Mohon tunggu...
Reynaldi Pratama
Reynaldi Pratama Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis

Pribadi yang suka menulis, membaca, dan berdiskusi. Senang mempelajari hal baru di berbagai bidang seperti politik, hukum, sejarah, mitologi, dan sebagainya.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Menguji Netralitas Presiden RI di Pilpres 2024

24 Januari 2024   21:55 Diperbarui: 24 Januari 2024   21:55 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Tak terasa pemilihan presiden akan segera terjadi. Pergantian kekuasaan akan berlangsung mengingat masa jabatan Presiden Joko Widodo akan segera habis di tahun 2024. Tiga calon Presiden dan Wakil Presiden berlomba - lomba dalam menarik simpati dan dukungan masyarakat dengan memaparkan program nya masing - masing. Namun, dalam perjalanannya, banyak kontroversi yang mewarnai pencalonan hingga masa kampanye capres dan cawapres. 

Pada Rabu (24/01/2024) tepatnya di Terminal Selatan Lanud Halim Perdana Kusuma Jakarta Timur, Presiden Jokowi mengeluarkan pernyataan yang cukup menarik perhatian masyarakat. Dimana pada saat memberikan keterangan pada pers, Presiden Jokowi mengatakan bahwa Presiden dan Wakil Presiden "boleh" untuk memihak salah satu calon yang akan bertarung di Pilpres bulan Februari esok. "hak demokrasi adalah hak setiap orang. Setiap menteri sama saja. Yang penting Presiden boleh loh kampanye. Presiden itu boleh loh memihak. Boleh. Tapi yang paling penting waktu kampanye tidak boleh menggunakan fasilitas negara. (Jadi) boleh (Presiden berkampanye)" katanya dikutip dari nasional.kompas.com. 

Sontak pernyataan tersebut mengundang reaksi publik di media sosial. Sebagian masyarakat menganggap bahwa pernyataan tersebut terkesan menunjukan keberpihakan Presiden Jokowi kepada salah satu capres dan cawapres. 

"Lah kalo gitu kenapa PNS mesti netral kalo Presiden nya aja bebas memilih" tulis salah satu akun Instagram dengan username @anggaramukti. Banyak yang tidak sependapat dengan pernyataan tersebut, apalagi mengingat bahwa anak Presiden Jokowi yakni Gibran Rakabuming turut serta menjadi cawapres nomor urut 2 bersama Prabowo Subianto. 

Bagaimanakah sebenarnya pernyataan tersebut jika ditinjau dari segi hukum ? apakah boleh Presiden dan Wakil Presiden menunjukan keberpihakannya kepada salah satu calon selama kampanye ?. Tulisan ini akan mengulas hal tersebut secara ringkas. 

Kampanye Menurut Undang - Undang Pemilu

Dikutip dari nasional.kompas.com, dalam UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 mengatur daftar pejabat negara yang tidak boleh dilibatkan sebagai pelaksana/tim kampanye pemilu. Hal itu termuat dalam Pasal 280 ayat (2) dan (3). Di dalam daftar tersebut, tidak terdapat nama Presiden dan Wakil Presiden, Menteri, maupun Kepala Daerah. 

Pejabat negara yang dilarang untuk terlibat sebagai pelaksana/tim kampanye pemilu diantaranya sebagai berikut: 

  • Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, Hakim Agung pada Mahkamah Agung, dan Hakim pada semua badan peradilan di bawah Mahkamah Agung, dan Hakim Konstitusi pada Mahkamah Konstitusi;
  • Ketua, Wakil Ketua, dan anggota Badan Pemeriksa Keuangan;
  • Gubernur, Deputi Gubernur Senior, dan Deputi Gubernur Bank Indonesia;
  • direksi, komisaris, dewan pengawas dan karyawan BUMN/BUMD;
  • pejabat negara bukan anggota partai politik yang menjabat sebagai pimpinan di lembaga nonstruktural;
  • Aparatur Sipil Negara (ASN);
  •  Kepala Desa;
  • Perangkat Desa; dan
  • Anggota Badan Permusyawaratan Desa.

Pejabat negara dari poin (a) sampai (d) jika terbukti melanggar diancam pidana maksimum dua tahun penjara dan denda Rp 24 juta rupiah. Sementara untuk pejabat negara dari huruf (f) sampai (j) diancam pidana maksimum satu tahun penjara dan denda Rp 12 juta rupiah. 

Dalam UU Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa, Kepala, dan Perangkat Desa yang terlibat kampanye juga dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis/lisan. Hal itu termuat dalam Pasal 29 dan 30 serta Pasal 51 dan 52 UU Desa. Jika sanksi administratif itu tidak dapat dilaksanakan, maka mereka bisa diberhentikan sementara dan dilanjutkan dengan pemberhentian tetap. 

UU Nomor 23 Tahun 2014 dan UU Nomor 9 Tahun 2015 Tentang Pemerintahan Desa tidak mengatur ketentuan maupun sanksi untuk Kepala Daerah yang terlibat kampanye pemilu. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun