“Cowok tuh harus gagah, keren, badannya atletis, kekar dan suka baku hantam!
Itu baru namanya Cowok!"
Apakah kalian para lelaki pernah mendengar sepotong kalimat berikut di atas? Yang biasanya dilontarkan sama teman kalian sepanjang hidupnya mulai kecil hingga saat ini?
Rasa-rasanya kurang greget kalau teman kalian mengatakan kalimat tersebut jika tidak diselimuti candaan dan cacian yang bisa jadi menyinggung perasaan kalian. Selain kalimat tadi, apakah kalian juga pernah mendengar kalimat bahwa laki-laki itu harus menggunakan kekerasan dan main tangan sebagai alat pengakuan ke orang lain bahwa laki-laki itu identik dengan kekerasan.
Anggapan dan stigma orang jika tidak menunjukkan sifat “kelaki-lakian” dalam artian dianggap lemah, suka direndahkan dan diremehkan oleh lingkungan sosialnya karena berperilaku lembut, pantas dibully kalau gesturnya mengarah ke feminis maka gagal disebut sebagai seorang laki-laki.
Harkat dan martabat seorang laki-laki jatuh hanya karena kamu dipandang sebagai orang yang terlalu lembut, tidak terlihat jantan kalau tidak merokok maupun minum-minuman keras, tidak mau menyelesaikan sebuah konflik dengan kepala dingin malah pinginnya baku hantam aja biar urusannya segera selesai.
Sifat kelaki-lakian ini juga bisa jadi bibit-bibit negatif termasuk kekerasan dan diskriminasi berbasis gender sehingga terbukti sudah banyak kasus-kasus kekerasan yang dalang pelakunya adalah seorang laki-laki
Pasti sering dari kalian mendengar kata maskulin dan feminin? Kedua padanan kata ini tentunya biasa digunakan untuk menggambarkan sifat seseorang dalam berperilaku, berpikir, maupun berpenampilan.
Kata sifat ini juga sering kali digunakan untuk mengkotakkan jenis pekerjaan, pakaian, serta mengatur bagaimana laki-laki dan perempuan seharusnya berpikir, merasakan, serta berperilaku.
Tapi tahukah kamu, bahwa sifat maskulin dan feminin ini sebenarnya ada dalam setiap diri manusia. Manusia memiliki kedua sifat tersebut dan kedua sifat ini berguna bagi kehidupan kita.
Sifat maskulin sering diidentikkan dengan bagaimana seseorang berpikiran rasional, berani, bertanggungjawab, dan melindungi. Sementara sifat feminin sering dikaitkan dengan kelemah-lembutan, keibuan, merawat, penyayang dan sabar.
Kalau dilihat-lihat secara seksama, sebetulnya semua sifat yang tergolong feminin maupun maskulin tadi dimiliki setiap dari kita dan penting untuk kehidupan kita.
Seorang laki-laki yang sudah menjadi ayah misalnya ketika bermain bersama dengan anaknya pasti akan menampilkan sifat lemah lembut, penyayang, dan sabar. Sementara seorang perempuan juga perlu berpikir secara kritis dan rasional, berani, serta bertanggungjawab dalam kehidupannya.
Berdalih untuk bisa bergabung dan diterima oleh lingkungan sosialnya, terkadang manusia khususnya laki-laki merasa tidak nyaman ketika kita tidak menuruti norma sosial yang telah diatur oleh masyarakat. Salah satu kata yang sering kita dengar adalah “laki-laki itu tidak boleh menangis”.
Kata-kata ini sudah sedari lama dan ditujukan khususnya kepada laki-laki dan membuat laki-laki lebih memilih untuk menekan perasaan mereka dibandingkan memproses emosi mereka dengan cara yang sehat atau baik.
Padahal kita sendiri pun tidak menyadari bahwa dengan kata-kata yang diucapkan itu bisa menjadi dampak negatif. Ada yang terlihat murung, galau, pendiem, denial terhadap diri sendiri bahkan malah berujung depresi.
Saya jadi teringat bahwa beberapa orang curhat kepadaku terkait anggapan ini, dan menanyakan kepadaku “apa iya ya kalau cowok itu gaboleh nangis?”. Jawabanku sangat diplomatis, gapapa kok kamu boleh kok menangis.
Menangis itu bukan menunjukkan kamu lemah, justru malah menjadikan dirimu naik satu tingkat untuk menjadi pribadi yang lebih kuat. Dengan menangis kamu bisa melepaskan semua beban yang selama ini kamu rasakan begitu sakitnya
Sepanjang pengalaman yang pernah saya alami, ada beberapa kecenderungan-kecenderungan persepsi seorang laki-laki yang mengarah pada bentuk dari toxic masculinity. Perlu diketahui, bahwa karena norma masyarakat kita tentang peran gender yang cukup sempit, kecenderungan-kecenderungan ini sudah terbentuk sejak lama, dan tidak mudah untuk diubah.
Masyarakat sendiri yang membuat laki-laki merasa bahwa dirinya harus seperti yang di bawah ini. Mari kita lihat apa saja bentuk-bentuk kecenderungan yang berujung pada toxic masculinity!
1. Laki-laki Setidaknya Pandai atau Jago Olahraga
“Kamu ga suka sepak bola ya? Yahh, ga laki dong berarti!”
Sering kita mendengar anggapan orang-orang bahwa laki-laki setidaknya pintar atau jago olahraga. Kalau laki-laki jago olahraga sudah pasti banyak disukai oleh cewek-cewek.
Padahal olahraga yang mencerminkan “laki-laki” banget bukan hanya olahraga sepakbola saja. Olahraga pun juga jenisnya banyak ada karate, bulu tangkis, renang, tenis, tenis meja dan masih banyak lagi yang lain.
Saya jadi teringat semasa SMA dan kuliah saya selalu diajak untuk ikut futsal bersama teman-teman, tapi saya memilih tidak ikut karena memang saya tidak jago dan tidak pengen ikut. Walaupun saya tidak ikut, tapi selalu ada yang membicarakan dan merendahkan karena aku mungkin tidak begitu jago soal olahraga.
Padahal kita sebagai laki-laki juga bisa menunjukkan kelebihan-kelebihan kita yang lainnya. Kalau kalian memang jago olahraga ya silahkan ditekuni, siapa tau itu bakat terpendam kamu untuk bisa jadi prestasi, jangan mencari teman untuk dijatuhi dan menebar hate speech kalau teman kamu tidak sejago kamu soal olahraga.
Mungkin kamu kurang jago di olahraga tidak seperti lainnya, tapi bukan tidak mungkin kalau kamu juga jago di bidang lain seperti bidang musik.
Kamu bisa menunjukkan bakat kamu di bidang musik baik menyanyi lagu dengan genre pop, atau genre lainnya, atau bermain alat musik baik alat musik tradisional maupun alat musik.
Bukan tidak mungkin juga kalau misalnya kamu juga memiliki kelebihan di bidang akademik baik di semua mata pelajaran atau mata pelajaran tertentu sehingga kamu bisa menunjukkan kalau kamu mampu di bidang ini dan mendapatkan nilai yang bagus atau indeks prestasi yang selalu meningkat di setiap semesternya. Bisa jadi kamu juga suka banget sama bidang seni yang benar-benar menjadi andalan ataupun suka menulis.
Kamu bisa tunjukkan karya-karya kamu sebagai pembuktian untuk orang-orang yang merendahkan kamu itu apakah dia juga bisa seperti yang kamu lakukan. Jangan balas orang-orang yang merendahkan kamu dengan kata-kata kasar tetapi balas dendam terbaik adalah balas dengan pencapaian kalian dan karya-karya kalian.
2. Mengejek Sesama Cowok Yang Berpenampilan Rapi
“Bro, mau kemana lo rapi amat sih mana rambutnya klimis lagi”
“Bro, mau kemana sih pakai batik? Mau kondangan yak wakakakaka”
Berpenampilan rapi dan bersih itu adalah hak semua orang kan? Memang tidak ada aturan sosial maupun seperangkat kaidah yang berpakaian harus seperti apa dan sebagainya. Kecuali ketika kalian ospek maupun sekolah dimana tiap harinya ada beberapa dresscode yang harus dipakai misalnya putih biru untuk SMP, putih abu-abu untuk SMA, putih merah SD.
Disini yang disesalkan bukan soal dresscodenya, tapi cara berpenampilan setiap orang tentunya memiliki preferensi yang berbeda-beda. Ada yang casual look, stylish dan manly, ada yang sekedar rapi aja tapi kelihatan menarik dan kece. Mau pakai batik ke kampus boleh-boleh aja kok, ke mall pakai turtleneck, pakai kalung dan pomade-an biar klimis juga boleh. Suka-suka mau groomingnya seperti apa.
Ngapain harus dipermasalahkan? Bukankah menjaga kebersihan itu sebagian dari iman? Berpenampilan rapi itu salah satu bentuk usaha untuk menjaga estetika sekaligus personal branding untuk diri saya pribadi.
Berpenampilan rapi juga menunjukkan bahwa saya tetap menjadi diri saya sendiri. Saya jadi teringat semasa kuliah bahwa saya selalu mengenakan batik karena saya pikir batik itu juga bukan hanya dipakai di acara penting saja tapi juga bisa dibawa di kehidupan sehari-hari.
Orang tua saya juga mengajarkan etika dan berpenampilan itu wajib apalagi harus pakai wangi-wangian seperti parfum agar terlihat lebih mengesankan dan lebih dikenal siapa diri saya dari baju atau kemeja yang saya kenakan.
3. Cowok Menangis Bukan Pertanda Seorang Lelaki Sejati
“Dih, cowok apaan kok nangis?”
“Jadi cowok tuh gaboleh nangis, jadi cowok itu harus kuat kayak Captain America tuh”
Laki-laki pun juga selayaknya manusia lumrah, pasti dari kita pernah merasakan emosi. Emosi itu wajar dialami oleh setiap manusia baik cewek maupun cowok. Perasaan sedih, gundah, gelisah, galau, cemas bahkan berujung tangis air mata juga pasti dialami oleh setiap orang.
Menangis bukan berarti kita lemah, justru dengan menangis maka kita bisa melepaskan stress atau emosi yang mengendap pada diri kita. Jika hal tersebut tidak dikeluarkan maka akan menjadi energi buruk dari diri kita sendiri. Kita menangis itu merupakan sebuah sinyal kalau manusia juga punya perasaan.
Kamu ditolak, kamu dikecewakan oleh orang lain, kamu dipandang bodoh, dipandang tidak “maskulin” seperti standar abcde dari orang-orang yang seharusnya a ternyata kamu b. It’s okay to be not okay, boy.
Cowok dianggap merasa culun kalau menangis, padahal kalian tidak tahu betapa susahnya melupakan dan sulitnya untuk menghilangkan persepsi buruk yang menggerogoti pikirannya. Emosinya seakan meluap dikeluarkan melalui tangisan di sepertiga malam, overthinking di dini hari membuat susah untuk tidur karena memikirkan omongan orang-orang terkait standar maskulinitas.
Kita sebagai yang diejek juga tidak memiliki kekuasaan apa-apa selain menangis. Apalagi aku yang notabene tipikal orang yang tidak suka dibentak. Jadilah dirimu sendiri tanpa memperdulikan dan memperdebatkan soal maskulinitas orang lain. Karena dengan meniru orang lain maka akan sulit menemukan apa yang menjadi ciri khas dari dirimu.
4. Kalau Bukan Nongkrong Bukan Cowok Namanya
“gak nongkrong bukan cowok bro”
“kalau bukan merokok ga lakik bro”
“ayo sini kita dugem dan mabuk bareng”
Laki-laki yang tidak nongkrong seringkali dianggap tidak gaul atau dibilang anti sosial. Padahal nongkrong bukan sesuatu hal yang penting untuk diperdebatkan apalagi dipaksakan. Misalnya kamu tidak nongkrong bukan berarti kamu bukan cowok. Bisa jadi kamu sedang ada agenda lain yang lebih penting sehingga kamu mungkin bisa menunda nongkrongnya di lain waktu.
Setiap orang memiliki kepribadian yang berbeda-beda, ada yang introvert, ada yang ekstrovert, apalagi ambivert. Tiap orang juga berbeda-beda, ada yang suka di tempat keramaian, ada yang sukanya menyendiri, jadi jangan jadikan nongkrong sebagai tolak ukur kalau kamu cowok atau bukan ya.
Terus, ada pula yang berpendapat kalau bukan merokok dan minum minuman keras itu bukan laki. Hey, bukankah kamu tidak tahu apa dampak negatifnya merokok dan minum-minuman keras. Beberapa hari yang lalu, saya melihat igstory teman kalau dia habis clubbing dan dia menyetir mobil dalam keadaan mabuk alhasil dia terlibat kecelakaan di jalan dan mengalami luka parah di bagian otak dan dada dan dilarikan ke rumah sakit.
Please kalau misalnya membawa orang ke arah negatif jangan ngajak-ngajak. Menjadi laki-laki sejati enggak melulu harus yang ke arah negatif, masih bisa kok kita ke arah yang lebih positif.
5. Emosi dan Main Tangan Ketika Pendapatnya Tidak Diterima
“Kamu harus ikuti kemauan dan permintaanku, kalau tidak aku akan laporkan ke orangtuamu!”
Kesal pastinya melihat kalau ada teman yang selalu mengedepankan rasa ego ketika tidak setuju dengan pendapatnya. Kamu sebenarnya punya hak untuk membantah dan menyangkal bahwa pendapat dia adalah pendapat yang sepatutnya tidak disarankan untuk kamu ikuti.
Memang pada hakikatnya setiap orang berhak untuk menyampaikan dan mengutarakan pendapatnya, baik itu setuju atau tidak setuju. Tapi terkadang beberapa laki-laki merasa menjadi defensif dan menunjukkan bahwa dirinya jauh lebih berkuasa dan memiliki power ketika dirinya dikritik.
Kalau kamu merasa benar silahkan boleh kok disangkal, jangan percaya hasutan kalau dilaporkan ke orangtua, padahal pendapatnya salah. Kasus ini bukan hanya laki-laki ke perempuan tetapi laki-laki ke laki-laki juga ada.
Tolong untuk belajar menjadi pendengar yang baik, saling terbuka jangan emosinya yang dikedepankan tapi egonya diturunkan empatinya dirasakan, berhenti sejenak dengarkan dahulu pendapat orang lain. Kalau memang salah ya terima saja jangan menyalahkan apalagi main tangan dengan kekerasan berujung tawuran di jalan.
6. Mengejek Laki-Laki Yang Menggunakan Skincare
“Cowok kok pakai skincare. Kayak cewek aja!”
Merawat diri itu bagian dari self love kan? Apakah penggunaan skincare hanya diperuntukkan untuk cewek saja? Padahal laki-laki dan perempuan juga sama-sama memiliki kebebasan dalam merawat diri.
Tidak sedikit seseorang punya pikiran sempit seperti ini. Coba kalian bayangkan brand-brand skincare sekarang sudah memiliki label FOR MEN. Pembersih wajah ada yang versi men, maskeran juga bisa dipakai sama laki-laki dan masih banyak lagi yang lainnya.
Bahkan toxic masculinity jenis ini sering terjadi di media sosial. Pernah ada salah satu orang yang DM ketika aku memakai filter masker di igstory, ada yang bilang “emang cowok harus pakai skincare ya?”
Ya menurut kamu gimana? Coba kamu lihat di televisi hampir semua yang tampil di layar kaca juga menggunakan makeup sekedar info aja buat yang belum tahu.
7. Laki-laki Dilarang Masak!
"Gausah ikutan masak, biarkan istrimu aja yang masak"
Pekerjaan memasak kerap dianggap sebagai pekerjaan wanita sehingga diasumsikan sebagai kegiatan feminim. Padahal memasak adalah kegiatan universal tidak dipandang sebagai siapa dan gender mana. Kadang-kadang orang tua suka melarang laki-laki untuk bereksperimen di dapur dan ikut masak membantu ibunya.
Tetapi, sekarang koki pria juga tidak kalah kerennya. Koki pria menghiasi layar kaca seperti Chef Juna, Chef Arnold, Chef Reynold dan lain-lain itu juga laki-laki jangan salah. Dalam kegiatan memasak sudah tidak perlu lagi memperdebatkan gender.
Buat apa. Justru memasak malah banyak manfaat yaitu melatih keterampilan motorik dan kesabaran. Dengan demikian pandangan anak laki-laki tidak boleh memasak sudah tidak relevan di era sekarang
Dilansir dari sudut pandang Psikolog bahwa pandangan laki-laki memasak berawal dari stigma masyarakat kalau laki-laki jika besar harus menjadi kepala keluarga yang memiliki pekerjaan tetap dan bercuan deras. Menurutnya pekerjaan memasak tidak begitu menjanjikan.
Tapi sekarang nyatanya justru menjadi pekerjaan yang fantastis dan banyak dicari. Seharusnya tidak perlu dilarang untuk memasak justru dengan memasak kita jadi belajar menghargai makanan yang kita buat, mencoba belajar hal-hal baru, belajar berhemat dan irit, lebih bijak dalam memilah makanan yang baik untuk dikonsumsi.
Menjadi laki-laki sejati itu bukan soal kecenderungan toxic masculinity yang saya sebutkan diatas. Tetapi menjadi seorang laki-laki sejati adalah tentang bagaimana kamu menjalankan tanggung jawab, memberikan dampak positif, dan teguh dalam pendirian. Seorang pria sejati selalu menepati janjinya kepada siapa saja dan memperlakukan wanita dengan baik, bukan menyakiti dan merendahkan mereka.
Pria dan wanita itu sama-sama manusia. Ingin terlihat maskulin boleh-boleh saja asalkan untuk tidak perlu menebarkan kesan yang buruk kepada orang lain. Segera hilangkan pemikiran sempit seperti ini. Kuat itu memang sebuah keharusan tapi bukan berarti kasar dan kekerasan, begitupun juga lembut bukan berarti lemah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H