Mohon tunggu...
Renaldy Satio
Renaldy Satio Mohon Tunggu... Guru - Founder TBT English / Guru TBT English / Koordinator International Exam Preparation

A lifetime student who has been devoting his time and passion to bring the highest service for customers. He believes that learning and teaching should be viewed as process instead of goals and progress instead of scores

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kebijakan Sang Ayah

28 Mei 2023   13:33 Diperbarui: 28 Mei 2023   13:44 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kebijakan Sang Ayah

Cerpen oleh: Renaldy Satio

Dahulu kala, hiduplah seorang pria yang sangat bijaksana, sang walikota terhormat di sebuah desa kecil. Kebijaksanaannya dalam memerintah dan pandangannya dihormati. Pencari nasihat membanjiri datang kepadanya, karena nasehatnya memiliki pengaruh yang besar. 

Namun, putranya terkena penyakit kemalasan, menghamburkan hari-harinya dalam tidur dan hura-hura. Tidak ada nasihat atau ancaman yang dapat membangkitkannya dari kebiasaannya yang pemalas. Seiring berjalannya waktu, wajah sang bijak semakin terukir oleh tanda-tanda penuaan, dan ia mulai khawatir akan masa depan putranya. Sadar bahwa ia harus memberikan putranya sesuatu agar ia dapat mengurus dirinya sendiri dan keluarganya di masa depan, sang bijak memanggil anaknya pada suatu hari. 

Dengan serius, ia berkata, "Anakku, engkau telah melewati ambang batas masa kanak-kanak. Genggamlah tanggung jawab dan carilah pencerahan. Temukan tujuan sejati yang akan membimbing hari-harimu, dan engkau akan hidup dengan kebahagiaan dan sukacita selamanya." Dengan kata-kata itu, ia memberikan seorang anak tas. Dengan penuh semangat, anak itu membuka isinya, matanya membesar melihat empat set pakaian, masing-masing sesuai dengan musim yang berbeda. 

Di samping itu, terdapat persediaan makanan mentah, sayuran hijau, uang secuil, dan sebuah peta. Suara sang ayah menggema, "Berangkatlah dalam sebuah pencarian, anakku, untuk mengungkapkan harta tersembunyi. Peta di hadapanmu akan menerangi jalan. Berangkatlah dan temukan takdirmu." 

Sang putra, terpesona oleh tujuan baru ini, untuk pertama kalinya memahami kebijaksanaan ayahnya. Dengan penuh semangat, ia memulai perjalanan pada keesokan harinya, menjelajah jauh melintasi batas-batas, menyeberangi hutan, dataran tinggi, dan pegunungan. 

Hari berganti menjadi minggu, dan minggu berganti menjadi bulan, sementara pertemuan dengan jiwa-jiwa yang berbeda-beda memayungi perjalanan hidupnya. Ada yang menawarkan pertolongan berupa makanan dan tempat berlindung, sementara yang lain, digerakkan oleh niat yang lebih gelap, mencoba menipunya. Dalam persinggahan ekspedisi ini, ia merasakan nikmatnya nektar yang paling manis dan racun yang pahit dari sifat manusia. Musim berganti, pemandangan berubah, dan ketika cuaca buruk menyerang indera-inderanya, ia istirahat hingga langit cerah kembali. 

Akhirnya, setelah setahun berkelana, ia tiba di tujuannya---tebing curam. Di bawah rindangnya pohon yang menjulang, peta menunjukkan tempat persembunyian harta. Dengan tangan penuh semangat, ia menggali tanah dan mencari di sekitar, di bawah, dan di atasnya, namun tak menemukan apa pun. Dua hari ia habiskan dengan mencari harta yang sia-sia, namun pada hari ketiga, lelah dan patah semangat, ia memutuskan untuk pulang dengan kekecewaan akan pilihan yang diambil ayahnya. 

Dalam perjalanan pulang, perjalanan tersebut mengulangi polanya, dengan pergantian musim dan pemandangan yang indah. Namun, kali ini ia berhenti sejenak untuk menikmati mekar bunga di musim semi dan tarian harmonis burung-burung di musim hujan. Setiap perhentian mengundang rasa syukur---pemandangan warna-warni yang mempesona atau malam-malam musim panas yang tenang. Kehabisan persediaan memaksa ia belajar keterampilan bertahan hidup, mempertajam kemampuannya dalam berburu dan kerajinan mencukupi kebutuhannya sendiri. 

Menjahit pakaian dan membangun tempat berlindung menjadi skill dan kebiasaan yang dijalaninya. Dengan mengamati perjalanan matahari, ia merencanakan langkahnya, menghadapi bahaya binatang buas. Untungnya, ia kembali bertemu dengan para pemberi bantuan yang dulu pernah membantunya, yang kemudian dia membalas budi dengan memberi bantuan sekecil apa pun yang ia bisa. Ia terkagum-kagum akan kebaikan mereka, yang diberikan kepada seorang pengembara biasa yang tak memiliki apa pun untuk diberikan sebagai imbalan kecuali rasa terima kasih. 

Ketika ia akhirnya sampai di rumah, ia menyadari telah dua tahun sejak ia memulai perjalanan yang mengubah hidup ini. Dengan langkah pasti, ia masuk ke kamar ayahnya, menyebabkan sang ayah melompat dari tempat duduknya, tangan terbuka dalam pelukan penuh antusias. "Bagaimana ekspedisi mu, anakku tercinta? Apakah engkau menemukan harta yang legendaris?" tanya sang ayah, matanya penuh harap. Dengan campuran rasa rendah hati dan kebanggaan, sang putra menjawab, "Ayah, perjalanan itu sendiri adalah sebuah kisah yang terjalin dengan daya tarik dan keajaiban. Sayangnya, harta itu tidak dapat saya raih, mungkin sudah diambil orang lain sebelum saya tiba." 

Mengejutkan bahkan dirinya sendiri, sang putra tidak merasa marah kepada ayahnya. Sebaliknya, ia memohon pengampunan, memohon maaf atas kegagalannya yang disangkanya. "Tapi mengapa, ayah, engkau mengirimku dalam pencarian ini jika tidak ada harta yang dapat ditemukan?" ia bertanya dengan suara penuh rasa ingin tahu. Senyum lembut mengembang di bibir sang ayah saat ia menjawab, "Ah, anakku tercinta, sungguhlah aku akan mengungkapkan misteri yang memicu ekspedisimu. 

Namun, pertama-tama, ceritakanlah padaku esensi dari perjalananmu. Apakah engkau menemukan ketenangan di dalam pelukannya?" Sang putra berpikir sejenak, pandangannya melayang ke dunia kenangan. "Tidak, ayah, waktu tidak memungkinkanku untuk menikmati keajaibannya sepenuhnya. Aku terobsesi oleh ketakutan bahwa orang lain akan merebut harta itu sebelumku, kegoyahan yang terus mendorongku untuk bergegas menuju tepi tebing. 

Namun, dalam perjalanan pulang, aku menemukan kekayaan yang tak ternilai---persahabatan yang terjalin dalam api pengalaman bersama, beragam keterampilan dan kebijaksanaan yang diperoleh melalui bertahan hidup, dan rasa menghargai akan keajaiban hidup yang terus terungkap. Rasa kehilangan harta yang tidak tercapai terlampaui oleh harta yang bercahaya dalam hidup itu sendiri." Mata sang ayah bersinar dengan kebanggaan sebagai seorang ayah ketika ia menyela, "Tepat sekali, anakku. 

Aku berusaha menanamkan kebenaran penting kepadamu---bahwa tujuan hidup tidak terbatas pada pencapaian satu tujuan. Meskipun tujuan mengarahkan kita, terlalu terpaku pada daya tariknya berarti melupakan permata yang terserak di sepanjang jalan. Harta sejati kehidupan tidak terletak dalam peti harta yang penuh kekayaan, melainkan dalam perjalanan penuh warna-warni, hubungan yang terjalin, dan penemuan diri. Ini adalah buku kehidupan yang terus terbuka, terbuat dari pengalaman yang gemilang dan penuh tantangan.

Peluklah perjalanan ini, anakku tercinta, karena dalam mengejar kehidupan itulah kita menemukan kekayaan terbesar dan di sinilah esensi keberadaan kita." Dengan hati yang bersemangat dan jiwa yang kaya, ayah dan putra saling berpelukan, roh mereka terjalin selamanya dalam pemahaman yang mendalam. Dengan demikian, sang putra memulai babak baru, langkahnya dibimbing oleh kebijaksanaan yang diperoleh dari harta tak ternilai---harta hidup yang dijalani dengan baik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun