Artikel kali ini merupakan pelengkap dari artikel kemarin yang membahas tentang apa saja 3 modal utama untuk menjadi seorang gentleman.
Sebelumnya kita sudah mengetahui bahwa seorang gentleman bukanlah tipe pria yang selalu mengobral kebaikan dan perhatiannya kepada sang wanita.
Bahkan di sebutkan sebelumnya bahwa, Gentleman adalah seorang petarung yang sangat percaya diri, dominan dan egois yang jauh dari kesan-kesan mellow, lembut dan sensitif.
Mereka lebih sering terlihat dingin, cuek, tidak menyukai basa-basi dan tidak menarik perhatian wanita dengan cara melontarkan gombalan picisan sejuta umat.
Misalnya, gombalan semacam, "Bapak kamu dokter yah?" Atau "apa bedanya bulan sama kamu?".
Mereka memikat wanita dengan cara menunjukkan sikap-sikap dan kualitas seorang pria sejati.
Apa saja kualitas-kualitas itu? Kepemimpinan, kedewasaan, keberanian, percaya diri, memiliki tujuan hidup, memiliki prinsip, komunikasi yang menyenangkan, petualangan, pengalaman dan lain sebagainya.
Karena kualitas-kualitas tersebutlah yang mengakibatkan wanita menjadi tertarik dan tersedot ingin mencicipi petualangan bersamanya.
Kualitas-kualitas emas itulah yang seharusnya melekat dalam diri kita sebagai pria. Inilah yang dinamakan sebagai sikap seorang "gentleman".
Mengabarinya setiap hari, mengirim pesan selamat pagi, selamat siang, selamat sore dan malam, demi selalu ada untuknya jelas bukan merupakan sikap seorang gentleman.
Memberi pujian, menyanjungnya berlebihan dan mencoba untuk membuatnya terkesan jelas bukan pula sikap seorang gentleman.
Apalagi bila sampai bertekuk lutut, bersimpuh lemah dihadapannya demi mendapatkan cintanya, jelas itu benar-benar menurunkan citra maskulinitas kita sebagai pria.
Fenomena semacam ini memang baru saja terjadi beberapa tahun belakangan, hal ini jelas hanya terjadi dikalangan remaja.Â
Dinamika sosial perlahan-lahan mulai berubah, dari yang tadinya hubungan cinta berjalan dengan sangat sederhana tanpa sedikitpun ada unsur PDKT yang rumit, saat ini PDKT (baca : pendekatan), dianggap moment yang amat krusial sebelum akhirnya kita menentukan apakah seseorang yang kita dekati atau mendekati, layak atau tidak dijadikan sebagai pasangan.
Hal ini terjadi akibat pengaruh infiltrasi budaya besar-besaran yang dimuat dalam film-film, sinetron, lagu-lagu, ataupun media lain yang kerap melemahkan dan menumpulkan logika berpikir kita dalam memandang relasi cinta.
Akhirnya ketika berurusan dengan perihal cinta, kita lebih sering melibatkan perasaan, feeling, atau emosi sesaat, ketimbang berpikir secara rasional dan logis.
Sayangnya isu-isu semacam ini sama sekali tidak begitu banyak dipedulikan dan terpinggirkan, sehingga hal ini berpengaruh terhadap performa dan sumber daya manusia kita yang lemah, rentan dan galau.
Buktinya tidak jauh-jauh kok di sekeliling kita, kini seorang pria lebih sering terlihat feminin, sensitif, mellow dan rentau galau, ketimbang terlihat tegar dan tahan banting di segala situasi.
Ini konteks nya remaja masa kini loh ya, kalau pria jaman dulu sih, saya pribadi percaya jauh lebih tangguh, kuat, karena biasanya mereka mendapatkan pendidikan yang keras dari orangtuanya zaman dulu.
Saat ini dalam pengamatan saya, pria masih mengalami kendala soal pertumbuhan kedewasaan. Pria tumbuh dengan lambat dan terkesan sulit untuk dewasa. Hal ini pernah termuat dalam artikel saya yang berjudul: "Ketika Perempuan Tumbuh Dewasa Lebih Cepat dari Laki-laki"
Saya seringkali mempunyai ekspektasi yang lebih ketika bertemu dengan teman-teman lama, baik itu teman semasa SD maupun SMP.
Saya penasaran apa yang terjadi pada mereka setelah sekian tahun lama kita tak berjumpa. Apakah mereka menampakkan perubahan yang cukup agresif? Atau masih saja tidak jauh berbeda dengan yang dulu? Ketika mereka masih terlihat polos dan kekanak-kanakan?.
Disatu sisi, saya merasa bahagia bisa kembali bertemu, chit-chat dan haha hihi dengan mereka, disisi lain saya merasa kecewa ternyata mereka tidak jauh berbeda dengan yang dulu.
Uniknya, sebagian teman wanita saya nampak terlihat lebih dewasa dan sukses berkarir. Sebaliknya, sebagian pria masih stuck dengan kehidupan dan pola pikirnya yang begitu-begitu saja, bahkan ada yang sampai saat ini masih pengangguran.
Ini merupakan kasus nyata yang saya temukan di lapangan. Bukan sekedar tulisan yang dibuat-buat.
Maka dari itu, saya benar-benar menaruh perhatian yang cukup serius pada fenomena ini. Ini merupakan masalah sosial yang perlu diperbaiki.
Menjadi seorang gentleman, bukan hanya sekedar gaya-gayaan, atau ingin terlihat kren. Justru ini merupakan jalan hidup bagi seorang pria sejati.
Saat ini masyarakat kita benar-benar sedang memerlukan sosok pria pemimpin, pria dewasa, pria yang punya nilai-nilai ksatria. Bukan seorang pria yang sensitif, mellow dan galau.
Revolusi mental selalu dimulai dari revolusi pola pikir, jika pola pikirnya saja belum berubah, masih kekanak-kanakan, sensitif, labil, jelas kita tidak akan pernah sampai pada kualitas-kualitas yang lebih tinggi.
Saatnya anda mulai menyingkirkan apa-apa saja yang saat ini sudah melemahkan sisi maskulinitas anda sebagai pria.
Dimulai dari berhenti menikmati film-film dan sinetron yang bernuansa galau, sampai mendelete file lagu-lagu yang selama ini hanya membuat kita menenggelamkan diri pada kesedihan dan kekalahan.
Karena menjadi seorang gentleman bukan sekedar gaya hidup, melainkan jalan hidup...***
Sahabat Anda
Reynal Prasetya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H