Selamat hari Ayah Nasional, terimakasih atas didikan kerasmu, ayah. Anak perempuanmu ini mencintaimu.
 "waktu SD, aku dibelikan sepeda sama bapakku, karena aku masuk 10 besar di kelasku"
Demikian kata seorang teman saya dengan mata yang bersinar saat menceritakan kehebatan ayahnya.
Saya hanya bisa menghela nafas perlahan, menelan ludah agar kerongkongan tidak terasa kering, diam-diam saya iri dengan teman tersebut, iri dengan kehangatan dan kebaikan ayahnya yang begitu bijak dalam menemani perjalanan hidupnya.
Sedangkan ayah saya?
Boro-boro dibelikan sepeda, dapat juara 2 di kelas saja, siap-siap saja betis membiru, kena pukulan tongkat oleh ayah yang biasa saya panggil bapak tersebut. Terlebih dapat juara 3, dijamin selain betis membiru, hingga celana dan rok basah karena saya *mohon maaf ngompol, saking sakitnya menerima pukulan bapak di betis tersebut.
Tidak boleh! Saya tidak boleh jadi juara lain selain juara 1, dan itu mutlak!
Tidak heran, semasa SD prestasi saya cemerlang, nilai rapor bagus semua, semata bukan karena saya terlahir cerdas, tapi karena takut dipukul bapak.
Dan semuanya terungkap setelah saya jauh dari bapak, tepatnya saat kuliah, saya sulit menjadi yang nomor satu lagi, mungkin karena saya berpikir bapak tidak ada di dekat saya, dan tidak akan mungkin bisa memukul betis saya lagi.
Beruntung, kegalakan bapak sejak saya kecil selalu membekas di hati, sehingga meskipun saya kesulitan menjadi juara 1 lagi, tapi setidaknya saya masih bisa bersaing dengan lainnya, meskipun mungkin hanya puas menjadi juara 2 atau 3.
Bapak, adalah sosok yang sangat keras dan galak, serta sungguh tidak membuat saya punya respek yang baik terhadap beliau, setidaknya dulu, sebelum saya menikah.