Bayangkan, 60 jam perjalanan, bisa dipangkas menjadi 6 jam saja.
Sebenarnya, Lion Air bukanlah satu-satunya maskapai yang membuka penerbangan ke tempat orang tua saya, ada juga maskapai kebanggaan yang konon nomor satu di Indonesia.
Tapi seperti labelnya yang nomor 1, harga tiketnya pun nomor 1, bahkan lebih mahal 150% dari tiket Lion Air.
Di awal tahun 2015 lalu, maskapai Lion Air pernah dilarang beroperasi sementara di daerah orang tua saya akibat dampak dari jatuhnya pesawat Air Asia akhir tahun 2014.
Dan akibatnya? saya hampir tidak bisa pulang ke Surabaya karena hanya ada penerbangan maskapai nomor satu itu yang harganya berlipat-lipat, akibatnya, saya kudu ambil jalan lain yang ujung-ujungnya harus naik Lion Air juga karena harganya yang terjangkau untuk ukuran dompet kami.
Saya haru menempuh jalan naik ferry kecil dulu menyebrangi laut dan terombang ambing oleh gelombang yang besar, hingga akhirnya sampai di ibu kota propinsi untuk bisa naik pesawat Lion di bandara yang sedikit lebih besar.
Lalu, bagaimana kesan saya selama berkali naik Lion Air? Mungkin karena memang saya jarang bepergian, jadinya setiap kali naik Lion Air Alhamdulillah gak ada hal yang bikin hati kesal, misal delay atau semacamnya.
Bukannya gak pernah delay, hanya saja saya berusaha sabar jika delay, ketimbang buru-buru lalu terjadi hal yang tidak diinginkan.
Dan juga selalu gemetaran saat naik pesawat Lion yang mini, yang pakai baling-baling, yang di dalamnya seperti bus terbang, hehehe.
Lalu sekarang, Lion Air jatuh (lagi), di antara banyaknya berita Lion nyaris celaka namun penumpangnya Alhamdulillah bisa selamat.
Dan banyak orang mengutuk serta mendesak pemerintah untuk tegas.