Terlebih, keesokan harinya anak-anak memelas minta diajak ke bazar takjil yang sering terkenal lewat media sosial, di Surabaya. Adalah bazar takjil di Karang Menjangan Surabaya.
Ternyata di sana surganya gorengan, banyak sekali gorengan beraneka jenis, dan hampir kesemuanya masih hangat atau fresh from wajan penggorengan.
Seketika saya kalap, dan kami akhirnya membeli gorengan sebanyak 25ribuan, padahal cuman buat bertiga saja. Anak-anak juga minta minuman es, dan jajanan lainnya seperti pentol, roti, dan lainnya.
Senang rasanya, meskipun sampai rumah baru menyadari, betapa banyaknya pengeluaran kami untuk camilan takjil tersebut.
Tidak sampai di situ, keesokan harinya, lagi-lagi kami tergoda membeli takjil, kali ini beli minuman es, pukis dan juga gorengan. Dan sesampai di rumah, saya semacam merasa bersalah, menyadari betapa borosnya pengeluaran saya setiap hari beli takjil.
Ketika masih berkutat dengan perasaan bersalah, meskipun nggak terlalu mengganggu sih, tiba-tiba saya membaca sebuah tulisan di medsos,
"Alhamdulillah, jualan di bulan puasa selalu laku sampai ludes!"
Tiba-tiba saya menyadari, ternyata membeli takjil itu tidak selamanya adalah sebuah pemborosan, tapi juga bisa menjadi sebuah keberkahan buat orang lain, salah satunya para penjual, yang bahagia karena jualannya habis.
Saya teringat, ketika membeli gorengan pertama kalinya di bazar takjil. Saya belinya di seorang nenek-nenek yang dengan ramah menyambut saya untuk membeli gorengannya.
Dan ketika akhirnya saya hanya membeli 5ribuan saja, si nenek tetap bahagia dan berterima kasih dengan ramah, tidak lupa menyelipkan doa semoga rezeki saya semakin banyak.
Masya Allah, bisa-bisanya saya lupa hal mengharukan seperti itu, hanya karena dipenuhi pikiran bersalah karena sudah mengeluarkan uang buat jajan takjil.