Mohon tunggu...
Rey Laotong
Rey Laotong Mohon Tunggu... Mahasiswa - A writer who likes to see the world through imagination and different perspective.

Biarkan setiap tulisan itu bersuara dengan nada nada yang tidak pernah kita dengarkan, membantu membangun imajinasi menjadi sebuah realitas yang dapat mengubahkan kita dan seisi dunia.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Kelana

27 Juli 2022   13:01 Diperbarui: 27 Juli 2022   13:07 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bejalan begitu mudah ketika beban berhenti di pikul, diri ini lebih mantap dalam memaafkan ketika hati mulai merelakan. Bukan hanya ingin maju tapi dapat memberi diri melebihi caci dan makian. Kadang pergi dan tak kembali menjadi jalan keluar terbaik dalam mengatasi kelelahan batin dan dunia, ingin bersembunyi lebih lama, ingin lari lebih jauh, berhenti bermimpi dan membiarkan diri. Tapi raga dan lara selalu menjadi pelengkap perjuangan, mejadi alasan untuk berhenti merengek menyia - nyiakan air mata pada sesuatu yang sama sekali tidak memberikan makna. Aku perjuang dengan alam bawah sadar ku, kita berperang dengan senjata yang sama tapi kalah dan menang menjadi hal yang absurd karena tak punya tata krama kapan dia akan hinggap. 

Setelah hiatus aku kembali, bahkan tak sama dengan diriku sebelumnya aku, aku, dan aku. Perbedaan muncul bahkan membuat orang terperangah, mengapa semua begitu terkejut ? karena perubahan bukanlah hal yang dicintai dia sangat didendam dan dibenci bagi setiap mereka yang hidup dalam 'MONOKROM' tak berwarna, begitu suram dan merusak keindahan mata dia tak sedap di pandang dan hal itu membuat jiwa menjadi mati dan bahkan mati suri pun dia tak sudi. Benarkah langit bahkan memilih waktu dan tempatnya untuk mencurahkan kesedihannya? jika demikian, maka langit begitu sembrono dia tidak menahan tangis nya sendiri, mencurahkan perasaan yang bahkan tak mampu di gambarkan oleh kata - kata, hanya setitik air mata yang mampu menceritakan semuanya. Luka, kekecewaan, perpisahan, keegoisan, hingga kebahagiaan mempunyai peran penting nya masing - masing dalam merajut kehipan agar ia tidak berubah menjadi Hitam & Putih.

Berulang - ulang, berkali - kali, berputar - putar. Kehidupan kadang semenarik itu dan semebosankan itu ketika ia berhenti mempertontonkan scene yang sudah tertatur baik oleh sang sutradara. Kehidupan begitu suka melihat begitu banyak warna dan hal yang terjadi dalam kehidupan tuhan - tuhan kecil di dalam sangkar nya sendiri. Pertunjukkan terbaik dari sang sutradara ketika seorang pemain percaya akan peran yang dimainkanya adalah kehidupannya sendiri, memanipulasi keadaan serta harapan merupakan bagian terbaik dari apa yang dapat ditawarkan oleh hidup.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun