Tidak hanya itu, para member juga di iming-imingi dan dijanjikan hadiah berupa mobil mewah sekelas Pajero Sport atau Fortuner dan beragam bonus lainnya bilamana mampu mencapai posisi tertentu, atau sudah menjadi Leader dengan cara merekrut member baru sebanyak-banyaknya.
Namun yang menjadi miris dari kasus ini adalah, dalam menjalankan bisnis investasinya, Nuryanto dengan cerdik menyisipkan nuansa keagamaan sebagai tambahan pemikat daya tarik untuk menjerat calon membernya.
Tak heran bila ia mendapat julukan "Abuya Nuryanto" dari para membernya, yang dalam beberapa kesempatan sering terlihat mengenakan gamis, lengkap dengan sorban yang melilit di kepalanya. Layaknya seperti seorang Kiyai atau Ulama sungguhan.
 sebutan untuk seorang Kiyai di tanah Minang, dan gelar ini hanya pantas diberikan kepada orang yang alim atau ahli dalam ilmu agama.Â
Padahal menurut Wikipedia sendiri, Abuya/Buya adalah
Di samping itu, seorang Buya sama halnya dengan Kiyai di tanah Jawa dan juga merupakan tokoh teladan yang tindak tanduk dan perilakunya menjadi contoh bagi masyarakat awam.
Sebuah gelar yang sama sekali tidak pantas disematkan pada sosok Salman Nuryanto yang hanya merupakan lulusan SD.
Tapi apa boleh dikata, strategi yang ia gunakan dengan cara menggunakan atribut agama itu pun, rupanya berhasil menyedot dan mendistraksi akal sehat para membernya untuk bergabung dengan bisnis investasinya.
Sesuai dengan Tagline yang ia dengungkan, "Hidup ini Indah bila Bersilaturahmi dan Bersedekah".
Tagline itu pula yang kemudian digunakan oleh temannya sodara saya, sebagai alat untuk membujuk rayu dan mengajak saya bergabung pada bisnis investasinya.
Sebenarnya dari awal ajakannya itu, saya pun cukup ragu dan menaruh curiga, karena sistem investasinya memang terkesan ambigu dan tidak jelas.
Tidak banyak yang dijelaskan oleh teman sodara saya itu tentang bagaimana sistem dan mekanisme bisnis investasinya bekerja.