Apa yang ada dalam pikiran Anda ketika mendengar kalimat, "Hukum tarik menarik"? Mungkin sebagian akan tertuju pada satu konsep bernama "The Secret", sebuah judul buku yang isinya pernah menggemparkan dunia ketika dirilis bersamaan dengan film-nya pada tahun 2006.
Buku ini dikarang oleh Rhonda Byrne yang laku terjual hingga dua puluh satu juta kopi dan telah diterjemahkan ke dalam empat puluh empat bahasa di seluruh dunia.
Tapi kali ini kita tidak akan terlalu jauh me-review atau membahas buku tersebut, kita akan fokus pada konsep yang paling menonjol dari buku tersebut yaitu tentang "The Law of Attraction" atau hukum tarik menarik.
Ya, dalam konsep itu disebutkan bahwa, pikirkan ini ibarat magnet yang bisa menarik apapun: peristiwa, kejadian, pengalaman, baik yang kita inginkan atau yang tidak kita inginkan melalui frekuensi yang dipancarkan oleh pikiran.
Misalnya, jika Anda memikirkan pikiran-pikiran marah dan merasa marah, maka Anda akan menarik lagi kejadian dan keadaan yang bisa menyebabkan Anda marah kembali.
Sebaliknya, jika Anda berpikir positif dan merasa baik, maka Anda akan menarik lagi peristiwa positif dan keadaan baik kembali. Seperti itu kira-kira cara kerjanya.
Ternyata tanpa kita sadari, hukum tarik menarik ini juga berlaku dalam dinamika sosial.
Adanya komunitas, club, perkumpulan dan paguyuban mengindikasikan adanya hukum tarik menarik dalam interaksi sosial.
Mudah-mudahan sampai di sini Anda bisa menangkap apa maksud dari prolog di atas. Karena kali ini saya akan menyajikan tulisan ini dengan bahasa blogging, bukan dengan gaya opini maupun essai yang serius dan terstruktur.
Artinya saya sedang ingin menulis secara santai dan menggunakan pendekatan story telling dengan menceritakan pengalaman pribadi. Jadi, apa saja nanti yang melintas dan terpikir di kepala ini akan saya tuangkan semuanya di tulisan ini.
Konsekuensinya, tulisan ini berpotensi ngalor-ngidul ke mana-mana, karena saya ingin mencoba mengalir saja, namanya juga bercerita, tentu saja harus mengalir agar cerita tersebut terasa lebih ringan untuk dinikmati.Â
So, selamat menyimak hingga akhir dan temukan insight dalam tulisan ini.
***
Saya ingin bercerita tentang sesuatu yang berhubungan dengan dinamika sosial. Sebenarnya sudah sejak dulu saya menemukan dan mengalami fenomena ini, namun baru sekarang saya tergerak untuk menceritakannya disini secara eksklusif.
Kenapa eksklusif? Karena tidak semua orang mau dan bersedia meluangkan waktunya untuk memikirkan, merenungkan dan mendiskusikan hal remeh temeh seperti ini.
Itulah kenapa dengan percaya diri saya mengatakan bahwa pengetahuan ini eksklusif dan mungkin belum pernah Anda temukan selama ini, baik di sekolah formal maupun literatur-literatur yang ada didunia ini. :P
Atau jangan-jangan Anda sebenarnya juga sedang dan sering mengalami namun tidak menyadarinya. Karena terlanjur menikmati fenomena tersebut.
Baiklah, sesuai dengan prolog di awal tulisan ini saya telah mengatakan bahwa, dalam interaksi sosial pun tanpa disadari sebenarnya juga terjadi yang namanya "Hukum tarik menarik". Tarik menarik di sini agak berbeda dengan konsep Rhonda Byrne yang lebih banyak bermain di ranah kuantum.
Tarik menarik yang saya maksud di sini adalah kecenderungan kita yang selalu tertarik ke dalam pusaran perkumpulan, komunitas, club, atau paguyuban yang di dalamnya mempunyai visi, minat, atau tujuan yang sama dengan diri kita.
Tidak hanya tertarik kepada suatu perkumpulan atau komunitas saja, hukum tarik menarik dalam interaksi sosial ini juga berkata bahwa kita akan cenderung tertarik kepada seseorang, figur ataupun tokoh tertentu yang mana orang atau tokoh tersebut mempunyai visi, minat, tujuan, dan cara pandang yang sama dengan diri kita.
Kenapa ada orang yang tertarik bahkan hingga fanatik terhadap tokoh tertentu? Karena tokoh tersebut adalah gambaran dari minat, sudut pandang dan cara berpikir orang tersebut. Karena tokoh tersebut mampu mewakili visi, keyakinan, pemikiran bahkan obsesi dari orang tersebut.Â
Figur atau tokoh yang kita sukai, kagumi pada dasarnya menggambarkan diri kita atau sebagai refleksi dari apa yang sebenarnya ada di dalam diri kita. Meliputi visi, minat dan sudut pandang berpikir. Kita bisa dengan mudah menilai dan mengamati diri kita sendiri melalui tokoh yang kita kagumi tersebut.Â
Lewat tokoh tersebut sebenarnya kita bisa memetakan, apa saja sih keyakinan yang ada dalam diri ini yang tidak kita sadari? Apa saja sih program-program atau pemahaman yang bisa membahayakan diri ini?
Mulailah bertanya-tanya seperti itu kepada diri sendiri.Â
Jadi, setiap orang akan selalu tertarik, kepada seseorang atau pun komunitas di mana orang atau komunitas tersebut mampu mewadahi minat, mewakili visi, cara berpikir dan juga tujuan dari orang tersebut.
Sekarang contoh kongkrit misalnya, orang yang hobi main sepak bola pasti berkumpulnya dengan orang yang juga sama-sama suka main sepak bola. Orang yang hobi naik gunung pasti akan berkumpulnya dengan orang yang juga suka naik gunung, orang yang suka main musik pasti berkumpulnya juga dengan orang yang suka main musik, orang yang suka olahraga beladiri pasti berkumpulnya juga dengan orang yang suka olahraga beladiri.
Itulah kenapa setiap kali kita bertemu dengan orang-orang yang mempunyai hobi yang sama, kita akan sama-sama saling tertarik dan terkoneksi satu sama lain.
Atau ketika kita masuk suatu komunitas yang bisa mewadahi minat kita, kita juga akan tertarik lebih dalam masuk ke dalam pusaran komunitas tersebut dan selalu antusias apabila sedang berada dalam komunitas tersebut. Di situlah hukum tarik menarik ini terjadi.
Makanya tidak heran dalam situasi sosial, kita kadang dipertemukan dengan dua jenis orang, ada orang yang bisa nyambung dan cepat konek apabila diajak ngobrol, ada juga orang yang tidak nyambung dan konek dengan diri kita apabila diajak ngobrol.
Jawabannya sederhana, semua itu ditentukan dari seberapa besar kesamaan kita dari segi minat, hobi, visi, gaya dan standar hidup, hingga cara berpikir dengan lawan bicara kita itu.
Semakin besar kesamaannya, maka akan semakin besar juga potensi kedekatan dan keakrabannya. Mungkin Anda pernah mengalami situasi di mana Anda bertemu dengan seorang, meskipun Anda baru mengenalnya satu atau dua hari, akan tetapi entah mengapa Anda merasa dekat dan akrab sekali dengan orang tersebut. Anda merasa sudah lama sekali mengenalnya.
Saya sendiri misalnya jarang bertemu dengan paman saya, karena jarak rumah kami yang berjauhan. Paling hanya bertemu setahun sekali atau hanya bertemu kalau ada acara-acara keluarga yang penting-penting saja.
Akan tetapi meskipun kami jarang bertemu, kami sangat akrab dan merasa dekat sekali. Sekalinya kami bertemu dan ngobrol, obrolan ini bisa panjang sekali sampai ngalor-ngidul ke mana-mana dan saking serunya, kami bahkan hingga lupa waktu kalau sudah ngobrol.
Meskipun jarang bertemu, kami bisa nyambung dan cepat terkoneksi satu sama lain tanpa perlu lama-lama. Karena kami mempunyai kesamaan yang cukup besar dari segi minat, hobi, dan cara berpikir.
Om saya ini adalah orang yang paling nyaman diajak ngobrol, diskusi, dan tukar pikiran. Kadang beliau juga bisa menjawab rasa penasaran dan pertanyaan-pertanyaan aneh dan remeh yang ada di kepala saya.
Saya bisa puas mendapatkan ilmu dan pencerahan tentang kesenian dari beliau. Sebagai pecinta dan pecandu seni, saya selalu antusias mendengarkan cerita-cerita dari beliau tentang bagaimana proses suatu karya seni dibuat.
Beliau pandai melukis, memahat, dan membuat benda apapun menjadi karya seni, seperti batu, kayu, kertas, tanaman, hingga tanduk binatang sekalipun bisa dia jadikan sebagai karya seni. Sayangnya saya lupa dan tidak sempat memotret beberapa hasil karya seni yang beliau buat.
Di depan rumahnya, dia membuat taman hasil kreasi tangannya sendiri, ada kolam dan beragam jenis ikan dan tanaman-tanaman hijau yang bisa dimanfaatkan. Ada juga berbagai macam jenis bonsai disetiap sudut depan rumahnya.Â
Yang pasti, beliau adalah pecinta dan praktisi seni sejati. Tidak hanya itu, sebagai pecinta seni beladiri, saya juga bisa puas mendapatkan pencerahan tentang ilmu beladiri dari beliau.
Beliau berlatih karate lebih dari dua belas tahun dan saat ini sudah memegang sabuk hitam (black belt). Sabuk hitam adalah tanda bahwa seseorang sudah mencapai puncak latihan dan sudah menguasai ilmu karate.
Setiap kali saya ngobrol dengannya soal seni bela diri, beliau hampir paham tentang berbagai jenis dan sejarah ilmu beladiri dari berbagai belahan dunia.
Menurutnya semua aliran beladiri itu sama. Artinya kita tidak bisa mengatakan bahwa, silat lebih baik dari karate atau sebaliknya, tapi kita harus menyadari bahwa, setiap aliran beladiri mempunyai kelebihan dan kekurangannya masing-masing.
Begitu seru kalau kami berdua sudah ngobrol. Obrolan kami berdua seakan-akan tidak ada putusnya. Kami bisa mengobrolkan topik apapun, dari mulai politik, seni, sejarah, tanaman, peternakan, dan topik apapun terasa menyenangkan untuk kami diskusikan.
Padahal saya terkenal sebagai orang pendiam. Tidak banyak bicara, tapi kalau sudah menyangkut topik-topik dan bidang yang saya sukai, saya bisa mendadak menjadi ekstrovert dengan seketika.
Karena bagi saya, bicara atau ngomong itu tidak perlu skill, kalau mau ngomong, ya tinggal buka mulut dan berucap saja, kan? Dan setiap orang bisa melakukan itu.
Sedangkan ngobrol itu perlu skill, kapan kita harus menyimak dan mendengarkan, kapan kita harus bercerita, kapan kita harus menjawab dan kapan kita harus menimpali.
Jadi saran saya, kalau Anda ingin akrab dengan seseorang, jangan banyak ngomong, tapi banyak ngobrol. Dan ingat, ngobrol itu selalu dua arah. Ibarat main tenis meja, obrolan yang menyenangkan selalu tek-tok dua arah saling bergantian bercerita, berbagi pengalaman atau gagasan.
Karena obrolan yang menarik dan nyambung bisa mendekatkan Anda dengan seorang. Anda jadi terkoneksi dengan orang tersebut. Apalagi jika ini dilakukan dengan lawan jenis. Pasti sangat seru sekali. Hehehe
Tuh kan, seperti yang sudah saya prediksi, tulisan ini jadi ngalor-ngidul ke mana-mana. Karena niatnya juga hanya sekadar ingin bercerita saja, syukur-syukur ada isinya.
Saya pribadi setuju dengan Raditya Dika bahwa, sebuah amanat atau pesan tidak perlu disampaikan secara eksplisit dalam sebuah cerita. Biarkan para pembaca menikmati bacaannya dan merenungkannya sendiri. Biarkan para pembaca menemukan hikmah dan pelajarannya sendiri dibalik cerita tersebut.
Jadi, terima kasih sudah menyimak cerita receh ini hingga akhir, sampai jumpa lagi di tulisan selanjutnya... Salam hangat.
Sahabat Anda
Reynal Prasetya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H