depan yang lebih baik dan lebih inklusif untuk semua warga negara. Melalui pemahaman yang mendalam dan partisipasi aktif dalam proses demokrasi, pemilih muda dapat memastikan bahwa suara mereka didengar dengan baik tanpa terpengaruh oleh politisasi agama yang dapat mengancam prinsip kesetaraan dan keadilan di Indonesia.

RAIHAN FERIAWAN_20230510211_H_AIK2_UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun