Mohon tunggu...
Reynal Prasetya
Reynal Prasetya Mohon Tunggu... Penulis - Broadcaster yang hobi menulis.

Penyuka Psikologi, Sains, Politik dan Filsafat yang tiba - tiba banting stir jadi penulis Fiksi. Baca cerita terbaru saya disini : https://www.wattpad.com/user/Reypras09

Selanjutnya

Tutup

Film Artikel Utama FEATURED

Mengkritik "Keajaiban" Sinetron Masa Kini yang Kerap Menghina Akal Sehat

3 November 2020   16:25 Diperbarui: 4 Juni 2021   07:30 2053
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Sumber: tangkapan layar dari situs grid.id)

Bagi masyarakat Indonesia, sinetron sepertinya sudah menjadi hiburan yang paling banyak digemari. Hal itu terbukti dari jumlah penonton yang makin meningkat dari tahun ke tahun.

Misalnya saja pada kurun 2010-2011, penonton sinetron meningkat sebesar 51% dari rata-rata 969 ribu menjadi 1,4 juta orang pada periode yang sama.

Tidak hanya peningkatan jumlah penonton, berdasarkan riset yang dilakukan Nielsen Indonesia ini, pada populasi televisi yang terdiri atas 49,5 juta individu usia diatas lima tahun pemirsa di sepuluh kota besar juga menunjukkan kenaikan waktu menonton sinetron.

Menurut data Nielsen, pada kuartal pertama tahun 2010, waktu menonton serial sinetron total 42 jam, meningkat menjadi 64 jam pada periode yang sama tahun 2011.

Sesuai dengan data KPI, bahwa 60% masyarakat Indonesia masih menjadi pemirsa setia tayangan sinetron yang ada di televisi hingga saat ini. Ditambah lagi, Riset Google menyebutkan bahwa pencarian kata kunci "sinetron" di YouTube tumbuh 1,2 kali lipat ditahun 2019.

Sebenarnya tidak ada yang salah juga dengan sinetron, kehadiran sinetron di layar televisi tentu menjadikan hiburan yang bisa melepas penat dan mengatasi stres setelah seharian beraktivitas. 

Namun menjadi masalah ketika isi dari tayangan sinetron tersebut justru kurang mendidik dan minim edukasi, sehingga waktu yang dihabiskan untuk menonton sinetron jadi terbuang sia-sia tanpa ada suatu pelajaran atau value yang bisa kita dapatkan dari tontonan itu.

Yang perlu kita permasalahkan dari sinetron-sinetron yang makin menjamur di televisi kita saat ini adalah sinetron yang tidak lagi mencerminkan kualitas. Baik dari alur maupun logika ceritanya, baik dari tokoh ataupun karakter yang ada dalam sinetron tersebut.

Kalau mau membandingkan, sinetron zaman dulu justru lebih berkualitas baik dari logika cerita, konflik, maupun karakter yang ada di dalamnya. Meski dari segi visual, kualitasnya tidak sejernih dan sebagus sinetron masa kini. 

Sinetron masa kini juga terlalu mengeksploitasi kisah percintaan yang terlalu dibumbui oleh drama. Atau tentang kisah rumah tangga yang penuh konflik, yang seringkali membuat penontonnya gusar ketika tokoh utama kerap mendapat perlakuan yang tidak semestinya.

Kita coba flashback sejenak ke masa lalu, sinetron zaman dulu ternyata hanya di produksi dan di tayangkan seminggu sekali. Jadi setiap crew dan pemain sinetron punya waktu yang sangat leluasa untuk memproduksi sinetron. Tak ada yang namanya kejar tayang atau stripping. Satu judul sinetron hanya ditayangkan satu kali setiap minggu.

Sinetron populer 90an seperti Si Doel Anak Sekolahan dan Keluarga Cemara, menjadi saksi bagaimana kualitas alur, logika cerita dan pesan moral yang ada didalamnya. 

Kisah Abah, Emak, Euis, Ara, dan Agil dalam sinetron Keluarga Cemara, adalah bukti bagaimana sebuah rumah produksi bisa memberikan pesan moral yang baik bagi penontonnya. Alur dibuat mendekati realita asli, tanpa dijejali intrik, drama dan konflik yang terlalu dibuat-buat.

Bandingkan dengan kisah-kisah sinetron masa kini, yang ceritanya tidak jauh-jauh dari konflik percintaan, kisruh rumah tangga, yang tidak jelas alur, dan pesan moral yang ingin disampaikan kepada penonton. Cerita yang dibangun dijejali dengan bumbu-bumbu kehidupan yang jauh dari kenyataan. Paling parah lagi: tidak jelas kapan ceritanya akan berakhir.

Yang terpenting adalah seberapa banyak konflik yang ada dalam cerita tersebut. Yang mana konflik selalu digambarkan dengan pertengkaran, pertikaian atau persaingan antar karakter yang ada dalam cerita tersebut. 

Apakah sinetron masa kini makin banyak digemari karena mungkin masyarakat kita lebih doyan dengan aroma pertengkaran, drama dan persaingan? dibandingkan dengan tontonan yang lain?

Meme sinetron (Sumber: style.tribunnews.com)
Meme sinetron (Sumber: style.tribunnews.com)
Hal ini tidak terlalu berlebihan, karena sejalan dengan pendapat pengamat sinetron, Ade Irwansyah yang mengatakan, "Penggemar sinetron enggak akan pernah habis. Mau apapun genrenya, pokoknya orang Indonesia itu suka sama yang berbau drama. Kalau ada yang disiksa, ada yang sedih, mereka pasti nonton," seperti dikutip dari m.kumparan.com

Jadi kata kuncinya adalah drama dan pertengkaran. Tidak perlu membuat alur cerita yang logis untuk memuaskan para penonton kita, karena buktinya dengan bumbu drama dan pertikaian saja masyarakat kita sudah cukup terhibur dan terpuaskan. Hingga mereka tidak sadar bahwa apa yang mereka saksikan telah berhasil menghina akal sehat mereka sendiri.

Kenapa penulis sampai berani mengatakan kalau sinetron masa kini lebih banyak menghina akal sehat? 

Coba saja perhatikan bagaimana karakter-karakter yang biasa ada dalam sinetron. Karakter selalu digambarkan dalam dua kutub yang saling bersebrangan. Ada karakter yang digambarkan sepenuhnya baik dan ada karakter yang digambarkan sepenuhnya jahat. Mereka ibarat malaikat dan setan yang sedang beradu akting. Karakter yang tidak benar-benar mencerminkan seorang manusia biasa dengan sifat-sifatnya yang kompleks.

Padahal sinetron zaman dulu masih bisa dicermati oleh akal sehat, semua tokoh tidak digambarkan sebagai manusia sempurna, punya kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Misalnya si Doel yang tidak bisa tegas, Sarah yang bersumbu pendek, dan Zaenab yang selalu takut menentukan nasibnya sendiri.

Kadang karakter utama yang digambarkan dalam sinetron masa kini terbilang terlalu sempurna. Memiliki wajah cantik atau tampan, populer, mempunyai kekayaan yang melimpah, punya segalanya, yang akan dengan mudah membuat manusia manapun di dunia ini memandang iri kepadanya. 

Sesosok manusia yang tidak tampak mempunyai celah kelemahan sedikit pun dalam diri dan hidupnya. Karakter dibuat semata-mata untuk disukai penonton, bukan diciptakan untuk membela logika cerita itu sendiri.

Alur sinetron masa kini juga terkadang selalu melahirkan keajaiban-keajaiban yang tak disangka-sangka. Fenomena ini lazim disebut sebagai deus ex machina. Adalah sebuah istilah dalam pentas teater Yunani Kuno. Istilah ini mengacu pada hadirnya sebuah solusi mendadak (yang cenderung seenaknya saja) atas sebuah situasi tanpa pengharapan pada sebuah cerita.

Menjelang akhir pertunjukan kadang terjadi situasi sulit, misalnya sang pahlawan atau tokoh utama dalam posisi terjepit, atau malapetaka yang sudah tak terhindarkan. Pada saat itulah tiba-tiba ada sosok "dewa" yang muncul dan menyelesaikan masalah. Membawa sang pahlawan "terbang" menjauh dari bahaya. Menganulir kematian atau kecelakaan si tokoh utama.

Itulah keajaiban yang biasanya terjadi pada sinetron-sinetron Indonesia saat ini. Belum lagi efek yang dihasilkan ketika nonton sinetron ini.

Apakah tayangan-tayangan tersebut sudah ramah anak? Karena drama dan kisruh rumah tangga seharusnya tidak pantas ditonton oleh anak-anak yang notabene belum saatnya mencermati dan mengamati kisah-kisah rumah tangga yang penuh gejolak dan pertikaian.

Adalagi adegan-adegan kekerasan dan bullying yang juga kerap ada dalam sinetron-sinetron Indonesia dewasa ini. Ini tentu mengkhawatirkan apabila kemudian banyak anak yang menirukan adegan-adegan tersebut didunia nyata, kepada lingkungan atau teman-temannya. 

Sudah banyak juga bukti-bukti yang membuat hati ini merasa miris jika mendengar kasus-kasus penyimpangan anak karena disebabkan oleh pengaruh sinetron. Bukan hanya anak-anak, orang dewasa juga sangat mungkin pada akhirnya terpengaruh dan tergelincir karena Ilusi tersebut.

(Sumber: tangkapan layar dari situs grid.id)
(Sumber: tangkapan layar dari situs grid.id)
(Sumber: tangkapan layar dari situs m.cnnindonesia.com)
(Sumber: tangkapan layar dari situs m.cnnindonesia.com)
Melihat kondisi yang makin mengkhawatirkan seperti ini, seharusnya sih pemerintah turun tangan untuk membereskan masalah ini. Karena untuk mencerdaskan bangsa, tidak cukup hanya dengan mengubah kurikulum pendidikan saja, namun juga mulai membenahi tontonan yang ada di televisi. 

Meskipun sinetron terbilang fiktif, tapi bagaimanapun kita akan selalu terhipnotis setiap kali melihat adegan-adegan yang memancing emosi. Cerita dalam sinetron sengaja di setting sedemikian rupa untuk menghanyutkan pikiran ini, hingga kita lupa bahwa sebenarnya apa yang kita tonton hanyalah ilusi.

Daripada mengandalkan KPI dan menunggu pemerintah melakukan perbaikan, lebih baik kita mulai meninggalkan tayangan-tayangan yang kurang mendidik dan minim edukasi. Kita bisa kok mendapat hiburan yang lebih menyenangkan selain dari sinetron. 

Karena secara tidak langsung sinetron masa kini selalu mempromosikan pola pikir "magis" ditengah masyarakat. Bahwa segala masalah bisa diselesaikan hanya dengan bersabar dan berdo'a. Bahwa azab akan secara ajaib menimpa orang-orang yang dzalim. 

Praktik kesalehan yang dangkal dalam sinetron telah menjadi mantra dan bakat ajaib yang bisa menyulap keadaan menjadi lebih baik. Padahal kenyataannya hidup tidak pernah semudah itu.

Penulis Anak Bawang yang Tidak Suka Sinetron

Reynal Prasetya

Referensi: [1] ; [2] ; [3] ; [4] ; [5] ; [6] 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun