Mohon tunggu...
Reynal Prasetya
Reynal Prasetya Mohon Tunggu... Penulis - Broadcaster yang hobi menulis.

Penyuka Psikologi, Sains, Politik dan Filsafat yang tiba - tiba banting stir jadi penulis Fiksi. Baca cerita terbaru saya disini : https://www.wattpad.com/user/Reypras09

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Jadikan Lebaran sebagai Revolusi Spiritual, Bukan Sebatas Tradisi Seremonial

25 Mei 2020   20:33 Diperbarui: 25 Mei 2020   20:44 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi lebaran (Sumber: kompas.com)

Tepatnya 24 mei 2020 kemarin, mayoritas umat Muslim merayakan Hari Raya Idul Fitri setelah genap satu bulan menjalankan Ibadah Puasa.

Moment Idul Fitri atau lebaran seringkali identik dengan moment saling mema'afkan. Disusul dengan silaturahmi atau mengunjungi rumah-rumah saudara.

Rasa bahagia, sedih, gembira, suka cita, bercampur aduk karena moment indah ini hanya bisa di temukan setahun sekali.

Bayangkan, betapa harunya suasana saling berma'af-ma'afan, ketika selesai Shalat ied, para jama'ah bersalaman, berjabat tangan, berangkulan, sambil disertai isak tangis menyadari dosa dan kesalahannya masing-masing.

Kita kerap kali terbawa suasana ketika melihat moment seperti itu, air mata tak mampu dibendung ketika kita memeluk, merangkul orang terkasih dengan rasa bersalah, dengan rasa penyesalan.

Seorang anak memeluk, merangkul orang tuanya sambil tersedu-sedu, begitu pun sepasang suami istri yang sama-sama saling berangkulan menyebut dan meminta ma'af secara bergantian, adapula orang tua yang memeluk dan menciumi anaknya dengan penuh cinta sambil mengingat-ngingat kesalahan yang telah ia perbuat kepada anaknya.

Moment berma'af-ma'afan juga tidak hanya terjadi dari rumah kerumah dan di tempat ibadah, sebelum dan ketika hari lebaran tiba, kita melihat orang ramai-ramai secara serentak menulis rangkaian kata-kata yang indah yang berisi permohonan ma'af di media sosial.

Begitu sakral, hidmat dan indahnya hari itu, semua orang bersorak-sorai merayakan hari lebaran dengan penuh sukacita.

Suara letupan kembang api terdengar dimana-mana, tiap orang mengenakan pakaian baru, peci baru, sarung baru, sandal baru, hijab baru, gamis baru, semua nyaris serba baru.

Meski dunia tengah dilanda pandemi, suasana lebaran dikampung tidak pernah jauh berbeda dari tahun sebelumnya. Alhamdulillah, untuk tahun ini saya masih bisa merayakan lebaran bersama keluarga dengan normal seperti biasanya. 

Masih bisa berjama'ah shalat ied di masjid, melakukan silaturahmi, mengunjungi sanak saudara dengan, aman, sehat dan terkendali.

Berbeda dengan teman-teman yang mungkin saat ini masih tertahan di kota. Tidak bisa mudik ke kampung halaman, tentu saya dapat merasakan bagaimana rasanya berada di tengah perantauan. 

Hari lebaran dalam hal ini Idul Fitri memang dianggap sebagai salahsatu hari besar, hari penting, hari spesial, hari yang sakral bagi umat muslim khususnya di Indonesia.

Namun sayangnya, keistimewaan hari Idul Fitri itu tidak dibarengi juga dengan sikap-sikap dan tindakan spiritual yang nyata, sehingga moment lebaran kerap kali hanya terasa sebatas moment seremonial, sebatas teradisi, sebatas ritual yang hanya diulang-ulang setahun sekali.

Memang betul pada hari itu secara total kita saling mema'afkan, saling mengakui dosa dan kesalahan masing-masing. Namun apakah ritual dan kebiasaan itu akan otomatis terpatri dalam diri kita?.

Apakah pasca lebaran kita akan berubah lebih berhati-hati dalam bertindak, berucap, sehingga bisa terhindar dari perilaku menyakiti orang lain?

Apakah pasca lebaran kita akan berubah menjadi pribadi yang mudah mema'afkan?

Sayang sekali sobat, acapkali hal-hal demikian hanya berlangsung selama lebaran saja. Hanya berlangsung setiap tahun saja. Tanpa benar-benar kita maknai bahwa lebaran merupakan suatu moment yang pas untuk berbenah diri, lebaran merupakan momentum untuk mengupgrade kesadaran spiritual.

Kita melihat banyak orang masih terjebak pada aspek-aspek ritual yang hanya melibatkan fisik saja. Tanpa lebih jauh melibatkan batin, melibatkan kesadaran jiwa dalam mengagungkan hari lebaran itu.

Memang sih semua serba baru, namun yang baru hanya berupa yang nampak-nampak saja. Sedangkan di kedalaman yang tak kasat mata, kebiasaan nyinyir tetap saja masih jalan terus, kebiasaan mengeluh, menggerutu masih tetap dipelihara. 

Coba saja kita tengok di sekeliling kita sobat, padahal lebaran baru saja kemarin, baru saja saling mema'afkan, tapi acapkali kita melihat ada saja serangkaian konflik, pertikaian yang terjadi di sekeliling kita.

Apalagi di media sosial, orang-orang nampaknya hanya pencitraan saja! Bergaya bikin postingan bernuansa lebaran, demi menjaring perhatian dan simpatisan. Namun tetap saja kelakuannya brangasan dan masih suka menebar kebencian.

Ya, tentu tidak semua, tapi mayoritas kan seperti itu. Anda juga pasti mengerti soal fenomena ini.

Oleh karena itu, sekedar mengingatkan, mari kita jadikan semarak lebaran ini sebagai moment gerakan revolusi mental dan spiritual, bukan hanya sebatas melakukan tradisi seremonial.

Alangkah indahnya pasca lebaran kita menjadi pribadi yang tidak lagi berangasan dan emosian, alangkah indahnya pasca lebaran kita menjadi lebih ikhlas dan mudah mema'afkan. Alangkah indahnya pasca lebaran kita menjadi pribadi yang dewasa dan tidak lagi menyebalkan, Alangkah indahnya pasca lebaran kita menjadi lebih sadar dan dekat dengan Tuhan.

Semuanya memang tidak mudah dilakukan, namun itulah esensi dari lebaran. Bukan hanya sekedar basa-basi mengulang tradisi tahunan, tapi dibuktikan lewat sikap dan tindakan.

Sekian bisikan halus kali ini, tidak perlu dimasukan kedalam hati, cukup dibaca, diresapi, kemudian direnungi. Lalu jadikan sebagai pedoman untuk perbaikan diri...***

Makhluk yang Tak Sempurna, Bukan pula Orang Bijaksanana

Reynal Prasetya...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun