Menikah memang indah nikmat dan penuh petualangan. Akan tetapi kenikmatan dan keindahan itu juga berbanding lurus dengan tanggung jawab dan resiko yg harus di jalani.
Menikah bagi saya bukan hanya berkembang biak dan beranak pinak, menikah juga perlu komitmen dan kerjasama yg adil antara suami dan istri.
Artinya begini : meski suami punya kewajiban mencari nafkah dan membiayai segala macam kebutuhan istri, istri juga sudah seharusnya turut membantu dukungan finansial tambahan agar tercipta kestabilan ekonomi.
Begitu pun dengan suami, meski seorang suami di tuntut mengerjakan hal-hal yg lebih maskulin, tapi akan lebih mulia lagi jika seseorang suami bersedia dengan tulus membantu pekerjaan rumah sehari-hari meski hanya sekedar mencuci piring.
Pernikahan adalah kerjasama. Dan seorang suami adalah kepala keluarga yg tidak hanya berperan sebagai seorang suami tapi juga berperan sebagai seorang ayah.Â
Bilamana keduanya sudah sama-sama mampu bekerjasama dengan optimal maka sudah bisa di pastikan pernikahan itu akan menjadi sukses dan bahagia.Â
Efek dari pernikahan yg bahagia adalah terciptanya suatu hubungan yg harmonis, yg bisa mempengaruhi tumbuh kembang sang anak. Karena secara psikologis anak selalu ingin melihat orangtuanya bahagia, intim dan penuh cinta.
Sudah seharusnya orangtua bisa mandiri atas kebahagiaannya sendiri, orang tua adalah panutan yg harus  lebih dewasa dan bijak. bukan malah minta di bahagiakan oleh sang anak. Ini sangat keliru !
Logikanya, kalau orangtuanya bahagia, anaknya juga pasti akan ikut bahagia. Sesederhana itu!
Namun seringkali karena ketidakmampuan orang tua dalam mengelola kebahagiaan nya sendiri malah menjadi Boomerang bagi sang anak. Mereka malah melampiaskan segala keluh kesah hidup nya pada anak nya sendiri. Disitulah muncul istilah : "Anak wajib membahagiakan orang tua"
Ya memang tidak salah, sebagai bentuk rasa hormat dan terimakasih, anak memang perlu membuat orang tuanya bahagia, sebenarnya tidak di minta pun secara insting alami nya, anak sudah pasti akan selalu berusaha memberikan yg terbaik bagi orang tuanya.
Tapi jangan sampai karena ketidakmampuan dalam mengelola pernikahan itu, anak yg menjadi korban.Â
Sudah seharusnya orangtua lebih dewasa dan bijak dalam mengatasi hubungan pernikahannya sendiri tanpa harus melibatkan anak. Karena lama-lama anak pun bisa muak jika orangtuanya terus menerus cek-cok setiap hari.Â
Ini yg perlu di waspadai. Pentingnya kesiapan dalam menikah sangat di perlukan. Kemampuan berkomunikasi dan mengatasi konflik sudah seharusnya di latih dan dipelajari jauh-jauh hari. Karena jika dua orang sudah memutuskan untuk menikah, berarti ia juga sudah siap menjadi orang tua.
Tapi pada kenyataannya, justru jauh lebih banyak anak yg tidak bahagia dan jauh dari orang tuanya, ketimbang anak yg bahagia, ceria, dan penuh cinta.
Ketika anak sudah jauh dari orang tua, lalu bagaimana orang tua bisa mengontrol sang anak ? Ketika anak lepas dari pengawasan orang tua, yg terjadi adalah anak akan melampiaskannya ke dunia luar.Â
Ia akan mencari sosok yg lebih nyaman di ajak berteman dan berbagi curhat selain orang tuanya sendiri. Akhirnya ia akan mudah terbawa arus tanpa fondasi yg kuat, jiwanya rapuh dan tak berpendirian. Sungguh malang.
Maukah kita semua sama-sama kembali belajar dalam hal ini? Kalau kita sayang pada anak cucu kita kelak, sudah seharusnya kita belajar bagaimana menjadi panutan dan pembimbing yg baik bagi mereka di masa depan.
Jika orangtua bahagia. Maka anak akan bahagia..Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H