Mohon tunggu...
Reynal Prasetya
Reynal Prasetya Mohon Tunggu... Penulis - Broadcaster yang hobi menulis.

Penyuka Psikologi, Sains, Politik dan Filsafat yang tiba - tiba banting stir jadi penulis Fiksi. Cerita-cerita saya bisa dibaca di GoodNovel: Reynal Prasetya. Kwikku: Reynal Prasetya

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Open Jasa Menulis Gratis!

14 Desember 2021   20:33 Diperbarui: 14 Desember 2021   21:20 260
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Malam itu saya tengah bersantai menonton film The Godfather, baru saja film diputar tiba-tiba telpon berdering, ah dia rupanya. Pasti dia sedang mencari bantuan mengenai pekerjaannya yang gemar dibebankan kepada orang lain.

Saya mencurigai didalam kepalanya tersimpan jargon, "kalau ada orang lain, kenapa harus saya?. Kalau ada yang bisa dimanfa'atkan kenapa tidak". Setidaknya itulah pantulan energi yang selama ini saya rasakan semenjak mengenalnya.

Salah satu skill yang dia punya adalah pandai membual dan mengumbar kata-kata manis. Apabila anda sedang butuh bantuan untuk memikat hati orang lain melalui mulut dan gerak-geriknya tunjuklah ia dengan segera.

Ya begitulah, manusia penuh dengan kekurangan, akan tetapi apabila dirinya tidak pernah sadar tentang kekurangannya maka hal itu bisa sangat merugikan orang lain dan orang disekitarnya.

Mirip orang bodoh yang tidak sadar bahwa dirinya itu bodoh. Akhirnya ia tetap tinggal dalam kebodohan karena ulah bodohnya itu.

Lalu apa yang dia minta dalam sambungan telpon itu? Sesuai dengan budaya Indonesia pada umumnya. Basa-basi manis yang nyaris tak ada gunanya. Lalu diapun bercurhat betapa banyak pekerjaanya, betapa sibuk dirinya sehingga dia tidak mampu untuk menyelesaikan tugasnya itu.

"Minta bantuannya ya, bikinin berita. Lagi sibuk nih blom lagi besok ada agenda lagi turun kelapangan. Entar kirim aja no rekening di TF."

Begitulah kira-kira isi daripada permintaannya. Padahal dia bukan atasan saya lagi dan saya bukan lagi menjadi bagian daripada perusahaan tersebut.

Muncul tanda-tanya seraya keheranan? "Terus selama ini karyawan lo ngapain aja? Karyawan segitu banyaknya masak ga ada yang becus bikin berita sih?" Timpal saya dalam hati.

Ini menjadi bukti bahwa, yang menunjukan seseorang bisa atau tidaknya mengerjakan atau menguasai sesuatu bukan karena dia berpendidikan atau punya gelar tinggi, bukan pula karena bakat atau keturunan, akan tetapi dia mau belajar atau tidak? Penasaran atau tidak?

Saya ini tidak ujug-ujug bisa dan ngerti gimana cara bikin berita. Saya bisa karena saya mau belajar dan penasaran dengan Ilmu Jurnalistik. Saya bisa karena saya sering membaca dan menonton berita. Itu saja rahasianya.

Lantas mengapa mereka yang kuliah di universitas mentereng, punya sokongan finansial yang cukup buat belajar tidak lebih hebat dari saya yang hanya lulusan Madrasah Aliyah, itupun sekolahnya hanya 1 minggu 3 kali.

Saya akui saya bukan anak pintar terpelajar dan sering juara kelas. Justru saya lebih pas disebut berandal dan anak rebel yang sering bolos sekolah. Tapi nyatanya semua kepintaran yg dimiliki ketika sekolah nyaris tak ada gunanya ketika menghadapi dunia kerja yang sesungguhnya.

Rekan-rekan saya yang berandalan justru terlihat lebih berhasil daripada mereka yang dulu pintar disekolah.

Oke, balik lagi ke persoalan yang tadi. Mengapa dia sampai meminta bantuan bekas karyawannya? Padahal nyatanya dia memiliki banyak karyawan yang bisa diberdayakan?

Menurut saya sih oon. Kesalahannya ada dua. Pertama awalnya dia telah gagal mensleksi karyawan yang pantas, punya kapabilitas dan berkualitas dibidangnya. Kedua, dia memang tidak becus menempa, mengambil hati, dan memberdayakan karyawannya.

Padahal saya pikir tiap orang itu punya potensi yang kadang kala perlu dibantu untuk mengeluarkan potensi terbaiknya itu. Ada yang sebenarnya punya potensi, tapi karena dia malas akhirnya lenyap lah potensi yang dimilikinya itu.

Tugas seorang pemimpin adalah memberikan motivasi sekaligus membantu menumbuhkan semangat dan kepercayaan dirinya supaya dia mau belajar.

Masak, hal-hal basic mengenai leadership seperti itu aja perlu diajarin.

Alhasil saya pun akhirnya mengiyakan permintaanya. Meski setengah hati. Karena sudah tahu sebenarnya waktu, pikiran dan tenaga saya hanya dibayar oleh "terimakasih."

Awalnya saya akan menolak, karena kalau pun saya bantu pasti upahnya pun tidak akan seberapa. Kecuali kalau dia siap membayar saya dengan tarif yang mahal.

Bukannya saya tidak ikhlas, masalahnya kalau saya terus bantu dia dengan cara yang gratis, ujung-ujungnya dia akan keenakan dong? Saya pun takut dia akan melakukan hal yang sama kepada orang lain.

Saya aja untuk bisa nulis berita perlu belajar kursus sana sini sampai mengeluarkan ratusan ribu loh, masak dia yang menulis berita buat kliennya dan dibayar ga mau bayar upah ke yang nulisnya. Kan gendeng. 

Orang yang kayak gini nih yang biasanya karir nya mandek. Karena enggak bisa menghargai jerih payah orang lain.

Apa perlu mulai saat ini saya open jasa menulis gratis?

Haduuuuhh jangan ngimpi deh. Jika sekiranya tidak mampu bayar mahal jasa saya, lebih baik tak usah. Karena hanya orang-orang kaya, kren, berkualitas dan berintlektualitas yang mampu bayar jasa saya.

Segituu dulu kali ya, see you....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun