Sebelum membaca lanjutan artikel yang kedua ini, mohon terlebih dahulu membaca artikel bagian pertama disini. Karena saya tidak akan lagi menjelaskan apa yang sudah diuraikan dan diharapkan anda bisa mengikuti konsep yang saya bagikan ini dari awal.
Begitu banyak ternyata yang cukup antusias mencerna artikel bagian pertama. Dan kini saya akan melanjutkan bahasan kemarin, masih soal tulis menulis dibagian kedua ini.
Terus terang saya tak menyangka akan mendapat sambutan hangat dari para pembaca. Saya senang apabila yang saya bagikan ternyata bisa membantu mengatasi kesulitan-kesulitan dalam menulis dan juga berma'at bagi yang membutuhkan.
Namun sekali lagi saya ingin sampaikan, meski saya sering berbagi tentang tip-tip dan trik menulis, bukan berarti saya sudah jago dan mahir menulis.
Tapi lewat berbagi itulah saya bisa mengikat dan mengamalkan pengetahuan dan ilmu yang saya punya supaya saya juga tidak lupa dan terus mempraktikkan-nya. Jadi, kita sama-sama belajar bareng.
Kalaupun dalam penyampaian-nya saya terkesan mengajari, menggurui, atau menganggap anda tidak tahu apa-apa, percayalah itu hanya gaya saya saja dalam setiap penyampaian ide yang saya uraikan.
Tidak ada maksud atau niatan untuk menggurui atau mengajari, karena seorang penulis tidak boleh menganggap pembacanya bodoh, justru seorang penulis harus mampu memancing nalar pembaca, memancing sikap kritis dari pembaca dan mengajak diskusi pembacanya. Â
Saya hanya senang menyampaikan isi pikiran ini secara straightforward, to the point, tajam, blak-blakan dan apa adanya.
***
Dibagian pertama, saya sudah mengupas apa saja masalah-masalah dan kesulitan-kesulitan yang seringkali dialami oleh penulis pemula.Â
Dibagian pertama, saya juga sudah menyinggung soal bagaimana mengelola, mengembangkan ide dan mengatasi keterbatasan kosakata.
Ada beberapa point yang ingin saya tambahkan dari uraian kemarin, salah satunya tentang bagaimana kalau tiba-tiba stuck dan mengalami kebuntuan menulis di tengah jalan, apa yang harus dilakukan?
Hal yang paling mudah anda lakukan adalah berhenti atau jeda sejenak. Biarkan pikiran anda merecovery dan mendaur ulang data-datanya.
Itulah kenapa dibutuhkan yang namanya outline atau kerangka tulisan. Kalau anda punya kerangka tulisan, maka anda tidak akan mengalami kebuntuan menulis, karena anda sudah punya persiapan point-point apa saja yang akan anda tulis.Â
Anda sudah tahu tujuan dari ide itu mengarah kemana, isi pokok bahasan-nya apa saja, amanat atau pesan moralnya apa saja, ending-nya seperti apa, anda sudah tahu dari awal.
Dengan membuat kerangka tulisan, tulisan kita pun akan lebih terarah, terstruktur, tidak keluar jalur dan ngalor-ngidul kemana-mana. Karena anda sudah membuat batasan dan mempersempit bahasan dalam kerangka tulisan itu.
Ibarat melukis, sebelum melukis, seorang pelukis pasti akan membuat sketsanya terlebih dahulu, kalau dia rasa sketsanya sudah siap, maka barulah dia mulai mengeksekusi sketsa tersebut untuk dijadikan lukisan.
Bahkan sebuah cerita yang seringkali kita anggap mengalir pun ada premis-nya. Dalam naskah skenario film, premis disebut juga sebagai logline.
Dalam membuat cerita yang bagus pun kita tidak sembarang mengalir begitu saja, kan? Harus ditentukan dulu tokoh, karakter, setting tempat, dan alurnya seperti apa.
Sebelum membuat cerita, kita perlu membuat dunia cerita itu sendiri, batasannya sampai dimana dan kejadian-kejadian yang ada dicerita tersebut dipastikan hanya terjadi dalam dunia cerita itu.
Saya juga mustahil bisa menulis artikel berseri seperti ini kalau sebelumnya saya tidak membuat outline-nya terlebih dahulu. Jadi, tidak ada istilah stuck atau mengalami kebuntuan menulis, karena saya tahu harus menuliskan apa saja dan tulisan ini akan mengarah kemana.Â
Setiap kali saya lupa, saya hanya tinggal kembali membaca outline yang sebelumnya sudah saya siapkan.
Awalnya saya juga terjebak dalam kondisi seperti itu. Saya hanya menulis kalau sedang mood saja, saya hanya menulis kalau sedang termotivasi saja, saya hanya menulis kalau lagi pengen saja, semakin saya ikuti, justru saya semakin sulit keluar dari kondisi itu.
Dalam kelas menulis cerita bersama Raditya Dika yang pernah saya ikuti, salah seorang peserta bertanya bagaimana caranya mengendalikan mood yang naik turun dan agar selalu termotivasi untuk menulis.
Raditya Dika hanya menjawab, "Ya, pokoknya kalau mau nulis, ya nulis aja, enggak usah mikirin mood macem-macem, jangan manja!"
Jadi, kalau kita tidak paksakan dan biasakan diri kita untuk menulis dan hanya mengikuti mood, maka sampai kapan pun kita tidak akan kunjung menulis.
Mungkin akan timbul lagi pertanyaan, "Gimana kalau nanti hasil tulisan-nya jelek?". Ya, gak masalah. Yang penting, kan sudah menulis. Menurut Raditya Dika, tulisan yang jelek tapi selesai itu jauh lebih baik, ketimbang tulisan yang bagus, tapi tidak selesai.
Menulis itu memang perlu tenaga, perlu stamina, perlu strategi, perlu konsistensi. Tidak jauh berbeda dengan pekerjaan-pekerjaan dan profesi lain. Makanya, kita perlu menjaga kondisi otak ini harus selalu dalam keadaan prima. Kita harus selalu menjaga kondisi otak ini dalam keadaan bugar, supaya selalu siap digunakan untuk menulis.
Menulis itu cukup melelahkan lho sebenarnya. Karena "otot-otot" otak ini dipaksa untuk terus bekerja, kita juga harus terus fokus dalam jangka waktu yang cukup lama.
Tapi kalau otak ini terus menerus dilatih, lama-lama nanti juga akan terbiasa kok. Lama-lama menulis terasa lebih mudah. Mau nulis 4 jam atau 5 jam nonstop sekali duduk juga pasti kuat kalau kita sudah terbiasa.
Hampir mirip seperti awal-awal nge-gym. Awalnya mungkin cuma kuat angkat beban 20kg, kalau ototnya terus dilatih, lama-lama jadi bisa angkat yang 50kg, setelah semakin rutin dilatih lagi akhirnya bisa angkat beban 100kg.
Saya juga dulu pas awal-awal menulis di Kompasiana, satu artikel itu kadang baru selesai dalam dua hari. Tapi berkat konsistensi, mau terus belajar dan latihan, sekarang satu artikel bisa saya selesaikan dalam satu kali duduk.
Sebagai tambahan, dibagian kedua ini saya juga ingin mengingatkan pentingnya menulis sesuai jalur, minat atau bidang yang kita sukai dan kuasai.
Misalnya Kompasianer Abdul agak kesulitan dalam menuliskan konsep dan pikiran abstrak, maka tidak perlu memaksakan kalau memang dirasa masih sulit.
Saya sendiri tidak pernah memaksa diri ini untuk menulis fiksi. Dari sekian ragam genre fiksi, mungkin hanya puisi yang saya sukai. Sisanya seperti novel, cerpen, dlsb, saya masih kurang tertarik untuk menikmati dan mendalaminya, karena memang bukan disitu minat saya.
Jadi, meski pun saya punya ide cerita yang bagus, saya akan selalu kesulitan dalam merangkai dan menuliskan-nya. Kadang saya heran, kenapa orang bisa membuat cerpen dan novel yang sedemikian masuk akal dan mampu membawa saya kedalam dunia cerita itu, sementara saya kewalahan untuk bisa membuatnya. Padahal bagi mereka, itu mungkin pekerjaan yang paling mudah.
Begitu pun sebaliknya, orang yang terbiasa menulis fiksi mungkin akan sedikit kesulitan apabila dia mencoba menulis non fiksi. Terkecuali, kalau dia memang punya minat di kedua bidang itu. Tapi sangat jarang sekali biasanya ada orang yang mahir dikedua nya.
Karena kalau dari awal sudah tidak minat, jangankan menulis soal topik yang tidak diminati itu, mau membaca atau menikmatinya saja pasti malas, ogah-ogahan.
Kalau dari dulu saya punya minat terhadap cerpen atau novel, mungkin sudah ada banyak karya-karya novel dan cerpen yang saya hasilkan, karena saya tidak minat, maka wajar saja kalau saya kesulitan untuk membuat novel atau cerpen.
Karena ketika kita sudah punya minat terhadap sesuatu hal, maka kita akan dengan suka rela dan antusias mendalami, mencari tahu, mempelajari tentang apa yang kita sukai itu.
Itulah kenapa tulisan-tulisan saya yang tersaji di Kompasiana ini lebih banyak bertema abstrak. Karena minat saya memang lebih banyak terhadap bidang-bidang dan disiplin ilmu yang abstrak.Â
Hanya bacaan-bacaan dan konsep abstrak-lah yang paling sering saya nikmati. Sehingga bacaan-bacaan dan konsep-konsep itu terbawa ke sebagian tulisan saya, seakan-akan saya ahli dan hebat dalam berpikir abstrak. Padahal ada proses panjang dibelakangnya itu.
Saran saya, terus kembangkan dan pertajam bidang yang anda kuasai. Terus dalami apa yang menjadi minat anda. Jadilah ahli dibidang yang anda kuasai. Tulislah apa yang memang ingin anda tulis. Teruslah menjadi diri sendiri. Temukan ciri khas dan bentuk karakter anda sendiri.
Bersambung ke bagian ketiga...**
Sahabat Anda
Reynal Prasetya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H