Warning: Tulisan ini hanya bermaksud untuk menghibur diri sendiri. Bijaklah memilih bacaan. Jangan sia-siakan waktu anda!!
Umur dua puluh tujuh mungkin bagi sebagian manusia lain adalah masa-masa dimana seharusnya sudah menikah, punya keluarga, punya rumah, punya pajero, punya kosan sepuluh pintu, mapan dan punya segalanya. Berbanding terbalik dengan saya yang masih ya, gini-gini aja. Ibarat kata, maju tidak, mundur pun tidak, naik tidak, turun pun tidak, hanya diam di tempat.
Tapi bukan berarti saya tidak melakukan apa-apa di umur yang semakin kolot ini, sementara desakan untuk segera menikah terus berlangsung baik itu datang dari keluarga sendiri, teman atau bahkan handai tolan. Meski begitu saya punya modal keyakinan bahwa saya telah menempuh jalan yang 'benar'.
Itu bisa jadi modal utama, karena tidak sedikit juga sebenarnya di umur segini ada orang yang masih nganggur dan bingung mau ngapain? Malah ada yang baru resign dari kerjaan lamanya karena ngerasa udah gak betah banget, lalu bingung mau ngelamar kerja kemana lagi? Mau merantau ke mana lagi? So, tidak sedikit orang yang masih struggle dengan kehidupannya di usia-usia seperti ini.
Dan itu yang tidak saya lakukan, saya tidak berpikir lagi untuk mencari kerjaan baru, melamar ke perusahaan baru atau merantau ke luar negeri jadi TKI misalnya demi bisa merubah hidup, tapi yang saya lakukan adalah dengan terus menekuni apa yang telah saya 'bangun'.
Sebenarnya ada rasa penyesalan yang cukup dalam, kenapa ya saya tidak menulis dari dulu? Kenapa saya tidak mulai menulis dari SMP misalnya, atau dari SMA lah, seperti kebanyakan penulis lain. Kalau itu terjadi, mungkin sekarang saya sudah punya belasan buku sepertinya. Saya sudah punya banyak karya dan tentu saja bisa mencicipi manisnya hasil dari karya tersebut.
Sayangnya saya justru baru memulai saat saya sudah memasuki umur ke dua puluh tujuh ini. Saya terlambat, dan saya menyesal. Tapi seperti kata pepatah, "Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali."
Seenggaknya di umur-umur segini saya sudah punya 'tujuan' dan apa yang harus terus saya 'lakukan'. Sehingga saya tidak lagi berkipir harus mencari kerja kemana lagi? Harus melamar ke mana lagi? Harus merantau ke mana lagi? Tapi melakukan apa yang memang menjadi potensi saya dengan sabar dan konsisten.
Meski setelah akhirnya saya memutuskan terjun sebagai penulis dan mulai belajar menulis novel, hingga saat ini terus terang saja belum ada satu rupiah pun yang berhasil masuk ke kantong, sedihhh nyooo. Ada yang baca pun udah syukur. Lolos kurasi editor pun udah Alhamdulillah banget, apalagi jika sampai menghasilkan sekian juta, waduh senangnya pasti bukan main.
Jangan tanya juga berapa kali saya ingin berhenti dan berpikir, "Apakah keputusan saya untuk menjadi penulis ini sudah benar?" Sering sekali pertanyaan itu muncul di kepala. Hingga membuat saya sedikit pesimis, mungkin sukses melalui profesi sebagai penulis itu adalah hal yang sulit dan sangat mustahil. Tapi setelah perasaan itu lambat laun surut, saya pun akhirnya melanjutkan kembali dan menguatkan tekad kembali (meski sambil misuh-misuh).
Penulis-penulis tersohor seperti Andrea Hirata, Tere Liye, Raditya Dika, mereka bisa sukses sebagai penulis, ya karena mereka memang sudah menulis sejak dini. Skill dan bakat menulis mereka sudah terasah selama bertahun-tahun, hingga mereka mampu menelurkan karya yang fenomenal di pasaran.
Sementara butuh waktu berapa tahun lagi bagi saya untuk dapat menghasilkan 'magnum opus' saya sendiri? Mungkin tiga atau bahkan lima tahun lagi? Karena ya, saya memang telah lambat memulai. Sejak masih remaja saya belum tahu tujuan dan cita-cita saya. Baru pada umur dua puluh tujuh saya baru menemukan jati diri saya.
Sepertinya tidak ada yang perlu saya sesali, toh kehidupan terus berjalan dan lebih baik memulai dari sekarang daripada tidak melakukan apa-apa dan terus mengeluh karena keadaan. Karena ini semacam proyek jangka panjang yang memang membutuhkan kesabaran hingga saya memetik hasil dari apa yang telah dibangun selama bertahun-tahun itu.
Saya tahu betul apa yang menjadi potensi saya dan bagaimana cara memanfaatkannya. Kayaknya sih ini cuma masalah waktu aja ya? Semua kan gak ada yang instan? Kecuali kalau jadi bandar judai atau jadi affiliator investasi bodong, bisa kali ya? Hahaha.
Tapi ya, apa artinya kesuksesan semu yang seperti itu. Emang sih, awalnya bisa flexing-flexing untuk menaikan status sosial, tapi kalau ujung-ujungnya dibekuk polisi juga ya, ngapain dah. Sengsara juga ye, kan?
Saya sih, selalu percaya tiap orang itu punya 'golden age' nya masing-masing. Entah di umur ke berapa saya berada dalam masa 'kejayaan' saya. Hidup kan memang begitu. Seberkuasa-kuasanya seorang raja, atau presiden toh ujung-ujungnya bakal turun juga kan? Atau didemo atau dikudeta kalau dia gak mau turun juga.
Sebagai contoh si Jk. Rowling penulis Harry Potter juga baru sukses dan cerita itu meledak di usia 30-an kan ya? Padahal sama seperti penulis pada umumnya, dia juga udah mulai nulis sejak masih remaja. Bahkan di usia sebelas tahun katanya dia udah pernah nulis novel juga meski ceritanya itu gak populer. Butuh berapa tahun tuh sampai dia bener-bener mencicipi manisnya hasil dari karyanya itu?
Bahkan nih novelis tersohor asal Jepang, Haruki Murakami, konon baru menulis fiksi di umur dua puluh sembilan. Itu menurut wikipedia. Nah berarti gak ada kata terlambat kan?
Ini juga yang menjadi pertimbangan saya untuk terus melanjutkan dan mencoba peruntungan di bidang menulis. Saya hanya tidak mau meninggalkan apa yang telah susah payah saya bangun, meski hingga hari ini belum ada hasil yang sesuai dengan ekspektasi.
Karena beneran, lelah rasanya kalau kita kembali memulai sesuatu dari nol. Harus belajar lagi, harus meraba-raba lagi. Harus trial and error lagi, duh repot. Jadi, mending melanjutkan saja apa yang telah kita mulai dengan terus sabar dan konsisten.
Saya juga gak bisa mengontrol hasil, karena yang bisa saya kontrol hanyalah diri saya sendiri. Meski kadang-kadang merasa sendirian gak ada yang nyemangatin, cie elahhh. Tapi gak papa, toh nanti juga kalau berhasil saya sendiri yang merasakannya, hehehe.
Waduh tadinya ini cuma gabut doang, kebetulan lagi ada waktu luang, eh gak kerasa udah mau hampir seribu kata. Cuma karena tiba-tiba inget kompasiana aja sih, jadi akhirnya bikinlah diary yang ngalor-ngidul ini. Aku kalau gak ada kompasiana? Duh kasian dah.
Mungkin kalau nanti gabut lagi saya akan bikin diary kayak gini lagi juga. Tapi dengan narasi yang lebih gaul kayaknya sih. Ala-ala anak jaksel gitu, biar kesan blognya dapet, wkwk. So, terimakasih banyak buat kamu yang sudah meluangkan waktu membaca bacotan yang tydack jelas ini.
Ah, akhirnyaaa bisa menulis lagi di kompasiana setelah sekian lama. Udah gitu aja ya, sampai ketemu lagi di catatan selanjutnya. Bye...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H